kaltimkece.id Suatu Jumat pada 1972 mestinya adalah hari yang teramat biasa bagi anak berusia 9 tahun seperti Habib Umar bin Hafidz. Layaknya pekan-pekan terdahulu, dia menemani ayahnya yang bernama Habib Muhammad bin Salim pergi ke masjid untuk menunaikan salat Jumat.
Yang membuat berbeda adalah keadaan negeri mereka, Republik Demokratik Rakyat Yaman atau Yaman Selatan. Pemerintah yang memegang kuasa berhaluan Marxis --komunis. Negara mengeluarkan kebijakan bahwa setiap cendekiawan muslim dikenai wajib lapor setiap hari. Dan, Jumat itu adalah giliran melapor bagi Habib Muhammad, ulama yang masih keturunan Nabi Muhammad SAW.
Dalam perjalanan menuju masjid, Habib Muhammad menjalankan kewajibannya melapor di sebuah pos milik pemerintah. Habib Muhammad meminta putranya menunggu di luar pos. Dia melepaskan surban dan syal sebelum masuk pos. Kedua barang itu dititipkan kepada anaknya, sebagaimana ditulis dalam artikel di laman resmi Nahdlatul Ulama bertajuk Syekh Muhammad bin Salim, Korban Penculikan Komunis Yaman (2013).
Sang anak menuruti kata-kata ayahnya. Dia menunggu, menunggu, dan terus menunggu. Namun, waktu terus berjalan dan sang ayah tak keluar-keluar. Habib Umar segera masuk ke barak mencari ayahnya. Dia bertanya ke sana ke mari tetapi tak satu para petugas pun yang memberi jawaban. Jumat itu menjadi hari terakhir Habib Umar melihat sosok ayahnya.
Habib Umar kembali ke rumah. Barang di tangannya, syal dan surban, menjadi satu-satunya kenang-kenangan. Baginya, kedua barang itu adalah titipan yang membawa sebuah pesan. Ayahnya ingin dia meneruskan tanggung jawab dan perjuangan di jalan dakwah.
Dua Negeri Bersatu
Penculikan ayah Habib Umar terjadi ketika Yaman masih terdiri dari dua negara, Yaman Selatan dan Yaman Utara. Tanah kelahiran Habib Umar di selatan Yaman merupakan negara berhaluan komunis bernama Republik Demokratik Rakyat Yaman. Negara ini terbentuk pada masa Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.
Pada 1967, partai nasionalis Yaman Selatan yang didukung penuh oleh Uni Soviet (pemimpin Blok Timur) memberontak. Pergerakan itu membuat Inggris sebagai pihak yang berkuasa segera menarik pengaruh koloninya di Yaman. Republik Demokratik Rakyat Yaman akhirnya berdiri sebagai satu-satunya negara berhaluan komunis di Jazirah Arab (Yemen Country Study Guide Volume 1: Strategic Information and Developments, 2013, hlm 27).
Jauh sebelum Yaman Selatan terbentuk, Yaman Utara telah berdiri. Negara ini sebenarnya bagian dari Kesultanan Ottoman sejak 1849. Namun, kekalahan Ottoman dalam Perang Dunia I yang diikuti kejatuhan kesultanan membuat banyak wilayah memerdekakan diri. Yaman bagian utara adalah salah satunya. Pada 1918, negara ini merdeka dan bernama Republik Arab Yaman (hlm 26).
Dalam perjalanannya, Yaman Utara dan Yaman Selatan kerap terlibat konflik. Yaman Utara mendapat dukungan dari Arab Saudi. Sementara Yaman Selatan, tentu saja menerima suplai senjata dari Uni Soviet. Setelah jalan yang panjang, kedua negara menyepakati penyatuan pada 1990. Presiden Ali Abdullah Saleh terpilih menjadi presiden pertama “Yaman Bersatu”, kini Republik Yaman (Problematika Kekuatan Politik Islam di Yaman, Suriah, dan Aljazair, 2015, hlm 121).
Jalan Dakwah hingga Indonesia
Al Habib Umar bin Hafidz lahir pada 27 Mei 1963 di Kota Tarim, Provinsi Hadramaut, Yaman. Dia adalah anak dari pasangan Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz dan Hubabah Zahra binti Hafidz Al Haddar. Dari garis nasab, Habib Umar adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dari sisi Husain, cucu Rasulullah dari Fatimah Az Zahra dan Ali bin Abi Thalib.
Darah ulama mengalir di tubuh Habib Umar. Sang ayah, Habib Muhammad, adalah ulama yang mengabdikan hidup demi penyebaran Islam dan pengajaran kitab suci. Habib Muhammad adalah ulama terpandang yang mencapai derajat mufti dalam mazhab Syafi’i (Biografi Al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz seperti ditulis di laman Yayasan Al-Baroqaat).
