kaltimkece.id Satu dari antara bagian menarik dari perjalanan Carl Bock di Kota Bangun yakni ketika ia diajak berwisata berburu bersama dua pangeran Kutai, Pangeran Mangku dan Prabu. Mereka menyusuri Danau Kedang Murung yang berlokasi di Kota Bangun.
"Kami sekarang telah mendayung sejauh tiga mil ke hulu sungai dan masuk ke Danau Gadang Morong (Kedang Murung, pen) yang panjangnya empat mil dan lebarnya dua setengah mil. Di kejauhan di arah barat daya, terlihat Gunung Tinjauan yang konon tingginya 1.500 kaki." (hlm 121).
Yang menarik dari bagian ini, Danau Kedang Murung yang dikunjungi Carl Bock bersama kedua pangeran Kesultanan Kutai untuk berpelesir itu kini tengah dikembangkan pemerintah desa. Danau tersebut disiapkan menjadi destinasi wisata unggulan yang dinamakan Tanjung Sarai di Desa Kedang Murung. Sekarang, orang-orang yang berwisata di danau ini tanpa sadar tengah menapaktilasi perjalanan seorang penjelajah Norwegia yang ternama.
Sementara itu, Asisten Residen Belanda, SC Knappert, sempat menuliskan kunjungannya di Kota Bangun. Dia menyebutkan, Kota Bangun ditempuh sekitar satu hari perjalanan dari Tenggarong menggunakan kapal uap. Penduduk Kota Bangun adalah pengikut Muhammad. Sebagian besar penduduk hidup dari menanam padi, menangkap ikan, juga sebagian membuat perahu berkualitas bagus. Hal ini menarik sebab sampai saat ini Kota Bangun masih dikenal sebagai sentra pembuatan perahu kayu.
Pada masa kunjungan Knappert tersebut, ia menuliskan bahwa Kota Bangun merupakan perkampungan yang sebagian besar dibangun di sebelah kanan--dari arah hulu, tepian Mahakam.
"Hanya satu bagian, khususnya satu dusun Soeta Kiri, terletak di tepi sungai ini. Tempat yang ada di dalamnya sudah diperpanjang (panjang negerinya hampir empat tiang), terdiri dari lima bagian atau dusun yang mana kampung utamanya atau "kota" dipimpin oleh Kiai Patih (gelar yang diberikan Sultan sebelumnya), sedangkan bagian lainnya yaitu Soeta Kanan, Soeta Kiri, Marta Kanan, dan Marta kiri masing-masing kepala (kepala adat, pen) atau pembekal yang terpisah."
Sayangnya, belum diketahui waktu kunjungan Knappert di Kota Bangun. Tulisan Knappert itu diterbitkan pertama kali pada 1905. Pada masa sekarang, nama Suta Kanan seperti yang disebutkan Knappert, masih bisa dikenali dari nama jalan di Kota Bangun. Bahkan, sampai sekarang, makamnya masih terpelihara dan keturunannya masih ada (termasuk istri penulis yang merupakan salah satu keturunan Suta Kanan).
Sementara itu, untuk nama Suta Kiri, Marta Kanan, dan Marta Kiri, saat ini sudah hilang jejaknya. Atau, sudah tidak dikenali lagi oleh generasi sekarang di Kota Bangun.
Menurut Knappert, selain para pembekal, ada juga semacam kepala suku untuk Orang Banjar dan Orang Bugis. Untuk segala urusan pemerintahan, ditempatkan seorang jaksa yang mengawasi tata tertib dengan enam orang pengawas atau penjaga keamanan. Jalan dan rumah-rumah sedang dibangun pada masa itu.
"Penghapusan rakit (rumah rakit yang mengapung) secara bertahap terus gencar dilakukan sehingga Kota Bangun bisa menjadi tempat paling menyenangkan bagi warganya," tulis Knappert.
Catatan yang lebih lawas mengenai Kota Bangun berasal dari John Dalton. Ia seorang pengelana Inggris yang bermaksud menyelidiki kematian Muller. Dalton memasuki Sungai Mahakam atau Sungai Kutai pada 1828. Dalam catatannya, ia menuliskan pengalamannya memasuki Kota Bangun.
"Sekitar setengah mil lebih jauh di tepi kanan, kami melewati Tanna Pinda; yang melainkan pepohonan yang membentuk cekungan besar yang terisi air hingga ke tepian dengan aliran deras yang tinggi. Di dekatnya, ada perkebunan. Di seberangnya, terdapat gundukan lumpur tempat beberapa aligator besar terlihat berjemur," catat Dalton.
