kaltimkece.id Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa puas sekali dengan persiapan pasukannya. Armada perang yang dipimpin raja Kutai Kertanegara tersebut telah dibagi dalam empat resimen. Setiap resimen dikomandoi empat penggawa sakti nan mandraguna. Dari Kutai Lama di dekat muara Sungai Mahakam, panji perang berarak-arak menuju Muara Kaman. Kerajaan bercorak Islam tersebut sebentar lagi menyerang Kerajaan Martapura yang bercorak Hindu.
Tarikh 1635 pun menjadi sejarah penting bagi Kalimantan. Perang kolosal dimulai ketika Sinum Panji bersama balatentaranya tiba di Muara Kaman. Mereka ternyata sudah dinanti prajurit Martapura. Kerajaan yang berdiri sejak abad keempat itu dipimpin Raja Dermasatia dibantu dua saudaranya, Satiaguna dan Satiayuda. Raja Dermasetia sesungguhnya telah mengetahui penyerangan ini jauh-jauh hari. Ia pun menyiapkan 7.777 orang sebagaimana ditulis dalam kitab klasik Arab Melayu Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara.
Melihat pertahanan sebesar itu, pasukan Kutai Kertanegara memilih tidak naik ke darat. Pertempuran jarak jauh tak terelakkan. Pasukan Sinum Panji memulai serangan dari perahu menggunakan tombak, sumpit, dan panah. Strategi perang yang efektif. Pertahanan Muara Kaman goyah setelah banyak korban jiwa jatuh di pihak Martapura.
Keadaan tidak menguntungkan itu disadari tuan rumah. Komandan militer Martapura lantas mengusulkan kepada Raja Dermasatia agar mengubah strategi. Mereka memancing pasukan Kutai Lama naik ke darat. Caranya dengan berpura-pura menyerah. Setumpuk emas sebagai hadiah disiapkan biar lebih meyakinkan.
Empat komandan resimen Kutai Kertanegara yang mendengar pernyataan takluk dari pihak lawan mulanya tak percaya. Akan tetapi, utusan Martapura menemui mereka. Orang-orang di perahu diizinkan naik ke daratan dan mengambil emas. Prajurit Kutai Kertanegara akhirnya menginjak tanah. Sebagian mereka berkerumun mengambil emas tersebut. Tiba-tiba, komandan militer Martapura memerintahkan pasukan untuk menyerbu.
Pertempuran kolosal yang melibatkan belasan ribu serdadu tak terhindarkan. Tanah Muara Kaman menjadi arenanya. Perang darat ini berjalan tak seimbang. Pasukan Kutai Lama tidak sigap karena terperangkap tipu daya. Martapura pun berhasil memukul mundur para penyerang. Untuk sejenak, pertempuran mereda sebelum dilanjutkan keesokan harinya.
Tujuh hari tujuh malam pertempuran berjalan. Korban di kedua pihak tak terhitung banyaknya. Lebda, seorang penggawa resimen Kutai Kertanegara, terbunuh setelah mengalahkan ratusan prajurit Muara Kaman. Tiga komandan resimen Kutai Kertanegara yang lain yaitu Kinarang Baya, Rangga Yuda, dan Kebayan Sampit, terluka parah dan kepayahan (Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara, 2018, hlm 81–83).
Puncak peperangan jatuh pada hari ketujuh. Kedua raja bertarung berikut para pembesar masing-masing. Raja Dermasetia melawan Raja Sinom Panji Madapa. “Partai” dari para pembesar juga tak kalah sengit. Dalam duel antar-raja, tikaman Dermasetia meleset dua kali. Sinom Panji Mendapa membalasnya. Sebuah tikaman dia lesakkan tepat di dada Dermasatia. Pertarungan kedua orang sakti ini dinarasikan secara dramatis dalam Salasilah Kutai.
