kaltimkece.id Republik Indonesia Serikat persis sebulan dibubarkan ketika Presiden Soekarno untuk pertama kali menginjakkan kakinya di tepi Sungai Mahakam. Sosok sang proklamator yang sudah dinanti-nantikan membuat ramai penduduk berjejer di tepi-tepi jalan.
Ahad, 17 September 1950, Bung Karno memulai lawatannya di Samarinda. Presiden bersama rombongan lebih dahulu datang ke Jalan Jacob, sekarang bernama Jalan Mutiara. Di sana, dia meletakkan batu pertama tanda pembangunan taman makam pahlawan, seperti ditulis Muhammad Sarip dalam bukunya berjudul Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1200-1999 (2017).
Sebelum berdiri di depan Balai Kota Samarinda, Taman Makam Pahlawan Kesuma Bangsa awalnya dibangun di Jalan Mutiara, tepatnya di belakang Hotel Pirus. Makam pahlawan mulai dipindahkan ketika Samarinda dipimpin wali kota Kadrie Oening pada dekade 1970-an.
Selepas meletakkan batu pertama, Soekarno bersiap menemui masyarakat Samarinda. Menurut rencana, dia berpidato di sebuah tanah lapang, tepat di seberang bekas rumah sakit Belanda bernama OBM Hospitaal. Rumah sakit itu baru tiga tahun dialihfungsikan menjadi SMP 1 Samarinda. Mr Smith, lelaki berkebangsaan Belanda, adalah kepala sekolahnya.
Baca juga: Dari Makan Malam, Sejarah Gelap Busang Dimulai
Tanah lapang yang menjadi lokasi rapat umum, sebenarnya sebuah rawa-rawa. Panitia penyambutan presiden dari Federasi Kalimantan Timur, diwakili Adji Raden Afloes, menimbun rawa-rawa itu dengan tanah uruk. Dalam bukunya, Muhammad Sarip mewawancarai guru SMA 1 Samarinda bernama Muhammad Legiman. Menurut guru senior itu, penimbunan rawa-rawa memang khusus menyambut Soekarno.
Tanah lega yang sering dijadikan wadah masyarakat untuk berhimpun belakangan dinamakan Lapangan Pemuda. Sebuah lahan yang masih membekas di benak puluhan ribu alumni SMA 1 dan SMP 1, yang bersama-sama bangunan kedua sekolah, telah bersalin menjadi Taman Samarendah.
Di lapangan yang telah lenyap itu pula, Presiden Soeharto pernah berpidato. Ada kesamaan di antara pidato Soekarno dan Soeharto. Mereka menggelar rapat umum di Lapangan Pemuda pada hari Minggu, dan sama-sama pada kunjungan pertama sebagai presiden.
Baca juga: Jembatan Mahakam: Teknologi Belanda, Kebanggaan Soeharto
Soeharto tiba di Samarinda pada 20 Oktober 1968. Kedatangan presiden kedua RI ke Kaltim dalam kepentingan pemulihan kondisi politik dan keamanan setelah tragedi Gerakan 30 September 1965. Soeharto yang bertatap muka dengan rakyat Kaltim di Lapangan Pemuda turut menjelaskan Rencana Pembangunan Lima Tahun, bagian dari Orde Baru. Sasaran pidato itu adalah kehidupan masyarakat yang aman dan tenteram lahir dan batin.
“Untuk mewujudkan sasaran itu, saya mengajak rakyat Kaltim bekerja keras, berjuang, dan bersedia berkorban untuk kepentingan nusa dan bangsa,” ucap Soeharto seperti ditulis dalam Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1958-23 Maret 1973 (1991).
Pidato Bung Karno
Tak banyak catatan mengenai isi pidato Soekarno pada 17 September 1950 di Lapangan Pemuda. Namun, dalam rentang waktu itu, Republik Indonesia Serikat baru saja dibubarkan. Indonesia menganut negara kesatuan.
Baca juga: Zaman Jepang di Balikpapan, Neraka bagi Buruh Paksa
Begitu berbentuk NKRI, Presiden Soekarno rajin mendatangi pelosok daerah. Pada 1950, tahun yang sama ketika mengunjungi Samarinda, Soekarno juga mendatangi Belitung dan Gorontalo. Soekarno mengobarkan semangat NKRI di penjuru negeri.