Ketika Habib Muhammad diculik dan tak pernah kembali, Habib Umar menetapkan jalan dakwah sebagai jalan hidupnya. Habib Umar kemudian berguru kepada Habib Ali Masyhur bin Muhammad bin Salim bin Hafidz, tak lain kakak sulungnya. Tumbuh di lingkungan ulama besar, Habib Umar mampu menghafal Alquran sejak dia kecil. Demikian halnya berbagai teks inti dalam fikih, hadits, bahasa Arab, dan ilmu keagamaan. Maka dari itu, selagi belajar, Habib Umar telah membuka kelas-kelas dan kajian Islam.
Namun kondisi negara membuat situasi semakin sulit. Rezim komunis di Yaman Selatan kian ketat membatasi gerakan para cendekiawan muslim. Pada Desember 1981, Habib Umar terpaksa pindah ke kota al-Bayda di Yaman Utara yang di luar pengaruh komunis. Dia tinggal di Ribat Al-Bayda, sebuah sekolah Islam, seperti ditulis dalam laman resmi Al Habib Umar bin Hafidz. Sejak saat itu, Habib Umar terus berdakwah dan membuka kelas-kelas kajian di banyak tempat. Kemasyhuran ilmunya mulai diakui banyak cendekiawan muslim. Bukan hanya di Jazirah Arab, Habib Umar kondang hingga Indonesia.
Hal ini lumrah. Yaman, terutama Provinsi Hadramaut, memiliki hubungan erat dengan Indonesia. Kota kelahiran Habib Umar yaitu Tarim di Hadramaut terletak di sebuah lembah di Yaman. Lembah itu disebut Kota Seribu Wali karena selalu lahir ulama dan aulia besar di setiap masa. Dari para pedagang Hadramaut-lah, Islam masuk ke Indonesia mulai abad ke-10 (Indonesia-Timur Tengah: Masalah dan Prospek, 1994, hlm 19).
Habib Umar, Indonesia, dan Berita Hoax
Pada 1994, Habib Umar bin Hafidz menerima sebuah tugas dari Habib Abdul Qodir bin Ahmad Assegaf, ulama besar dari Jeddah, Saudi Arabia. Habib Umar diminta datang ke Indonesia untuk menggugah hati para alawiyin atau keturunan Arab yang bertalian darah dengan Rasulullah. Para alawiyin, sebut Habib Abdul Qodir, disebut mulai lupa dengan ajaran para pendahulu. Informasi itu diterima Habib Abdul Qodir ketika bertemu Habib Anis bin Alwi Al Habsyi dari Solo, Jawa Tengah (Memahami Pribadi Suci Baginda Nabi SAW Melalui Maulid Dhiya'ullami, 2012, hlm 22).
Habib Umar pun berangkat ke Indonesia. Kepergian tersebut menjadi batu loncatan besar bagi dakwahnya ke penjuru dunia. Lawatan ke Tanah Air pada 1994 adalah dakwah pertama Habib Umar di luar tanah Arab, sebagaimana ditulis dalam laman resminya.
Hubungan Habib Umar dengan Indonesia semakin erat. Selepas kunjungan pertama, banyak santri Indonesia yang menuntut ilmu di pesantren Dar-al Musthafa di Hadramaut yang diampu Habib Umar. Habib Umar makin sering ke Indonesia pada tahun-tahun berikutnya. Yang terakhir adalah pada Kamis dan Jumat, 11-12 Oktober 2018. Habib Umar berceramah di Samarinda yang diikuti puluhan ribu warga kota di Stadion Madya Sempaja.
Keesokan harinya, Jumat, 12 Oktober 2018, Habib Umar mengikuti sebuah majelis di Masjid Baitul Muttaqin, Kompleks Islamic Center, Samarinda. Sang habib terus dikawal aparat yang bersenjata lengkap mengingat dia adalah figur yang mendunia. Pengawalan itu berlangsung hampir setiap saat, termasuk ketika Habib Umar keluar dari Masjid Baitul Muttaqin. Saat itu, ribuan orang telah menantinya seraya menyenandungkan salawat badar.
Sampai sebuah video berisi adegan di atas muncul dan menimbulkan kegaduhan. Rekaman berdurasi 2 menit 16 detik itu diunggah sehari kemudian. Judulnya sangat provokatif: Al Habib Umar bin Hafidz ditangkap Densus 88 di Samarinda. Dalam waktu singkat, hoax atau warta dusta itu menyebar ke mana-mana. Polisi terus memburu pelakunya, orang yang membuat warta dusta manakala warga Samarinda masih terkenang ceramah sang ulama. (*)
Editor: Fel GM