Tanah Pindah masih dikenali sebagai nama dusun di Desa Kota Bangun Ilir. Pada masa Dalton tiba, tempat itu masih berupa cekungan sungai dan perkebunan. Tanah Pindah kini telah menjadi salah satu permukiman penduduk yang ramai di Kota Bangun.
Dalam jurnalnya, Dalton menyebutkan bahwa Kota Bangun dihuni hampir 4.000 penduduk utamanya wanita dan anak-anak. Di belakang perkampungan, terdapat danau yang besar. Di dalamnya banyak burung. Namun, saat Dalton akan ke sana, hujan deras turun sehingga menghalanginya untuk berburu. Ia mengaku menikmati suasana di Kota Bangun sebagaimana Muller.
"Mayor Muller tinggal di Cota Bangon dua hari dua malam. Orang-orang di sini mengatakan, Sang Mayor sangat puas dengan situasi tempat itu meskipun agak kesusahan dirinya sebagai orang Eropa, dalam melakukan pengamatan. Namun situasi tempat itu persis seperti memuat gagasan seorang militer. Di dekat kampung di sisi yang sama, terdapat dua titik daratan yang menonjol, menghubungkan di kedua pintu masuk sungai: di kedua titik kapal harus mendekat dalam jarak 150 yard dari setiap tempat menonjol itu. Tempat itu berada di ketinggian 20 hingga 30 kaki, dan satu-satunya tempat yang terdekat. Ini adalah tempat pilihan," tulis Dalton lagi.
Dari gambaran Muller, Kota Bangun pada masa lalu sepertinya memang dipersiapkan sebagai wilayah pertahanan bagi kesultanan Kutai. Maka tak salah ketika terjadi peristiwa penyerbuan oleh armada kapal laut yang dipimpin t'Hooft pada 1844. Sultan memilih ke Kota Bangun sebagaimana dicatat Eisenberger.
"Kediaman Sultan kemungkinan besar terbakar pada 7 April (1844) oleh divisi darat di bawah Letnan Komandan Kelas I t'Hoofd (terbakarnya Tenggarong berkaitan dengan Murray). Kediaman Sultan dipindahkan sementara ke Kota Bangun," tulis Eisenberger (hlm 23).
Tentang Awang Long
Dalam peperangan itu, pihak Kutai mengalami kekalahan termasuk kehilangan panglima perangnya yakni Awang Long. Soal kematian Awang Long itu, seorang Australia bernama David Boyce yang bekerja untuk proyek Transmigration Area Development (TAD) di Kota Bangun menuliskannya di dalam jurnal. Boyce cukup dikenal masyarakat Kota Bangun bahkan memiliki beberapa anak angkat yang kemudian menjadi tokoh masyarakat di sana.
Awalnya, ia menulis bahwa Awang Long meninggal dunia dan dimakamkan di daratan Teluk Mentangis. Awang Long lahir pada 28 September 1771 yang berarti ia berumur 73 tahun saat pertempuran yang menewaskan dirinya. Sebelum mendapatkan gelar bangsawan, ia bernama Ni Ranca Suji dari Selerong.
"Ada versi lain tentang kematian Awang Long seperti diceritakan oleh keturunan langsungnya kepada editor catatan ini di Kota Bangun. Dia mengatakan kepadaku bahwa Panglima Awang Long Senopati adalah orang Bugis dan aslinya berasal dari kerajaan Wajo di Sulawesi Selatan. Saat ini, panglima adalah gelar pemimpin pasukan dan orang ini diketahui sebagai panglima yang pemberani dari kerajaan Sribangun (di Kota Bangun) yang memimpin pasukan Sultan Kutai dalam pertempuran melawan Murray di Tenggarong (atau dikenal sebagai Tepian Pandan). Sultan dan para menterinya, setelah pertempuran, meninggalkan Tenggarong dan bergerak melewati perbukitan menuju istana Sribangun yang terletak di sekitar bukit pasir putih dekat dengan lapangan udara Kota Bangun saat ini," tulis Boyce (hlm c-11).
Untuk mengamankan tempat itu, menurut cerita, Awang Long kemudian membangun benteng di jalur tinggi yang berbatasan dengan sungai.
