kaltimkece.id Sebelum abad ke-13, berdirilah empat negeri atau kampung di pesisir timur Kalimantan. Keempatnya bernama Jaitan Layar, Hulu Dusun, Sembaran, dan Binalu. Seluruh kampung tersebut berlokasi di hilir Sungai Mahakam.
Syahdan, empat kampung itu telah didiami penduduk jauh sebelum Kerajaan Kutai Kartanegara lahir. Kerajaan ini nantinya beribukota di Jaitan Layar, kampung yang kemudian disebut Kutai Lama. Kutai Kartanegara adalah kerajaan yang berbeda dengan Kutai Martapura, kerajaan yang berdiri sejak abad ke-4 di Muara Kaman.
Setelah Jaitan Layar, kampung kedua di muara Sungai Mahakam adalah Hulu Dusun. Ia berdiri di sebelah barat Jaitan Layar. Lokasi Hulu Dusun, seperti halnya Jaitan Layar, sekarang masuk Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara (Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara, 2018, hlm 44).
Kampung ketiga yaitu Sembaran yang kini dikenal dengan nama Sambera. Kawasan ini sekarang masuk Kecamatan Muara Badak dan Marangkayu. Adapun Binalu, adalah kampung terakhir. Namanya sudah tidak dikenali lagi namun diperkirakan masih berdekatan dengan Kutai Lama.
Keempat negeri ini berdiri dekat pelabuhan transit di hilir Sungai Mahakam. Pelabuhan itu menjadi persinggahan para pedagang yang ingin ke Muara Kaman, ibu kota Kerajaan Kutai Martapura. Sebelum hadirnya Kerajaan Kutai Kartanegara di hilir, pusat ekonomi dan politik masih dikuasai keturunan-keturunan Raja Mulawarman (hlm 45).
Belum ada nama Sangasanga pada zaman itu. Namun, lokasinya di seberang Sungai Mahakam jika ditilik dari sisi Kutai Lama, diperkirakan tidak jauh dari Kampung Binalu dan Hulu Dusun.
Nama Sangasanga baru muncul di dalam catatan pada abad ke-13 selepas berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara. Menurut Salasilah Kutai, catatan yang dibuat kerajaan, ada sebuah tanah bernama Sanga-Sangaan. Kawasan itu berada di dalam kekuasaan kerajaan pada masa pemerintahan Raja Aji Batara Agung, raja pertama Kutai Kartanegara (Tata Ruang Kota Kolonial di Sanga Sanga, 2010, jurnal, hlm 60).
Warsa-warsa berikutnya, jejak Sangasanga lebih terang. Balai Arkeologi Banjarmasin menemukan kuburan tempayan yang dilengkapi penutup piring keramik. Dari bahannya, keramik yang ditemukan di sungai Sangasanga tersebut berasal dari Dinasti Qing. Dari situlah disimpulkan bahwa pada abad ke-18 (sekitar tahun 1700-an), Sangasanga dihuni masyarakat Dayak. Sementara dari tradisi kubur tempayan, cocok dengan masyarakat Dayak Manyan yang berasal dari Kalimantan Tengah.
Temuan Minyak Bumi
Sultan Kutai Kartanegara Aji Muhammad Sulaiman mengikuti pertemuan yang teramat penting, suatu hari pada 1888. Adalah Jacobus Hubertus Menten, seorang yang membawa nama Pemerintah Hindia Belanda, yang menjadi lawan bicara Sultan. Hari itu pula, Sultan Kutai menerbitkan konsesi yang bersifat saling menguntungkan kepada Hindia Belanda. Dari konsesi itu, Hindia Belanda berhak meneliti, mengeksplorasi, dan mengeksploitasi minyak bumi dan batu bara di Kaltim (Batu Bara Indonesia, 2014, hlm 37).
Di bawah kongsi dua perusahaan Belanda dan Inggris, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dan Shell, penelitian dimulai di Balikpapan. Enam tahun setelah penerbitan konsesi atau pada 1894, ditemukan sumur minyak dengan nilai komersial. Sumur berkedalaman 220 meter itu dibor di Gunung Komendur pada 10 Februari 1897. Perigi minyak itu dinamakan Mathilda, diambil dari nama anak perempuan JH Menten.
