kaltimkece.id Bukan armada perang nan megah yang akhirnya "menaklukkan" sepenjuru dunia. Peradaban manusia modern berlutut di depan virus yang tak kasat mata lagi superkecil itu. SARS-Cov-2 yang menyebar lebih di 100 negara telah mengganggu kehidupan sosial dan perekonomian secara global.
Beberapa negara sejauh ini berhasil mencegah penyebaran virus meskipun ada pula yang gagal. Sejumlah faktor penting menentukan keberhasilan atau kegagalan tersebut. Indonesia, sebagai negara yang baru belakangan diserang virus corona, sepatutnya melihat pengalaman negara lain sebagai sebuah pelajaran.
Tiongkok: Karantina Terbesar dalam Sejarah Manusia
Tiongkok mengawali penyebaran SARS-Cov-2 dengan sebuah kesalahan fatal. Negara dengan penduduk terbesar di dunia ini terlambat menyadari kehadiran virus tersebut. Padahal, informasi terpenting dalam mencegah penyebaran adalah mengetahui "pasien zero" atau orang pertama yang menyebarkan virus. Cara ini terbukti efektif dalam menelusuri riwayat perjalanan virus sebagaimana halnya wabah SARS terdahulu.
Keteledoran Tiongkok sebenarnya amat bisa dipahami. Kasus Covid-19 bermula dari sana, diperkirakan merebak di Wuhan pada November 2019. Belum ada kasus serupa sebelumnya di dunia kecuali SARS pada 18 tahun silam. Virus corona akhirnya terdeteksi pada awal Desember 2019.
Dalam dua sampai tiga pekan sebelum terdeteksi, virus menyebar dalam senyap. Ketika pertama kali disadari, celakanya, pemerintah Tiongkok masih berupaya menutupinya.
Pada akhir Januari 2020, hampir dua bulan setelah virus menyebar, puluhan ribu orang terinfeksi dan ribuan lainnya meninggal dunia. Tiongkok mengambil langkah ekstrem. Negara komunis itu menerapkan karantina terbesar dalam sejarah manusia. Sebanyak 20 provinsi dengan 780 juta jiwa atau setengah penduduk negara dibatasi pergerakannya. Penduduk diisolasi di rumah masing-masing. Sepanjang enam pekan, wilayah-wilayah tersebut bak kota mati (The Wall Street Journal, artikel, 2020).
Pemerintah Tiongkok kemudian membangun fasilitas layanan medis dalam waktu supercepat. Keberadaan rumah sakit khusus Covid-19 ini sangat membantu mengurangi korban jiwa. Kebijakan tersebut terbukti berhasil meredam invasi virus corona di Tiongkok. Ketika negara-negara yang lain baru mengawali "peperangan" melawan corona, Tiongkok justru sudah melewatinya.
Langkah mengarantina wilayah secara ekstrem serta membangun rumah sakit khusus mendapat pengakuan dunia. Sebuah keberhasilan yang epik setelah rentetan kesalahan fatal.
Korea Selatan: Tes Besar-Besaran "Virus Iblis"
"Pasien zero" virus corona di Korea Selatan adalah seorang perempuan 61 tahun. Ia merupakan anggota kelompok gereja Kemah Kesaksian, sebuah sekte yang disebut sesat oleh aliran mayoritas Kristen.
Gereja ini tidak menghiraukan imbauan pemerintah Korsel yang melarang pertemuan yang melibatkan massa. Mereka justru menganggap virus corona adalah perbuatan iblis menjelang hari kiamat sehingga harus dilawan dengan beribadah. Akibatnya fatal. Bermula dari jemaat di gereja ini, Korsel mendeteksi 7.689 penduduk terinfeksi. Sebanyak 66 di antaranya meninggal dunia sebagaimana ditulis Reuters.
Walaupun merebak dengan cepat, Korsel tidak mengambil kebijakan lockdown sebagaimana yang Tiongkok lakukan. Negara ini berpendapat, kunci mencegah penyebaran virus adaalah deteksi dini.