"Kawasan ini dahulu dikenal dengan nama Tanjung Urigin namun kini menjadi Desa Tepian Tebor atau RT VI Kota Bangun, dan masih terdapat adanya benteng yang dibangun di kawasan tinggi tersebut. Rupanya, ketika benteng itu hampir selesai dibangun, dan suatu hari ketika Awang Long sedang membangun, sebuah dinding papan jatuh dan menyebabkan kematiannya. Sebelum dia meninggal, menurut cerita, dia meminta agar namanya tidak dicantumkan pada nisan kuburannya dan agar ia dimakamkan di bukit tempat ia meninggal di Kota Bangun," tambah Boyce lagi.
Sisa jejak-jejak benteng tersebut saat ini masih bisa ditemukan di Kota Bangun. Jejak benteng tersebut terdaftar sebagai situs Benteng Awang Long di dekat PDAM di Jalan HM Siddik, Desa Kota Bangun Ulu.
Sementara itu, nama tempat Tepian Tebor (bahasa Kutai; tepi yang tergerus/erosi) yang dimaksud dalam jurnal Boyce, masih dikenali oleh sebagian besar warga Kota Bangun. Saat ini, Tepian Tebor menjadi Jalan HM Aini yang merupakan bagian dari Desa Kota Bangun Ulu khususnya RT 12, RT 13, RT 14, dan RT 15. Sementara bukit di Tanjung Urigin masuk RT 16 dan RT 17 di Desa Kota Bangun Ulu.
Baca juga bagian pertama artikel ini: Hikajat Bandjar dan Patung Perunggu Buddha
Sebagian masyarakat Kota Bangun memang mempercayai Awang Long wafat dan dimakamkan di Kota Bangun. Beberapa dari mereka bahkan mengaku masih keturunan Awang Long. Terdapat catatan purus (silsilah) yang masih terpelihara. Naskah itu disebut sebagai Naskah Tanjung Urigin atau Susunan Keturunan di Gunung Tanjung Urigin.
Berdasarkan tarikh yang tertera, naskah tersebut bersumber dari Keraton Kutai Kertanegara bertanggal 1 Desember 1960. Naskah ditulis oleh Alm Awang Ismael, keturunan kelima dari Awang Long. Naskah tersebut berisi keterangan singkat mengenai Raden Aryapati yang berasal dari Brunai, kawin dengan anak raja dari Bugis, kemudian melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Awang Long Kerok pada 1782. Awang Long diberi gelar Panglima Mandar dan hijrah ke kerajaan Kutai dibawa oleh Aji Imbut, keturunan raja Kutai, yang kemudian memberi Gelar Pangeran Awang Long Senopati.
Kelanjutan dari naskah ini berupa silsilah dari Awang Long yang kemudian dilanjutkan sampai keturunannya pada 1960. Namun, yang menarik, selain memuat tempat wafatnya Awang Long pada 1844 di Tanjung Urigin Kota Bangun, dijelaskan bahwa Awang Long menikah dan beristrikan keturunan Raja Kapa Kota Bangun. Awang Long kemudian mempunyai anak bernama Kiai Pateh. Nama Kiai Pateh atau Kiai Patih inilah yang dicatat SC Knappert dalam perjalanannya di Kota Bangun sebagai pemimpin Kota Bangun masa lampau. (*)
Penulis: Chai Siswandi, petani yang tinggal di Kota Bangun, Kutai Kartanegara
Senarai Kepustakaan
Adham, D. Salasilah Kutai. Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai. 1979
Bock, Carl. The Hunters of Borneo. Graham Brash. Singapore.1988
Boyce, David. Kutai East Kalimantan A Journal of Past and Present Glory. Kota Bangun. 1983
Buijs, D.W, Witkkamp, H. Endert, F.H. Siebers, H.C. Bosch, D.F.K. Midden Oost Borneo Expeditie 1925. Indisch Comite Voor Wetenschappelijke Onderzoekingen. Druk Van G. Kolff & Co. Weltevreden. 1927
Coomans, Mikhail. Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Cet.1. Jakarta: Gramedia 1987
Dalton. Mr Dalton Journal of A Tour Up The Coti River. Singapore Chronicle. March 1831
Eisenberger, J. Kroniek der Zuider En Oosterafdeeling van Borneo. Drukkerij: Liem Hwat Sing. Bandjermasin. 1936
Knappert, S.C. Beschrijving Van De Onderafdeeling Koetei. 1 Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia. 1905
Mees, C.A. De Kroniek van Koetei: Tekstuitgave Met Toelichting. Santpoort. N.V. Uitgeverij. 1935
Ras, J.J. Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. The Hague.1968