“Maka Dermasatia menikam Pangeran Sinum Panji Mandapa Ing Martapura maka dielakkannya tiada kena, maka ditikamnya dititirnya sekali-sekali, itu pun tiada jua kena. Setelah demikian, maka bersalah tangkisnya, maka kena dadanya, tiada lut, maka berkatalah Pangeran Sinum Panji Mandapa Ing Martapura kepada Maharaja Dermasatia, ‘Hai, Maharaja Dermasatia berpesanlah engkau kepada anak cucumu, karena aku hendak memberi bekas tanganku kepada engkau.’" (Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara, 1849, hlm 111)
Kematian Dermasatia mengakhiri dinasti Mulawarman sekaligus eksistensi Kerajaan Martapura selama 12 abad. Martapura takluk dari kerajaan di hilir sungai yang baru berusia dua abad. Sebagian besar prajurit Dermasetia yang masih hidup melarikan diri ke hutan. Sementara itu, rakyat Muara Kaman menyerah dan meminta amnesti (pengampunan) kepada Raja Kutai Kertanegara.
Sinum Panji Mendapa kemudian memimpin pengaturan urusan wilayah bekas Kerajaan Martapura. Sebagai konsekuensi aneksasi, Martapura dinyatakan runtuh atau dihapuskan dan diunifikasi (digabung) ke Kutai Kertanegara. Rakyat Muara Kaman diwajibkan menyerahkan upeti setiap tahun.
Tidak Berkaitan Agama
Mulai abad ke-14, Sungai Mahakam dihuni oleh dua kerajaan bercorak Hindu. Pertama, yang paling muda, adalah Kerajaan Kutai Kertanegara. Berdiri sejak 1300, kerajaan yang beribu kota di Kutai Lama ini didirikan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Kedua, kerajaan yang lebih tua ialah Martapura di Muara Kaman. Kerajaan ini dikenal yang tertua di Nusantara karena mewariskan prasasti yupa dari zaman Maharaja Mulawarman pada abad kelima (Kajian Etimologis Kerajaan (Kutai) Martapura di Muara Kaman, Kalimantan Timur, 2020, hlm 51–52).
Dalam perkembangannya, Kerajaan Kutai Kertanegara di hilir menjadi bercorak Islam. Seorang mubalig yang tiba di Tepian Batu, Kutai Lama, pada 1575, yang membawa agama tersebut ke Kalimantan. Juru dakwah yang dijuluki Tuan Tunggang Parangan itu datang bersama Tuan Di Bandang. Kedua orang Minangkabau tersebut tiba di tanah Kutai setelah mengislamkan Makassar. Namun, hanya Tunggang Parangan yang berdakwah di Kutai. Sementara Tuan Di Bandang alias Datuk Ri Bandang tak sempat bertemu Raja Kutai dan kembali ke Makassar karena mendapat kabar bahwa mualaf Makassar ada yang murtad (De Kroniek van Koetai Tekstuitgave Met Toelichting, 1935, hlm 240).
Baca juga:
Tuan Tunggang Parangan berhasil mengislamkan Raja Makota yang memimpin Kutai Kertanegara tanpa jalan kekerasan. Sikap moderatnya ditunjukkan dengan memberi permakluman. Sebelum memeluk Islam, Raja Makota meminta penangguhan karena ingin mengonsumsi daging babi dari ternak yang tersisa. Selama masa penangguhan itu, Tunggang Parangan meminta dibangunkan langgar atau surau. Tunggang Parangan juga yang memandu Raja Makota mengikrarkan kalimat syahadat setelah persediaan daging babi habis.
Raja Makota bersama Tunggang Parangan kemudian melakukan Islamisasi ke daerah sekitar ibu kota Kutai. Namun, pengislaman hanya menjangkau pesisir timur Kalimantan. Perjalanan dakwah dari Kutai Lama ke arah selatan sampai Balikpapan. Adapun ke utara, safari hingga Sangkulirang (De Kroniek van Koetai Tekstuitgave Met Toelichting, 1935, hlm 101).
