kaltimkece.id Publik telanjur mengenalnya dengan nama Kudungga. Sebuah nama yang merujuk kepada raja pertama Kutai Martapura yang berdiri di Muara Kaman. Kudungga yang dimaksud tidak lain kakek dari Mulawarman, raja termasyhur Kutai Martapura yang berkuasa pada abad kelima. Kerajaan di hulu Sungai Mahakam ini adalah yang tertua di Indonesia.
Setelah 12 abad, Kutai Martapura --bukan Kutai Martadipura seperti yang populer sekarang-- akhirnya runtuh. Kerajaan ini kalah berperang dari Kerajaan Kutai Kertanegara pada abad ke-17. Kutai Kertanegara yang memenangi peperangan itu adalah kerajaan yang lebih muda yang awalnya berdiri di Kutai Lama, muara Sungai Mahakam.
Kembali ke nama Kudungga, yang banyak tidak diketahui ialah penulisan nama tersebut sebenarnya tidak tepat. Nama raja pertama Kutai Martapura yang benar adalah Kundungga dengan selipan huruf /n/. Ketika sekarang ada yang menulis Kundungga, sebagian orang tentu menyangka itu kesalahan tik. Pandangan ini tidak lepas dari penulisan Kudungga yang kadung masif dan dianggap kebenaran mutlak.
Nama Kudungga (tanpa selipan huruf /n/ tadi) sudah dipakai di sebuah rumah sakit di Kutai Timur. Namanya RSUD Kudungga. Ada pula cerita rakyat berjudul "Kutukan Sang Kudungga" yang dimuat dalam buku terbitan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada 2009. Di samping itu, Kudungga tersemat pada nama sebuah pelabuhan di Kutim. Ada pula kapal khusus yang menangani keamanan pesisir Sangatta di Kutim yang memakai nama Kudungga.
Masih banyak contoh lain betapa populernya Kudungga. Nama ini ditemukan di jurnal perjalanan berjudul Ekspedisi Kudungga Menelusuri Jejak Peradaban Kutai. Buku tersebut diterbitkan pada 2017 oleh Tempo Institute dan Total E&P Indonesie. Pustaka berukuran jumbo dan bersampul hitam itu, ketika peluncurannya, diresmikan oleh Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak.
Jauh sebelumnya lagi, nama Kudungga muncul di dua buku terbitan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai berjudul Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai (1975) dan Kutai Perbendaharaan Kebudayaan Kalimantan Timur (1976). Begitu pula buku Kerajaan Kutai Kertanegara karya Syaukani Hasan Rais yang terbit pada 2002.
Pada akhirnya, banyak buku dan karya tulis terbitan pemda di Kaltim menulis nama Kudungga. Demikian pula beberapa media massa baik cetak maupun siber, baik lokal maupun nasional, turut memopulerkan nama Kudungga.
Faktanya, Kudungga adalah cara penulisan yang keliru. Yang benar adalah Kundungga.
Penelusuran Sumber yang Sahih
Begini penjelasannya. Pada 1879, empat tiang batu ditemukan di Muara Kaman. Pada tiap batu tertoreh tulisan kuno yang sangat asing bagi penduduk. Kalangan juru tulis Kesultanan Kutai Kertanegara juga tidak bisa membaca teks di monumen tersebut.
Misteri mulai terpecahkan ketika seorang profesor di Belanda bernama Hendrik Kern meneliti salinan tulisan yang dikirimkan kepadanya. Kern menjadi orang pertama yang mampu membaca kata-kata yang terukir di monumen alias inskripsi tersebut.
Ahli epigrafi itu mengungkapkan, huruf yang ditulis di batu andesit itu adalah aksara Pallawa. Ragam aksara ini berasal dari selatan India dan dipakai pada abad kelima Masehi. Bahasa yang digunakan adalah Sanskerta, suatu bahasa khusus dalam religiositas Hindu. Nama batu bertulis atau prasasti itu adalah yupa.
Kalimat di prasasti yupa pertama pada baris kesatu dan kedua berbunyi, “Òªrá¿mataḥ çrá¿-narendrasya, kuá¹á¸uá¹ gasya mahÄtmanaḥ”.
Pada mulanya, Kern membuat alih aksara kuá¹á¸uá¹ gasya dengan kuá¹á¸aá¹ gasya. Seorang pakar yang lain bernama J Ph Vogel, pada 1918, mengoreksi transliterasi itu. Koreksi Vogel muncul setelah Kern meninggal dunia. Vogel sendiri ditugaskan langsung oleh Kern untuk mengkaji yupa lebih dalam.
