kaltimkece.id Usia Pangeran Prabu hampir genap 40 tahun ketika Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dirundung marabahaya. Sepasukan tentara yang dikirim dari Balikpapan hampir mencapai istana di Tenggarong. Pertengahan 1964 silam, angkatan bersenjata segera menangkap sejumlah petinggi kesultanan begitu tiba di keraton. Ayah Pangeran Prabu, tak lain bernama Sultan Parikesit, dimasukkan ke penjara. Paman dan kerabat Pangeran Prabu turut ditahan di Balikpapan seperti Gubernur Fomler dan Aji Pangeran Tumenggung Pranoto.
Perintah meringkus para pejabat datang dari Panglima Komando Daerah Militer IX/Mulawarman, Kolonel Suhario Padmodiwiryo. Dia seorang perwira muda dari pejuang angkatan 45 yang dikenal dengan nama pena Hario Kecik. Suhario, karena kemampuan menulisnya, adalah sosok yang dekat dengan Presiden Soekarno. Pada masa itu, Soekarno menggaungkan konsep nasionalis, agamais, dan komunis, yang dipendekkan menjadi nasakom.
Dasar tuduhan Suhario menangkap para bangsawan adalah percobaan menghidupkan kembali pemerintahan feodal atau swapraja. Para petinggi kesultanan disebut bekerja sama dengan pemberontak asing untuk mencapai tujuan itu. Pada akhirnya, tudingan Suhario bermuara kepada kaum ningrat yang kurang membantu gerakan revolusi Presiden Soekarno (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 2010).
Baca juga: Gubernur APT Pranoto, Akhir Pilu Sang Pendukung Kemerdekaan
Penangkapan tadi hanyalah permulaan gerakan Kolonel Suhario. Tak berselang lama, serangan lain datang. Kumpulan orang dalam jumlah besar telah mengepung keraton. Agustus ini, tepat 54 tahun lalu, Kolonel Suhario melanjutkan aksi penghinaan kepada bangsawan Tenggarong. Dia memerintahkan massa membakar pakaian kebesaran sultan di halaman keraton.
Pangeran Prabu yang masih tinggal di istana setelah ayahnya ditangkap tak bisa berbuat banyak ketika sebagian besar patung dan lambang kesultanan dibakar. Tiang bendera setinggi 30 meter dirobohkan. Suhario bahkan berencana membakar istana Tenggarong seperti halnya keraton Kesultanan Bulungan yang ia ratakan dengan tanah beberapa tahun sebelumnya (Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kertanegara, 2018).
Namun, rencana massa membakar istana diketahui Gubernur Kaltim Abdoel Moeis Hassan. Sang gubernur yang namanya kini tengah diajukan sebagai pahlawan nasional itu segera mengirim polisi. Istana Tenggarong yang sekarang menjadi Museum Mulawarman pun terselamatkan.
Tak jauh dari istana, Suhario yang menjadi dalang keributan masih menyaksikan pembakaran atribut kesultanan. Dalam buku berjudul East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, Burhan Djabier Magenda menulis, “Suhario menjadi penonton ketika atribut Sultan dibakar. Dia menyaksikan peristiwa itu dari perahu di Sungai Mahakam.”
Pangeran Prabu yang menyaksikan seluruh peristiwa itu memiliki nama lengkap Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat. Dia adalah Sultan Aji Muhammad Salehuddin II, sultan ke-20 Kutai Kartanegara Ing Martadipura, yang wafat hari ini, Ahad, 5 Agustus 2018. Kehidupan panjangnya selama 93 tahun membawa sang Sultan menyaksikan kedigdayaan, keruntuhan, hingga masa-masa gelap kesultanan tadi.
Dalam biografinya berjudul Pangeran Prabu: Sultan Kutai dan Kehidupannya (2003), Sultan AM Salehuddin II mengungkapkan kegetiran akan peristiwa tersebut. “Terus terang, saya sedikit trauma bila berlama-lama di Museum Mulawarman Tenggarong,” tutur Sultan Salehuddin II. Sultan trauma terutama ketika upacara Erau yang mengharuskannya berada di museum. Di dalam museum yang dulunya keraton itulah, dia terkenang masa lalu ketika ayahnya, Sultan Parikesit, masih hidup.
“Kejayaan ayahanda masih dalam genggaman ketika di museum ini,” kata Sultan Salehuddin II seraya melanjutkan, “Namun, di bangunan ini pula, kehancuran diterima oleh kerabat kesultanan.”
