kaltimkece.id Bulan Januari 1918 adalah masa-masa kelam di muka bumi. Pada pengujung Perang Dunia I, ribuan tentara Prancis sedang bersiaga penuh di dalam parit di garis pertahanan negara. Satu per satu serdadu itu kehilangan nyawa. Bukan oleh letusan bedil atau ledakan bom, ribuan tentara ini tewas karena terjangkit flu ganas.
Seabad silam, wabah influenza mulai menyebar di Eropa. Gejalanya pilek. Orang-orang menamakannya Flu Spanyol. Menurut sejarawan Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus, cuma perlu beberapa bulan buat virus ini untuk menyebar ke seluruh dunia.
Flu menginfeksi setengah miliar orang. Sebanyak 50 juta sampai 100 juta orang meninggal. Kematian akibat pandemi ini bahkan lebih banyak daripada korban Perang Dunia I. Perang yang berkecamuk pada 1914–1918 itu merenggut 40 juta nyawa.
Pertukaran manusia, amunisi, bahan makanan, dan logistik waktu itu sudah lintas benua. Aktivitas perekonomian pada dekade kedua abad ke-20 yang begitu sibuk mempercepat penularan virus ke seluruh muka bumi.
Flu Spanyol akhirnya tiba di Nusantara yang dikuasai Pemerintah Hindia Belanda. Tim Departemen Sejarah Universitas Indonesia pada 2009 memublikasikan penelitian tentang sejarah pandemi infulenza di Indonesia pada 1918. Terdapat data arsip kolonial mengenai wabah flu yang menginfeksi penduduk Sumatra, Jawa, Sulawesi, hingga Maluku. Namun demikian, sangat minim informasi kejadian itu di Kalimantan.
Khusus di Kalimantan Timur, fasilitas kesehatan yang tidak sebanyak di Pulau Jawa menyebabkan pencatatan pasien kurang memadai. Kasus wabah flu di Kaltim juga seperti lenyap dari memori kolektif atau ingatan masyarakat. Sukar menemukan catatan sejarah lokal perihal wabah ini.
Namun demikian, masih ada orang yang mendokumentasikan pandemi influenza di Kalimantan. Adalah Johan Eisenberger, peneliti Belanda yang pernah mencatatnya. Ia menulis buku berjudul Kroniek van Zuider en Oosterafdeeling van Borneo atau Catatan Peristiwa di Wilayah Selatan dan Timur Borneo. Buku ini diterbitkan di Banjarmasin pada 1936.
Pada 1918, hampir seluruh wilayah terjangkit penularan wabah kolera dan Spaansche Griep. Jumlah penderita mencapai 90 persen dari populasi (hlm 99). Eisenberger tidak menyebut lokasinya secara spesifik. Tapi, mengingat spasial buku yang ditulisnya melingkupi Borneo Selatan dan Timur, wilayah wabah yang dimaksud adalah di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Sejarawan Banjar, Amir Hasan Kyai Bondan, kemudian menyadur catatan itu dalam bukunya yang berjudul Suluh Sedjarah Kalimantan. Dalam buku yang diterbitkan pada 1953 ini, Amir Hasan menerjemahkan Spaansche Griep bukan sebagai flu Spanyol, melainkan demam panas. Amir Hasan secara gamblang menyebut wilayah sebaran penyakit hampir di seluruh Kalimantan (hlm 75).
Wabah datang melalui jalur perkapalan. Banjarmasin merupakan pusat Residen Borneo Selatan dan Timur. Adapun Samarinda, merupakan kedudukan pemerintahan Asisten Residen Borneo Timur. Kedua kota ini mempunyai pelabuhan yang strategis.
Pelabuhan Banjarmasin dan Samarinda merupakan bandar perdagangan yang dilalui kapal antarpulau dan lintas negara. Khusus Samarinda, perusahaan pelayaran Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) mulai beroperasi sejak 1876. Pelabuhan Samarinda juga berfungsi sebagai bandar dagang Kesultanan Kutai Kertanegara
Di kedua pelabuhan ini, penyakit flu Spanyol yang dibawa pekerja kapal menulari pekerja pelabuhan. Virus kemudian menyebar ke penduduk lokal.
Di dalam otoritas Hindia Belanda sendiri, muncul polemik soal cara mengatasi wabah. Usul karantina oleh institusi kesehatan terhadap perkapalan ditentang keras para pengusaha. Dampak ekonomi menjadi alasan usahawan.
Ketika flu disertai demam mengganas di permukiman lokal, penduduk menganggap penyakit tersebut akibat ilmu supranatural. Flu dipercaya berasal dari teluh, santet, guna-guna, dan sejenisnya. Ada pula yang berpikiran bahwa wabah tersebut datang karena melanggar pantangan adat terhadap lokasi atau tempat yang dikeramatkan. Tapi, ada juga yang menganggapnya sebagai penyakit lumrah.
Rakyat jelata banyak yang tidak sanggup berobat ke dokter karena tarifnya tidak terjangkau. Mereka akhirnya berobat secara tradisional. “Pengobatan” ini menggunakan air di dalam bejana yang dibacakan doa-doa. Pembaca doa adalah kalangan pemuka agama atau tokoh yang dituakan dalam masyarakat setempat. Air tersebut diminum pasien dan sebagiannya dipercikkan ke sekeliling rumah untuk menangkal balabencana. Memang tidak ada jaminan efektivitas cara ini. Bagi mereka, ini ikhtiar daripada pasrah menunggu nasib.
Wabah flu Spanyol di Nusantara berlangsung sampai 1919 hingga mereda dengan sendirinya. Tentu saja, wabah pergi setelah banyak korban berjatuhan. Mereka yang selamat dari hidung meler, susah bernapas, kedinginan, dan lemas, akhirnya mendapat imunitas baru. Influenza 1918 pun tak muncul lagi meskipun sebenarnya ia bermutasi menjadi penyakit-penyakit yang lain.
Seratus dua tahun telah berlalu sejak flu Spanyol mewabah. Kini dunia dilanda pandemi serupa, Covid-19. Penyakit ini juga telah masuk ke Kalimantan Timur. Sekali lagi, sejarah akan memberikan pelajaran kepada umat manusia. (*)
Ditulis oleh Muhammad Sarip, peminat sejarah lokal.
Editor: Fel GM