kaltimkece.id Posisi Sultan Kutai Kartanegara Aji Muhammad Parikesit benar-benar terpojok. Istananya di Tenggarong didatangi sekelompok pejuang bersenjata. Di luar keraton, pendukung kemerdekaan Republik Indonesia dari sekujur wilayah terus menyiarkan tuntutan. Mereka mendesak pembubaran kesultanan karena dianggap dekat dengan Belanda.
Sejak 17 Agustus 1945, Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan meskipun Soekarno-Hatta telah membacakan naskah proklamasi. Belanda yang membonceng Sekutu untuk mengusir tentara Jepang berhasil membentuk pemerintahan semi-militer bernama NICA, Netherlands Indies Civil Administration.
Lewat tangan dingin Hubertus Johannes van Mook sebagai gubernur jenderal, Belanda terus memecah-belah perjuangan bangsa. Dia mendirikan negara boneka seperti Negara Indonesia Timur. Di Borneo, van Mook berusaha membentuk Negara Kalimantan yang turut melibatkan Kesultanan Kutai.
Sikap mendukung Belanda, bukannya membantu perjuangan, membuat para pejuang menganggap Kesultanan Kutai sebagai lawan. “Pada zaman NICA, para pejuang di Kaltim merasa seperti menghadapi dua musuh: Belanda dan Kesultanan Kutai,” kata Djunaid Sanusie, seperti ditulis dalam Sejarah DPRD Kaltim dalam Perkembangan Pemerintahan Daerah 1957-2011 (2011).
Ketegangan antara para pejuang dari kaum Republiken dengan Kesultanan Kutai mulai memuncak pada Kamis, 19 Januari 1950. Sejumlah gerilyawan di bawah pimpinan Djunaid Sanusie melucuti persenjataan kesultanan. Mereka curiga, kesultanan menyiapkan senjata untuk melawan TNI yang baru dibentuk di Kaltim.
“Senjata api yang disita pejuang tergolong canggih dan tidak dimiliki TNI yang bertugas di Samarinda dan sekitarnya,” tulis Djunaid Sanusie dalam bukunya berjudul Secercah Perjuangan BPRI Bn VIII Brig S Div VI -Narotama- di Samarinda (1984).
Baca juga: Zaman Jepang di Balikpapan, Neraka bagi Buruh Paksa
Sebelum peristiwa itu, kedudukan Sultan Parikesit sudah terjepit karena “kekalahan” Belanda dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Konferensi berakhir pada 2 November 1949 dengan kesediaan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (Hasil-Hasil Konperensi Medja Bundar, 1949).
Hasil tersebut memicu tuntutan rakyat Kaltim yang pro-RI makin merajalela. Mereka mendesak sistem pemerintahan feodalisme atau swapraja, berwujud Kesultanan Kutai, segera dibubarkan. Kaum Republiken, yang berjuang sejak Indonesia belum merdeka, juga meminta Kalimantan Timur bergabung dengan Republik Indonesia.
Desakan yang bertubi-tubi, ditambah Belanda yang angkat kaki dari Nusantara, membuat Sultan Parikesit menyelenggarakan rapat umum. Empat hari setelah pelucutan senjata oleh Djunaid Sanusie dan kolega, tepatnya 23 Januari 1950, Sultan membacakan pengumuman di sebuah lapangan. Tanah lega itu berdiri di ibu kota Residen Kaltim di Samarinda, sekarang tepat di belakang Kantor Gubernur Kaltim dan dikenal sebagai Lapangan Kinibalu (Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kartanegara, 2018).
Di hadapan rakyat yang mendukung Republik Indonesia, termasuk para bangsawan dan bawahan kesultanan, Parikesit menyampaikan tiga hal. Pertama, Kerajaan Kutai Kartanegara menyetujui bentuk negara kesatuan untuk seluruh Indonesia. Kedua, setuju bahwa Pancasila adalah dasar pemerintahan. Sedangkan yang terakhir, Sultan meminta pasal 45 UUD RI Serikat yaitu pemerintahan yang demokratis secepatnya dilaksanakan.
Runtuhnya Wibawa Sultan
Sultan baru saja kelar membacakan tiga butir persetujuan ketika seorang laki-laki dari balik kerumunan berteriak lantang. Sayid Gasim Baraqbah, seorang bangsawan Kutai berdarah Arab, tiba-tiba mengajak orang-orang menyerukan nama Abdoel Moeis Hassan.
Menurut Muhammad Sarip dalam bukunya bertitel Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1200-1999 (2017), massa meminta agar Moeis Hasan diberi kesempatan menyampaikan sambutan. Moeis Hassan tiada lain adalah ketua Front Nasional, tokoh utama pergerakan kaum Republiken. Dia gencar menuntut pembubaran pemerintahan swaparaja sehingga posisinya jelas berseberangan dengan kesultanan.
