kaltimkece.id Gubernur Kaltim Soewandi Roestam tak bisa menutupi kerisauan di hadapan putranya, Didik Soewandi. Kepada sang anak yang baru menyelesaikan pendidikan arsitekturnya di Universitas California, Berkeley, gubernur keenam Kaltim itu menyampaikan kegelisahan atas kondisi ibu kota provinsi.
Pada 1983, tahun pertama Soewandi menjabat, Samarinda amatlah kumuh. Industri kayu yang sedang meledak mengundang pendatang dalam jumlah besar. Penduduk Samarinda mengalami ledakan hebat. Pada 1980, Samarinda hanya dihuni 264.012 jiwa. Tujuh tahun kemudian, penduduk kota bertambah hampir 80 ribu jiwa atau menjadi 343.197 jiwa pada 1987. Samarinda pun tak hanya kumuh. Kriminalitas dan perjudian merebak di tengah kota.
Setelah Soewandi menjelaskan keadaan itu, dia mengajukan pertanyaan pamungkas kepada anak laki-lakinya. “Apa kamu bisa mencari teman untuk membuat skema dan mengembangkannya menjadi pusat bisnis yang bagus?” pinta Soewandi, seperti ditulis dalam laporan Majalah Pantau berjudul Citra Niaga (2007).
Didik Soewandi segera menangkap kekhawatiran ayahnya. Sebuah nama terlintas di benaknya. Ketika kuliah di Universitas California, Didik memiliki sahabat bernama Antonio Ismael Risianto. Dia pun segera menghubungi Antonio, lelaki berdarah Filipina kelahiran Belanda, yang sedang mengerjakan proyek di Meksiko. Antonio setuju memberikan bantuan.
Kedua arsitek muda yang baru berusia 36 tahun itu bertemu di Samarinda. Mereka segera menghubungi Adi Sasono, seseorang yang bekerja bagi lembaga nonpemerintah bernama Lembaga Studi Pembangunan, disingkat LSP. Kelak, Adi Sasono menjabat sebagai menteri koperasi di era presiden Baharuddin Jusuf Habibie. Adi Sasono kebetulan sedang memiliki aktivitas di Samarinda pada 1983 sampai 1985 (The Aga Khan Awards for Architecture: Citra Niaga Urban Development, 1989, hlm 2).
Ketiganya lalu merancang desain Citra Niaga, sebuah pusat bisnis dan alun-alun kota yang mengintegrasikan pedagang besar dan kecil. Melalui Adi Sasono, mereka berusaha menembus birokrasi. Didik dan Antonio mempresentasikan rancangan Citra Niaga, tingkat demi tingkat. Dari pedagang kaki lima, pengusaha, pemerintah kota, provinsi, sampai Departemen Dalam Negeri (hlm 3). Patut dicatat, meskipun Didik adalah anak gubernur, proyek sebesar Citra Niaga harus mendapat persetujuan pusat. Setelah dua tahun mengajukan desain ke sana ke mari, menteri akhirnya sepakat. Lahan seluas 27.922 meter persegi milik pemprov diserahkan kepada Pemkot Samarinda. Sesuai Surat Keputusan Gubernur Nomor 12 Tahun 1985, lahan itu diperuntukkan bagi pembangunan Citra Niaga. Senyampang itu, persetujuan menteri dalam negeri, menteri keuangan, dan gubernur Bank Indonesia, juga terbit. Pembangunan Citra Niaga yang bertujuan menjaga kewibawaan ibu kota provinsi pun dimulai.
“Saat itu, mungkin, Gubernur dan Wali Kota merasa tak enak melihat pusat kota yang kumuh,” tutur penggiat sejarah Samarinda, Muhammad Sarip, kepada kaltimkece.id.
Konsep Pedagang Besar dan Kecil
Pembangunan tahap pertama Citra Niaga dimulai pada September 1985. Kedua arsitek, Didik Soewandi dan Antonio, membawa bendera PT Pandurata Indah sebagai pengembang. Perusahaan menerima pembiayaan berupa pinjaman dari bank negara. Tak ada angka resmi mengenai biaya pembangunan. Namun, dari estimasi, ketiga tahap pembangunan Citra Niaga menghabiskan USD 6,18 juta atau sekitar Rp 3,9 miliar saat itu (hlm 79). Jika mengikuti kurs sekarang, nilainya sebesar Rp 86,52 miliar.
