kaltimkece.id Kedatangan kapal di muara Sungai Mahakam pada 1575 menarik perhatian penduduk. Rupa bagian depan perahu itu tirus. Haluan kapal yang lancip mirip dengan moncong ikan hiu gergaji. Penampilan tidak biasa itulah yang menyajikan rasa ganjil kepada penghuni setempat.
Pada abad ke-16, ketika kapal kayu tadi tiba di tanah Kutai, teknologi kemaritiman Nusantara memang baru saja mengalami kemajuan. Kehadiran kapal-kapal Tiongkok dan Eropa dalam kepentingan dagang memberi pengaruh baru. Menurut catatan para pelayar Portugis, kapal lokal abad ke-16 sudah berbadan besar. Muatannya 100 ton serta tidak memakai teknik ikat lagi melainkan pasak. Hasil gabungan teknologi Tiongkok dan Eropa itu kemudian disebut kapal hybrid (Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia, 2013).
Dari kapal “aneh” yang baru menyeberangi Selat Makassar itu, dua ulama segera keluar. Mereka bernama Tuan di Bandang dan Tuan Tunggang Parangan, mubalig asal Minangkabau, yang baru saja mengislamkan penduduk Makassar.
Di timur Kalimantan, keduanya hendak bertemu Raja Makota, pemimpin Kerajaan Kutai Kartanegara. Pada waktu itu, selain Kutai Kartanegara, berdiri kerajaan yang lebih tua di Sungai Mahakam yakni Kutai Martapura. Pusat pemerintahan kerajaan, dengan masa keemasannya pada era Raja Mulawarman, berdiri di Muara Kaman atau sekitar 150 kilometer dari muara sungai.
Baca juga: Lapangan Kinibalu, Kemenangan Kaum Republik dan Jatuhnya Wibawa Sultan
Adapun istana Kerajaan Kutai Kartanegara, berdiri di Jaitan Layar, muara sungai Mahakam. Kawasan itu kini masuk wilayah Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara. Di situlah kedua pendakwah tiba dan hendak bertemu Raja Makota, raja keenam Kutai Kartanegara.
Belum lagi bersua, kedua mubalig menerima berita tak mengenakkan. Sebagian penduduk Makassar yang telah memeluk Islam kembali ke kepercayaan lama. Tuan di Bandang yang mendengar kabar tersebut bergegas kembali ke Makassar. Hanya Tuan Tunggang Parangan yang tetap tinggal di Kutai, seperti ditulis Muhammad Sarip dalam bukunya berjudul Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan, Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara (2018).
Tunggang Parangan akhirnya bertemu Raja Makota. Dia segera mengutarakan maksud yakni meminta raja memeluk Islam. Seorang raja, kata Tunggang Parangan kepada Raja Makota, diridai Allah Ta’ala untuk memerintah hamba Allah di negeri tersebut.
“Lamun (jika) raja hendak menurut saya, baiklah, raja masuk Islam. Orang Islam itu, lamun ia mati baik, mendapat surga berapa lagi,” tutur sang ulama. Perbincangan itu dicatat dalam Salasilah Kutai yang ditulis pada 1849. Salasilah tersebut telah diselidiki sejarawan Belanda, Constantinus Alting Mees dalam bukunya berjudul De Kronik Van Koetai Tekstuitgave Met Toelitching (1935).
Tunggang Parangan melanjutkan dakwahnya mengenai orang yang kafir. “Jikalau raja hendak tahu, orang kafir yang makan babi, jikalau mati, dimasukkan Allah Ta’ala ke neraka,” sambungnya.
Keberhasilan Dakwah
Sang kiai sesungguhnya datang pada waktu yang tepat. Tunggang Parangan tiba di Kutai ketika Islam sedang merebak luas di Nusantara selepas Majapahit runtuh. Majapahit, sebagaimana Kutai Kartanegara kala itu, adalah kerajaan bercorak Hindu-Buddha. Peran Majapahit dengan wilayah yang besar berakhir pada 22 Juni 1927. Dominasinya digantikan Kesultanan Demak yang bercorak Islam (Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, 2005).