Korsel akhirnya membangun fasilitas pengujian gratis yang mudah diakses seluruh masyarakat. Kebijakan ini juga tidak lepas dari kelonggaran izin kepada perusahaan farmasi Korsel membuat alat tes virus corona. Hanya dalam tiga pekan, ratusan lokasi uji corona dengan konsep drive-through dibangun. Konsep ini terinspirasi dari pemasaran makanan cepat saji.
Melalui fasilitas ini, pengemudi cukup berdiam diri di dalam kendaraan. Dari balik kaca mobil, petugas kesehatan berjubah hazmat mengambil sampel. Hasil tes diketahui beberapa jam kemudian dan tercatat di data Pusat Pengendalian Pencegahan Penyakit Korsel. Cara pengujian seperti ini membuat orang-orang tidak perlu mengantre secara terbuka maupun berkontak langsung dengan pekerja medis (South Korea Pioneers Coronavirus Drive-Through Testing Station, 2020).
Hanya dalam sebulan, 220 ribu penduduk Korsel telah diuji. Cara ini terbukti efektif mencegah penyebaran. Ukurannya jelas, tingkat kematian di Korsel 0,6 persen. Angka itu sangat rendah dibanding Italia, misalnya, yang mencapai 6 persen (Low Death Date Estimates for Virus, Especially for Non-elderly, Provide Glimmer of Hope, 2020).
Taiwan: Pelajaran Penting dari SARS
Taiwan --sering disebut China Taipei-- adalah wilayah yang sangat dekat dengan sumber wabah. Meski demikian, mereka hanya mendapati 67 kasus Covid-19 dengan satu kematian.
Negara ini mengombinasikan sejumlah strategi dalam perang besar melawan corona. Mereka menerapkan kewaspadaan dini, tindakan proaktif, pembagian informasi publik, serta teknologi analisis data. Kombinasi tersebut terbukti keberhasilannya (Fear of China Made Taiwan a Coronavirus Success Story, 2020).
Kesuksesan ini tentu tidak diperoleh begitu saja. Negara ini pernah "kalah" dari wabah SARS pada 2002-2003 silam. Setelah kejadian itu, Taiwan merombak seluruh sistem kesehatan masyarakat mulai 2004. Mereka menerapkan struktur manajemen yang efisien untuk memastikan respons cepat tanpa terhambat isu politik di bawah naungan Pusat Komando Epidemi.
Di samping itu, Perdana Menteri Su Tseng-Chang segera memerintahkan penjatahan masker untuk mengatasi kepanikan publik. Dengan sistem kesehatan yang solid, penduduk cukup memindai kartu asuransi kesehatan di alat digital untuk mendapatkan masker. Teknologi ini membantu pemerintah menelusuri riwayat pembelian masker dan memastikan kuota dua masker per pekan per orang dapat dipertahankan (Tech Experts Helped Make Taiwan’s Mask Rationing System a Success, 2020).
Singapura: Betapa Penting Transparansi Data
Sebagai kota berbentuk negara, Singapura adalah pusat bisnis internasional di Asia Tenggara. Negara ini salah satu yang pertama terpapar corona di luar Tiongkok. Namun begitu, belum satu pun kematian dari 227 kasus Covid-19 di Singapura (Coronavirus Disease 19: Cases in Singapore, 2020).
Sama halnya Taiwan, Singapura mendapat pelajaran penting dari wabah SARS dan H1N1 (ragam virus influenza). Pemerintah Singapura yakin situasi bisa dikendalikan sehingga tidak menetapkan status lockdown.
Infrastruktur kesehatan Singapura memang sangat maju. Namun demikian, itu saja tidak cukup. Transparansi pemerintah membuka data penderita menjadi kunci penting mencegah penyebaran virus. Kebijakan ini membolehkan pihak swasta, contohnya Upcode Academy, membuat website khusus untuk memantau pergerakan Covid-19 melalui co.vid19.sg. Dari situ, warga bisa mengetahui umur pasien, kewarganegaraan, lama rawat inap, tempat tinggal, dan tren dari sejak awal pandemi pada 21 Januari 2020 hingga sekarang.