Sesuai konsepnya, Citra Niaga diperuntukkan bagi semua pelaku bisnis, raksasa maupun gurem. Pedagang bermodal besar menempati ruko, penjual menengah di kios, dan pedagang kaki lima di petak. Luas kawasan ruko 16.870 meter persegi sedangkan lahan petak dan kios 1.443 meter persegi. Petak adalah tempat usaha berukuran 2x3 meter persegi, berkerangka kayu, dan beratap sirap kayu ulin. Sedangkan kios, tak lain bangunan berukuran 3x3 meter persegi, berkerangka kayu dan beton, beratap genteng. Bentuk atap petak maupun kios menyerupai piramida, ciri khas bangunan tradisional Kutai.
Pembangunan Citra Niaga berjalan setahun dan selesai pada Juli 1986. Tersedia 141 ruko, 79 kios, dan 24 petak. Adapun sisa lahan 7.809 meter persegi dimanfaatkan untuk ruang terbuka, panggung pertunjukan atau bale-bale, fasilitas pejalan kaki, toilet, musala, areal parkir, dan kantor Unit Swadana Daerah Citra Niaga. Sebuah menara besar didirikan di dekat pintu utama. Burung enggang di atas menara mewakili ciri khas Kaltim yakni dari Suku Dayak Kenyah.
Selepas pembangunan, ruko, kios, dan petak, mulai dijual. Sebagian besar laku hanya dalam setahun. Citra Niaga pun mulai beroperasi. Pada 27 Agustus 1987, hari ini tepat 31 tahun yang lalu, Menteri Tenaga Kerja saat itu, Sudomo, meresmikan pusat perbelanjaan tersebut. Turut dalam peresmian, Wali Kota Samarinda Abdul Waris Husain yang juga berperan besar dalam pembangunan Citra Niaga.
Dari Kelam menuju Keemasan
Kawasan Citra Niaga memiliki cerita panjang, sebagian di antaranya kelam. Sebelum pembangunan, kawasan Citra Niaga adalah Taman Hiburan Gelora atau THG. Taman yang sering diisi hiburan rakyat itu dibangun Wali Kota Samarinda Kadrie Oening selepas kebakaran besar pada 4 April 1958. THG mulai beroperasi pada 1968. Taman terdiri dari pertokoan, hotel, hingga tempat hiburan dewasa. THG menjadi primadona masyarakat Samarinda pada 1970 hingga 1980. Keadaan itu seturut dengan masa banjir kap, istilah pada masa keemasan perkayuan, manakala Samarinda berkembang sangat pesat.
Noor Arafah adalah warga yang pernah tinggal di dekat THG, sebelum Citra Niaga berdiri. Kepada kaltimkece.id, perempuan lima anak itu mengingat era-era tersebut. Roda perekonomian Samarinda yang bergerak kencang justru membuat THG kumuh. Di Jalan Niaga Selatan dan sekitarnya, berjejer pedagang kaki lima, bandar judi, dan penadah barang curian. Tempat hiburan malam berhamburan, mulai diskotek besar sampai warung remang-remang bagi penikmat malam kelas teri. Paling terkenal adalah Maranthy Counter Club atau MCC.
“Orang-orang menyebut THG sebagai ‘Texas’-nya Samarinda. Banyak preman,” terang perempuan kelahiran Banjarmasin, 26 April 1964 tersebut.
Selepas pembangunan Citra Niaga yang menggantikan THG, kawasan itu mulai tertata. Warga kota yang sebelumnya waswas ke wilayah itu, mulai berdatangan. Daerah itu pun ramai karena belum ada mal atau pusat perbelanjaan yang berdiri di Samarinda. Pengunjung bisa membeli barang apa saja sekaligus berwisata di Citra Niaga. Barang-barang mewah seperti peralatan elektronik tersedia di ruko-ruko. Pakaian, restoran, dan salon, tersedia di kios-kios. Sedangkan barang yang lebih murah dijajakan di petak-petak kaki lima yang teratur rapi. Bioskop Kaltim Theater yang berdiri tak jauh dari Citra Niaga juga menjadi magnet bagi pengunjung.