Pengaruh Kesultanan Demak turut mempercepat penyebaran Islam ke wilayah timur. Walaupun demikian, raja dari Kutai Kartanegara tak serta-merta menerima Islam. Ketika Tunggang Parangan datang dengan agama yang baru, Raja Makota tak percaya begitu saja. Lagi pun, Tunggang Parangan adalah orang asing. Raja Makota ingin mengujinya terlebih dahulu.
Dalam Salasilah Kutai, Raja Makota pertama-tama menghilang dan meminta Tunggang Parangan menemukannya. Ujian pertama itu berhasil dilewati sang mubalig. Percobaan berikutnya adalah adu kesaktian. Raja membuat api yang besar lalu meminta dipadamkan. Tunggang Parangan menjawabnya dengan berwudu dan salat dua rakaat. Hujan deras kemudian datang tanpa henti dan memadamkan api.
Baca Juga: Zaman Jepang di Balikpapan, Neraka bagi Buruh Paksa
Mengenai kisah tersebut, penggiat sejarah lokal, Muhammad Sarip, memberikan pendapatnya. Adu kesaktian, secara harfiah, serupa dengan riwayat metode dakwah yang mengutamakan unsur karamah, mukjizat atau keajaiban. Namun demikian, cerita tersebut dapat pula dianggap sebagai dakwah melalui dialog yang setara. “Adu kesaktian juga bermakna perdebatan nalar atau dialektika yang dimenangkan Tunggang Parangan. Raja Makota pun sukarela memeluk Islam,” tulis Muhammad Sarip.
Tafsir yang tak jauh berbeda juga diberikan sejarawan asal Belanda, CA Mees, dalam kisah kedatangan dua ulama. Dalam Salasilah Kutai, mereka tiba dengan menunggangi ikan parangan, sejenis hiu gergaji. Dari cerita menunggangi ikan parangan itu, sang ulama diberi gelar Tunggang Parangan oleh kerajaan. Menurut Mees, tulisan di bagian itu hanya kiasan. Bahwasanya, Tunggang Parangan datang ke Kutai menaiki perahu yang ujungnya lancip seperti moncong ikan.
Masalah Daging Haram
Pada percakapan pertama dengan sang raja, Tunggang Parangan menyampaikan haramnya memakan daging babi bagi seorang muslim. Syarat itu sempat mengganjal proses sang raja memeluk Islam. Masalahnya adalah masih banyak ternak babi di sekitar istana. Raja pun mengajukan permintaan.
“Baiklah tuan, saya dan seluruh menteri dan pembesar kerajaan kami akan masuk Islam. Akan tetapi, saya minta tangguh dulu. Biarlah saya menghabiskan babi piaraan kami dan menghabisi daging babi di dalam tempayan,” kata Raja. Permintaan penangguhan itu disetujui. Tunggang Parangan hanya berpesan agar raja membangun sebuah surau. Raja juga setuju.
Tidak disebutkan berapa lama penangguhan berjalan. Namun, Raja Makota disebut mulai memeluk Islam pada 1605 (Manusia Daya: Dahulu, Sekarang, Masa Depan, 1987). Jika merujuk pendapat tersebut, raja beragama Islam 30 tahun setelah kedatangan Tunggang Parangan pertama kali. Ketika itu, pembangunan surau sudah selesai.
Tunggang Parangan sendiri yang memandu Raja Makota mengucapkan kalimat syahadat. Raja juga diajarkan tata cara salat. Di langgar yang telah didirikan, Tunggang Parangan mengadakan kajian agama. Dia mengajarkan rukun Islam, rukun iman, bacaan doa, zikir, dan tentu saja cara berpuasa, kepada keluarga istana dan segenap rakyat. Demikianlah bulan Ramadan ini, tepat 413 tahun silam, ibadah puasa menurut aturan Islam pertama kali dilaksanakan penduduk Bumi Etam.
Selepas mengislamkan keluarga kerajaan, Tunggang Parangan bersama Raja Makota menyebarkan agama ke penjuru wilayah kerajaan. Ajaran Islam dibawa kepada penduduk Loa Bakung di Samarinda, Kaniungan, Manubar Sangkulirang, hingga Balikpapan. (*)