Dalam wawancara kepada Kompas dalam artikel berjudul Samar, Jejak Soekarno di Gorontalo (2012), sejarawan Gorontalo bernama BJ Mahdang menjelaskan bahwa Soekarno tiba untuk keperluan inspeksi. Presiden ingin memastikan Gorontalo tetap setia kepada NKRI. “Pada tahun-tahun tersebut, Indonesia yang masih berusia muda sedang didera pemberontakan,” tutur Mahdang.
Demikian lawatan di Kaltim, Soekarno datang hanya 11 hari setelah melantik kabinet dengan Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Gejolak politik yang hebat menjadikan kabinet Natsir hanya bertahan enam bulan.
Meskipun sedikit sekali rekaman pidato di Lapangan Pemuda, kunjungan pertama ke Samarinda tertanam jelas di benak Soekarno. Lima tahun setelah lawatan, presiden yang telah mengunjungi berbagai wilayah dari Sabang hingga Merauke masih ingat dengan Samarinda. Pidatonya di Surabaya, 24 September 1955, secara jelas memuat kesannya.
“Saudara-saudara, malahan di Samarinda, aku berjumpa dengan utusan-utusan, bahwa rakyat Dayak yang sembilan hari sembilan malam turun dari gunung-gunung untuk menjumpai Presiden Republik Indonesia,” kata Soekarno seperti ditulis dalam Bung Karno: Menggali Pancasila, Kumpulan Pidato (2001).
Bandara “Mahakam”
Soekarno meninggalkan Samarinda melalui Sungai Mahakam. Sungai sepanjang 960 kilometer yang melintasi Samarinda itu adalah satu-satunya landasan pacu pada 1950. Pesawat amfibi Catalina yang mengangkut sang presiden lepas landas di dekat Pelabuhan Samarinda.
Pesawat Catalina adalah kendaraan udara yang paling sering dipakai di Sungai Mahakam saat itu. Sebelum menjadi pesawat komersial, Catalina buatan Amerika Serikat sebenarnya pesawat pengintai dan pengebom. Namanya harum ketika menghadapi Jepang dan Jerman pada Perang Dunia II.
Di Samarinda, pesawat Catalina yang dipakai Presiden Soekarno banyak digunakan perusahaan minyak. Pesawat itu bolak-balik dari Samarinda, Balikpapan, dan Sangasanga. “Catalina memiliki sayap parasol, seperti payung karena letaknya di atas atap. Sering sekali mendarat di Sungai Mahakam, tepat di depan rumah kami,” tulis Hans Wiesman dalam bukunya berjudul The Dakota Hunter: In Search of the Legendary DC-3 on the Last Frontiers (2015).
Baca juga: Pipa Minyak Balikpapan, Korupsi hingga Penipuan Ribuan Petani
Pesawat yang sama juga dipakai Soekarno ketika mendarat di Danau Limboto, Gorontalo, pada 1950. Untuk mengenang peristiwa itu, Pemerintah Gorontalo membangun Museum Pendaratan Pesawat Ampibi di Desa Iluta yang dikunjungi sang presiden.
Pesan Proklamator
Sebelum menaiki pesawat Catalina, Soekarno sempat menunggu di pelabuhan Samarinda. Di situlah pesawat amfibi bertambat. Seorang wartawan bernama Oemar Dachlan dari surat kabar Masjarakat Baroe berkesempatan mengajukan beberapa pertanyaan.
Oemar Dachlan juga meminta Bung Karno menuliskan satu kalimat. Sebuah pesan dari presiden untuk rakyat Kaltim, yang kata Oemar Dachlan, akan ditampilkan di halaman depan koran. Soekarno tidak berkeberatan. Dia menulis sederet kalimat di secarik kertas dalam ejaan lama.
"Kemerdekaan bukan jaminan bahwa segala sesuatu akan menjadi beres. Kemerdekaan sekadar memberikan kemungkinan untuk keberesan itu. Kemungkinan itu yang tidak ada dalam alam penjajahan," tulis Soekarno (Tokoh Pers Kaltim: Sejarah Karya dan Pengabdian, 2003).
Sesuai janji, amanah presiden itu dimuat di koran terbitan Samarinda keesokan harinya. (*)