Belum lagi setiap malam, terutama pada Sabtu, manusia tumpah ruah di lapangan terbuka. Pertunjukan musik di bale-bale tepat di tengah Citra Niaga seperti tak henti. Segala irama bersenandung, mulai dangdut hingga grup band lokal. Di kalangan pemusik kota saat itu, Citra Niaga menjadi citra eksis atau tidaknya mereka. Belum afdal sebuah grup musik, bila belum tampil di Citra Niaga.
Kecemerlangan Citra Niaga akhirnya meng-Indonesia dan mendunia. Mendiang Hasan Poerbo adalah agen The Aga Khan Development Network (AKDN) di Indonesia. Poerbo pertama kali mengetahui konsep bisnis di Citra Niaga pada 1986. Saat itu, dia tertarik dengan presentasi Wali Kota Abdul Waris Husain di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Poerbo kemudian mengajukan kisah pendirian dan pengelolaan Citra Niaga kepada kantor pusat AKDN di Swiss. AKDN adalah lembaga dan agen pembangunan dengan lingkup kerja di berbagai bidang.
Dalam penilaiannya, Poerbo merangkum Citra Niaga yang dibangun dengan demokratis. Citra Niaga menjaring seluruh kepentingan pedagang, pemilik toko, pemerintah daerah, konsultan, dan tentu saja masyarakat Samarinda. Demokrasi itu terwujud dalam pembentukan badan pengelola berupa Koperasi Pasar Citra Niaga. Melalui subsidi silang di antara anggota, koperasi sangat membantu pedagang yang mengalami kesulitan modal maupun distribusi barang.
Hasilnya luar biasa. Koperasi maju pesat. Anggotanya menerima penghasilan yang besar. Koperasi bahkan bekerja sama dengan PT Pandurata Indah untuk mendirikan perumahan buat para anggotanya. Perumahan itu bernama Citra Griya, kini di Jalan Abdul Malik, Karang Asam. Atas semuanya itu, Koperasi Pasar Citra Niaga menerima penghargaan sebagai koperasi terbaik se-Indonesia (artikel Majalah Pantau: Citra Niaga, 2007).
Tak berhenti di situ, atas usulan Poerbo, Citra Niaga menyabet penghargaan bergengsi di tingkat internasional. Pusat perbelanjaan itu terpilih sebagai satu dari 11 bangunan dunia yang meraih Aga Khan Award for Architecture putaran keempat pada 1989. Wali Kota Waris Husain menerima penghargaan tersebut di Kairo, Mesir (Aga Khan Award for Architecture Recipients, artikel, 1989).
Redup dan Terlupakan
Saat ini, Citra Niaga sudah memiliki 350 petak, 25 kios, dan 137 ruko. Namun, sejak akhir dekade 90-an, Citra Niaga mulai ditinggalkan. Kehadiran pusat perbelanjaan modern yang dilengkapi ekskalator dan pendingin ruangan mengambil hati penduduk kota. Satu di antaranya adalah kehadiran Samarinda Central Plaza pada 2001 dan Mal Lembuswana. Sejumlah pedagang di Citra Niaga juga diketahui menyewa tenant di mal-mal itu.
Milenium baru adalah lembar baru perjalanan Citra Niaga yang pernah beberapa kali dilanda kebakaran. Pengunjung yang berkurang drastis dan perhatian pemerintah yang minim membuat kawasan itu kembali ke masa lalu. Pedagang kaki lima tumbuh subur. Kekumuhan kembali menjalar seiring kriminalitas yang meningkat. Dimulai dari tawuran antarpemuda, copet, gendam, hingga penjualan obat-obatan terlarang. Jalan Aga Khan, yang diabadikan dari kebanggaan masa lalu, bahkan menjadi tempat berkumpul para waria. Pada masa kini, perempuan berpakaian minim yang menguasai jalan tersebut pada malam hari.
Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Upaya mengembalikan keemasan Citra Niaga berkali-kali berjalan. Sejak Kaltim menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional pada 2008, memindahkan pedagang kaki lima, sampai yang terbaru yakni pada 2017 lalu. Kenyataannya, Citra Niaga tetap tak bisa secemerlang masa silam. Citra Niaga yang semestinya menjadi citra kota sebagaimana keinginan Gubernur Soewandi, seperti ditulis Romi Khosla dalam Technical Review Summary of Citra Niaga Urban Development (1989). Waktu itu, Gubernur Soewandi bercita-cita, “Supaya Citra Niaga menjadi citranya Samarinda dan Kalimantan Timur.” (*)