Masa Emas
Pangeran Prabu atau Sultan AM Salehuddin II lahir pada 24 Oktober 1924, empat tahun setelah ayahnya, Sultan AM Parikesit, naik takhta. Masa kecil sang pangeran dihabiskan di Tenggarong ketika Kesultanan Kutai menggapai masa kejayaan.
Kekayaan kesultanan pada masa itu sebagian besar berasal dari hasil perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian berisi konsesi minyak dan batu bara yang diperbarui, sultan menerima 7.000 gulden per bulan. Merujuk harga emas pada tahun yang sama, ayah Pangeran Prabu menerima setara Rp 518 juta pada 2018.
Penghasilan itu masih kecil karena pendapatan terbesar kesultanan sejatinya adalah royalti 5 persen dari konsesi minyak, batu bara, dan hutan di Kutai. Burhan Djabier Magenda menulis, "Sultan Parikesit (ayah Pangeran Prabu) memiliki lebih dari 10 juta gulden (kira-kira Rp 740 miliar) sebulan untuk dibelanjakan."
Kekayaan sebesar itu menjadikan Parikesit masuk jajaran sultan terkaya di kawasan Hindia Belanda. Sebagai perbandingan, gaji Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang saat itu dijabat Johan Paul van Limburg Stirum, hanya 12 ribu gulden sebulan, kira-kira Rp 888 juta.
Masa Redup dan Runtuh
Masa jaya Kesultanan Kutai mulai meredup ketika Pangeran Prabu berusia 18 tahun. Kekuasaan Hindia Belanda di Tanah Air berhasil disingkirkan Jepang mulai 1942. Selepas Jepang pergi dan Republik Indonesia merdeka, kesultanan terus meredup. Pada tahun-tahun pertama kemerdekaan, kaum pergerakan perjuangan yang disebut Republiken terus mendesak agar pemerintah feodal dibubarkan.
Pengumuman penting itu akhirnya keluar pada 23 Januari 1950. Sultan Parikesit membacakan pengumuman dalam rapat umum di Lapangan Kinibalu di Samarinda. Parikesit menyampaikan bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menyetujui bentuk negara kesatuan untuk seluruh Indonesia. Kesultanan juga setuju bahwa Pancasila adalah dasar pemerintahan sekaligus meminta pasal 45 UUD RI Serikat secepatnya dilaksanakan. Pasal itu mengamanatkan pemerintahan yang demokratis (Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1200-1999, 2017).
Ketika pernyataan penting itu keluar, Pangeran Prabu masih belajar di negeri Belanda. Dia pun segera pulang ke Tenggarong setahun kemudian. Setiba di Tanah Air, kondisi politik Indonesia terus berubah dengan dinamis. Sampai pada 21 Januari 1960, Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya runtuh.
Baca juga: Lapangan Kinibalu, Kemenangan Kaum Republik
Hal itu ditandai lewat penandatanganan oleh Sultan Parikesit mengenai serah terima pemerintahan Daerah Istimewa Kutai kepada empat kepala daerah. Sultan pun menjadi rakyat biasa. Demikian halnya Pangeran Prabu. Sang putra mahkota belum sempat naik takhta karena kerajaan yang berdiri selama enam setengah abad itu runtuh.
Kembali Dihidupkan
Keran otonomi daerah yang mulai terbuka pada 1999 membawa lembaran baru bagi kesultanan. Muhammad Sarip, penyusun buku berjudul Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kertanegara, menulis bahwa Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hasan Rais menyiapkan rencana. Syaukani ingin menghidupkan kembali kesultanan. Pada 7 November 2000, Syaukani bersama Pangeran Prabu selaku pewaris takhta menghadap Presiden Abdurrahman Wahid. Gagasan mereka segera disetujui Gus Dur, panggilan sang presiden.
Dari persetujuan itu, pada 22 September 2001, Pemkab Kukar menggelar prosesi penobatan putra mahkota Sultan Parikesit. Pangeran Prabu diangkat dengan gelar Sultan Aji Muhammad Salehuddin II. Tentu saja, gelar sebagai sultan tidak seperti masa silam. Restorasi kesultanan hanyalah simbolis yang bertujuan melestarikan sejarah dan kebudayaan, bukan membangkitkan feodalisme. Sultan Kutai pun kembali bermahkota meskipun tak memiliki wilayah kuasa. (*)