Italia: Mengulangi Keteledoran Tiongkok
Negara di Eropa Barat ini memiliki sistem kesehatan masyarakat yang amat maju. Namun demikian, Italia justru menjadi negara terparah kedua yang terkoyak virus corona setelah Tiongkok. Keadaan tersebut disebabkan keterlambatan pemerintah mendeteksi kedatangan SARS-Cov-2.
Italia baru mengetahui seorang penduduk terinfeksi pada 20 Februari 2020 ketika seorang lelaki 38 tahun datang ke rumah sakit di kota Codogno, Lombardy. Hasil tes menyatakan ia positif Covid-19. Setelah ditelusuri, virus rupanya telah tiba di Italia jauh sebelum kasus pertama ditemukan. Italia pun kesulitan menemukan "pasien zero" mereka (Why Is Italy's Coronavirus Outbreak So Bad?, artikel Time, 2020).
Kegagalan mendeteksi virus sejak dini disebut memalukan untuk negara semaju Italia. Pasalnya, sebelum kasus pertama ini, ada peningkatan luar biasa penderita pneumonia di rumah sakit di Italia Utara. Pneumonia atau paru-paru basah merupakan gejala fatal dari Covid-19.
Ketika tidak terdeteksi, virus menyebar sesuka hati. Menurut otoritas perlindungan sipil Italia, jumlah kasus positif Covid-19 mencapai 24.747 dengan korban meninggal 1.441 jiwa. Italia bersama-sama Iran menjadi negara dengan dampak virus terburuk saat ini.
Keadaan yang genting membuat Pemerintah Italia mengambil langkah ekstrem, sebagaimana Tiongkok. Pemerintah, dibawah undang-undang lockdown yang baru, mendenda warga yang bepergian di dalam maupun ke luar negara tanpa izin. Semua acara publik dilarang. Sekolah diliburkan. Ruang publik seperti gedung olahraga, teater, dan bioskop, telah ditutup. Orang-orang yang melanggar aturan lockdown ini diancam hukuman tiga bulan penjara atau denda sekitar Rp 3,5 juta.
Kesimpulan: Tiga Poin Penting
Tiongkok mengambil risiko ekonomi yang luar biasa dengan me-lockdwon 20 provinsi. Selain karantina massal terbesar sepanjang sejarah manusia, negara itu membangun rumah sakit darurat dalam waktu singkat. Kebijakan karantina massal juga diambil Italia. Kedua negara ini memilih langkah ekstrem setelah virus menyebar begitu hebat. Situasi ini tercipta karena keterlambatan mendeteksi kedatangan virus corona.
Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, adalah tiga negara yang terdampak SARS pada masa silam. Ketiga negara ini tidak me-lockdown wilayah. Korsel justru memilih deteksi dini dengan penyediaan fasilitas tes virus corona serta membagikan masker secara massal. Dengan mengetahui jumlah penduduk yang terpapar, Korsel berhasil mencegah penyebaran virus sekaligus menekan angka kematian.
Sementara itu, Singapura memilih membuka data penderita Covid-19 kepada publik. Dengan cara ini, semua pihak terlibat dalam mencegah penyebaran virus. Penduduk pun ikut aktif sehingga tidak satu pun korban jiwa jatuh di Singapura.
Dari pengalaman negara-negara tersebut, setidaknya ada tiga poin penting. Pertama, betapa penting mendeteksi virus lebih dini. Cara paling efektif adalah menyiapkan alat tes virus dengan jumlah memadai seperti Korsel. Semakin cepat diketahui, semakin cepat diantisipasi.
Kedua, transparansi pemerintah mengenai data penderita virus corona. Cara ini amat efektif bagi publik untuk menghindari infeksi. Dampak luar biasa yang diderita Tiongkok adalah pelajaran berharga ketika informasi ditutup-tutupi. Penduduk yang "buta" akan data tidak menyadari bahwa ada pembunuh senyap berkeliaran di sekitar rumah mereka.
Ketiga, masyarakat yang patuh terhadap pemerintah. Apapun kebijakan negara, baik me-lockdown atau tidak me-lockdown, tidak akan berhasil tanpa kepatuhan penduduk.
Dari ketiga poin di atas, bagaimana dengan Indonesia? (*)
Editor: Fel GM