Mendengar nama Moeis Hassan dielu-elukan di depan wajah Sultan Parikesit, protokol kesultanan pun gelagapan. Mereka hanya bisa melihat ke arah kerabat kesultanan yang turut terperanjat menyaksikan gemuruh massa. Dalam situasi itu, Moeis Hassan rupanya juga tak enak hati.
Kekagokan baru mereda setelah seorang pangeran, kemungkinan Aji Pangeran Sosronegoro atau Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, memberi isyarat dengan tangan. Moeis Hassan dipersilakan naik ke panggung untuk berorasi.
Kaum Republiken di Kaltim tak akan pernah lupa dengan peristiwa Lapangan Kinibalu pada hari Senin itu. Moeis, dengan gagah berani, meminta pemerintahan swapraja atau kesultanan dibubarkan karena sudah usang. “Rakyat akan berterima kasih bila Sultan dan kaum bangsawan bisa menyesuaikan diri,” ucap Moeis Hassan seperti ditulis dalam bukunya berjudul Ikut Mengukir Sejarah (1994).
Baca juga: Pipa Minyak Balikpapan, Korupsi hingga Penipuan Ribuan Petani
Orasi itu menjadi peristiwa penting dalam sejarah Kalimantan Timur. Setelah enam setengah abad Kesultanan Kutai Kartanegara, baru hari itu rakyat berani berbicara dengan lantangnya. Moeis Hassan, murid Abdoel Moethalib Sangadji yang kelak menjadi gubernur Kaltim, meminta pembubaran kesultanan tepat di depan Sultan beserta royal family, keluarga besar bangsawan.
“Di sini, kewibawaan dan hegemoni sultan seolah sirna. Massa berani mendemo seorang pemilik ketopong, mahkota emas, dari sebuah imperium berusia enam setengah abad,” tulis penggiat sejarah Kaltim, Muhammad Sarip, dalam bukunya Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan.
Dalam pengantar buku, sejarawan nasional Prof Peter Kasenda mengulas sejumlah alasan yang membuat Kesultanan Kutai terpojok. Menurut Kasenda, Sultan Kutai hanya menjadi alat kekuasaan kolonialisme Belanda ketika rakyat sedang berjuang. Kesultanan justru hidup makmur di tengah kemiskinan rakyat.
Namun demikian, Kesultanan Kutai sebenarnya bukan selalu berpihak kepada Belanda. Adik tiri Sultan Parikesit, Aji Pangeran Temenggung Pranoto, tercatat bersimpati kepada para pejuang kemerdekaan. Dalam kapasitasnya sebagai kepala polisi Kutai, Pranoto memilih menutup mata terhadap kegiatan pejuang yang melawan Belanda.
Sikap berbeda itu menyajikan penilaian lain. Bangsawan Kutai disebut bermain di dua sisi dalam konflik bersenjata antara Belanda dan para pejuang (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 2010).
Yang jelas, selepas peristiwa monumental di Lapangan Kinibalu, kekuasaan kesultanan lambat laun berkurang. Sepuluh tahun kemudian, Sultan Parikesit menandatangani naskah serah-terima pemerintahan Daerah Istimewa Kutai. Pada 21 Januari 1960, takhta Kesultanan Kutai secara resmi runtuh.
Akhir Kinibalu
Lapangan Kinibalu yang menjadi saksi perjalanan para pejuang kemerdekaan Kaltim segera lenyap. Pada Senin, 14 Mei 2018, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak memulai groundbreaking pembangunan Masjid Pemprov Kaltim di lapangan tersebut. Sebelumnya, sederet penolakan masyarakat mengiringi rencana pembangunan masjid.
Menurut Awang Faroek, pembangunan masjid merupakan simbol toleransi di Kaltim. Tidak jauh dari Masjid Pemprov, terdapat gereja dan katedral. Gubernur yakin, pembangunan masjid adalah demi kebaikan. “Walaupun dibilang ngotot, ini untuk umat beragama di Kaltim,” terang Awang Faroek kepada media pada peletakan batu pertama.
Baca juga: Sejarah yang Tergusur Taman Samarendah: Lenyapnya Lokasi Pidato Soekarno dan Soeharto
Tempat ibadah akan dibangun di Lapangan Kinibalu yang memiliki luas 16.261 meter persegi. Sebelumnya, rumah ibadah itu direncanakan bernama Masjid Al-Faroq. Pemprov telah menyiapkan Rp 64 miliar untuk mendirikannya. Dalam hitungan bulan setelah groundbreaking, Lapangan Kinibalu segera lenyap bersama sejarah 68 tahun silam. Sebuah peristiwa monumental yang berlangsung ketika Gubernur Awang Faroek baru berusia 2 tahun. (*)