Islam telah menyebar hampir di sepenjuru timur Kalimantan ketika cucu Raja Makota, Sinum Panji Mendapa, naik takhta pada 1605. Waktu itu, sudah 30 tahun dakwah Islam di tanah Kutai akan tetapi Kerajaan Martapura di Muara Kaman belum terjamah dakwah. Meskipun masih menganut Hindu, Kerajaan Martapura disebut tak mampu memelihara kontak dengan India. Padahal, sejumlah brahmana pernah datang ke Muara Kaman pada abad ke-5 (Nusantara: A History of Indonesia, 1961, hlm 31).
Pada tahun ke-30 Sinum Panji Mendapa berkuasa atau 60 tahun sejak kali pertama Islam datang, Kutai Kertanegara menyerang Martapura. Peperangan antara kerajaan Islam melawan non-Islam pun terjadi. Akan tetapi, tidak ada bukti yang menguatkan latar belakang penyerangan Kutai Kertanegara adalah faktor Islamisasi.
Kitab Salasilah Kutai juga tidak mengungkap alasan aneksasi ini. Dalam pertempuran, tidak ada negosiasi atau tawaran berislam. Sementara setelah peperangan, tidak ada pemaksaan kepada rakyat di pedalaman untuk berpindah keyakinan. Agama Islam memang disebarkan di Muara Kaman dan sekitarnya. Akan tetapi, penduduk diberikan pilihan menjadi muslim atau tetap pada religi yang lama. Dalam Salasilah Kutai disebutkan, ada negeri Islam dan ada negeri kafir yang sama-sama mengirim upeti kepada Kutai Kertanegara setelah Martapura runtuh (Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara, 1849, hlm 112).
Menurut Carool Kersten, penyebaran Islam di Asia Tenggara memang lebih dipengaruhi para penguasa perdagangan di muara-muara sungai. Islam menawarkan satu cara pemersatu menghadapi tantangan kepada kerajaan-kerajaan berbasis sawah di Asia Tenggara daratan. “Aspek Islam sebagai agama kemasyarakatan juga tampak dalam pentingnya ibadah seperti salat, zakat, dan puasa,” tulis Kersten (A History of Islam in Indonesia, 2017, hlm 43).
Islam dalam entitas Kutai Kertanegara juga demikian. Agama bersifat sinkretis atau berpadu dengan kepercayaan dan kebudayaan tradisional lokal. Upacara adat erau, contohnya, tetap dipertahankan dengan menambahkan bacaan ayat-ayat Alquran dan doa-doa Islami. Bentuk masjid dan langgar juga punya kekhasan sebagaimana surau milik bangsa Melayu yang terbuat dari kayu. Banyak masjid berdiri di bantaran Sungai Mahakam karena faktor kedekatan sumber air (Samarinda Tempo Doeloe Sejarah Lokal 1200–1999, 2017, hlm 48).
Adapun alasan Sinum Panji Mendapa menyerang Martapura, diyakini karena misi ekspansi. Putra Aji Dilanggar itu ingin menyatukan daratan Kalimantan bagian timur dalam penguasa tunggal yakni Kerajaan Kutai Kertanegara (Kerajaan Martapura dalam Literasi Sejarah Kutai 400–1635, 2020, hlm 32).
Perang kaum muslim melawan nonmuslim memang tidaklah berarti sebagai perang bermotif agama untuk memaksa orang kafir memeluk Islam. Perkara ini sesuai dengan pendapat Prof. Azyumardi Azra yang menyanggah konsep jihad sebagai sinonim dari perang suci (holy war). Secara historis, jihad dalam konteks perang fisik umumnya didasari faktor politik seperti perluasan wilayah atau pembelaan diri terhadap serangan luas (Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi, 2016, hlm 137).
Begitu halnya yang tampak dalam serangan militer Kutai Kertanegara terhadap Martapura. Perang kolosal antara kaum muslim melawan nonmuslim di Sungai Mahakam empat abad silam ini bukan gerakan jihad bersenjata untuk menyebarkan agama. Islamisasi bukan alasan keruntuhan dinasti Mulawarman, putra Aswawarman keturunan Kundungga. (*)
Penulis adalah alumnus Sertifikasi Kompetensi Penulis Sejarah Kemdikbud 2020, tinggal di Samarinda.
Editor: Fel GM