Kajian Vogel termuat dalam makalah berjudul The Yupa Inscription of King Mulawarman. Baik Kern maupun Vogel, tidak berbeda dalam menyebut suku kata kun dan bukan ku.
Vogel menerjemahkan kalimat tersebut sebagai The illustrious lord-of-men, the great Kuá¹á¸uá¹ ga (1918: 212). Tujuh belas tahun setelah penelitian Vogel, terbit buku De Kroniek van Koetai Tekstuitgave Met Toelichting. Buku dari disertasi ini ditulis Constantinus Alting Mees, seorang ahli sejarah dan sastra Melayu. Pada bagian awal bukunya, Mees menyadur riset Kern tentang prasasti yupa.
“Het treft ons dat zoon en kleinzoon duidelik Sanskrit namen hebben, terwijl de grootvader Kuá¹á¸ungga een naam van twij-felachtige afkomst draagt.” Kutipan dari buku Mees ini secara jelas menuliskan Kundungga (1935: 8).
Penulisan Kundungga kemudian konsisten dipakai dalam karya-karya ilmiah di kemudian hari, baik oleh penulis asing maupun Indonesia. Para sejarawan dengan penelitian yang mendalam akan merujuk cara penulisan versi Kern atau Vogel. Solco Walle Tromp, asisten residen Borneo Timur di Samarinda, adalah satu di antaranya. Ia menulis Kundungga dalam bukunya berjudul Uit de Salasila van Koetei (1888: 83). Buku ini terbit delapan tahun setelah hasil penelitian Kern terhadap yupa.
Penulisan yang selaras ditemukan pula dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II Zaman Kuno. Buku babon ini disusun Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia dan diterbitkan Balai Pustaka pada 1975. Pada dua kalimat awal prasasti yupa yang pertama diterjemahkan dengan, "Sang Maharaja Kundungga yang amat mulia”.
Sejarawan lain yang secara tepat menuliskan ayah Aswawarman itu dengan teks Kundungga adalah Ita Syamtasiyah Ahyat. Sejarawan Universitas Indonesia ini menulis buku Kesultanan Kutai 1825–1910 yang terbit pada 2013.
Selanjutnya adalah Dwi Cahyono dan Gunadi Kasnowihardjo. Kedua arkeolog ini menulis ejaan Kundungga pada buku Kajian Arkeologi Sejarah Kerajaan Kutai Martapura yang terbit 2007. Namun demikian, buku ini belum konsisten menyebut Kundungga karena masih ada yang tertulis Kudungga.
Demikian halnya buku Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SMP/MTs kelas VII yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2016. Pada halaman 231, nama Kundungga ditulis sebanyak empat kali. Situs Kemdikbud yang memuat artikel tentang prasasti yupa juga setali tiga uang.
Munculnya Nama Kudungga
Penyimpangan Kundungga menjadi Kudungga tampaknya dimulai dari pihak lokal di Kalimantan. Di antara yang melakukannya adalah Kantor Daerah Dirjen Kebudayaan Depdikbud Kaltim pada 1967. Instansi yang dikepalai Moh Noor ini menerbitkan majalah yang dinamai Kudungga. Media informasi sejarah dan budaya ini hanya terbit empat edisi.
Tidak hanya dari aspek nama media, Majalah Kudungga juga memuat informasi yang kontroversial. Daftar nama-nama raja di Muara Kaman setelah Mulawarman, menurut Moh Noor, ternyata bersumber dari ucapan dukun dalam upacara belian. Cara pengambilan data seperti ini tidak dikenal dalam metode historiografi.
Sebelum itu, ada buku Suluh Sedjarah Kalimantan karangan Amir Hasan Kyai Bondan. Dalam subbab berjudul "Tarich Warna Matjam" tertulis nama Kudangga (1953: 69). Amir Hasan tampaknya tidak mengikuti perkembangan mutakhir tentang revisi Vogel yang mengoreksi huruf /a/ setelah huruf /d/ dengan /u/.
Dengan demikian, jelaslah duduk perkaranya. Pemimpin pertama komunitas kuno di Muara Kaman adalah Maharaja Kundungga, bukan Kudungga. Semoga semua pihak menyadari hal ini dan mengambil tindakan yang semestinya. (*)
Catatan redaksi: isi artikel ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Editor: Fel GM