BPM dan Shell terus bahu-membahu mengebor sumur di pesisir Kalimantan. Tibalah mereka di Sangasanga. Pada tahun yang sama, sumur Louise yang begitu produktif ditemukan. Tidak jelas dari mana nama Louis itu. "Mungkin dari nama anak kepala pengeboran juga," seloroh Sudiarto Sardji, kepala bagian Eksternal dan Sekuriti Lapangan Sangasanga Pertamina UBEP Sangasanga dan Tarakan (Cerita Sumur-Sumur Minyak Tua Sangasanga, artikel Antara, 2011).
Penemuan kedua sumur itu diikuti temuan minyak di Samboja, Muara Badak, dan Tarakan. Untuk melayani sumur-sumur tersebut, Hindia Belanda membangun kilang minyak di Balikpapan. Fasilitas penyulingan minyak pun berfungsi pada 1898.
Kota Industri Maju
Sebelum kehadiran perusahaan minyak, Sangasanga dihuni penduduk dari etnis Dayak, Kutai, dan nelayan Bugis. Kedatangan orang-orang Bugis tidak lepas dari hubungan baik antara Kerajaan Kutai dan kerajaan-kerajaan di selatan Sulawesi.
Sejak penemuan sumber minyak pada 1897, Sangasanga segera berevolusi menjadi kota industri. Belanda membangun banyak dermaga untuk mengirim minyak dengan kapal-kapal tangki. Sejumlah bangsal dibangun untuk pegawai Eropa dan nusantara. Sebagian bangsal itu masih berdiri hingga sekarang.
Menurut catatan pada 1939, Sangasanga sudah memiliki 7 dermaga, 613 sumur, dengan produksi 70 ribu ton minyak sebulan (Pertempuran 27 Januari 1947 di Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Skripsi, 2018, hlm 18).
Seturut berkembangnya kota, jumlah penduduk Sangasanga semakin pesat. Para pekerja dari Pulau Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan Selatan berdatangan. Begitu juga warga Tionghoa. Kelak, sebagian pekerja ini turut menjadi tulang punggung pergerakan heroik pada 27 Januari 1947 yang dikenal dengan peristiwa Merah Putih.
Kemajuan Sangasanga juga dicatat Hans Wiesman dalam bukunya berjudul The Dakota Hunter: In Search of the Legendary DC-3 on the Last Frontiers (2015). Pada 1940-an, Sangasanga adalah satu dari tiga kota yang dilayani pesawat amfibi Catalina. Pesawat itu bolak-balik dari Samarinda, Balikpapan, dan Sangasanga, untuk mengangkut pekerja minyak. Pesawat Catalina yang memiliki sayap seperti payung, tulis Wiesman, “Sering mendarat di Sungai Mahakam, tepat di depan rumah kami di Samarinda.”
Ketika Jepang berhasil menaklukkan Belanda di Nusantara, Sangasanga menjadi bagian penting bersama Balikpapan dan Tarakan. Ketiga kota minyak itu dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar armada udara Jepang di Perang Dunia II. Pada masa romusha atau kerja paksa, Jepang mengirimkan ribuan orang dari Pulau Jawa ke Sangasanga. Mereka berasal dari Malang, Jogjakarta, Semarang, dan kota-kota di Jawa Barat. Sebagian pekerja adalah para cendekiawan. Tanah Sangasanga pun dihuni beragam suku menjelang kemerdekaan Indonesia.
Merah Putih dan Taktik Kuda Troya
Malam baru hendak pergi ketika para pejuang mulai menyerbu tangsi Belanda. Serangan yang dimotori Barisan Pembela Rakyat Indonesia atau BPRI itu berhasil. Tentara Belanda yaitu KNIL beserta pegawai BPM yang tidak pro-RI, ditawan para pejuang.
Pagi pada 27 Januari 1947 akhirnya tiba. Pukul 06.00, bendera Belanda di kantor muara Sangasanga diturunkan. Pejuang merobek bagian biru bendera lalu menaikkan merah putih (Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara, 2018, hlm 147).
Tiga jam kemudian, polisi Belanda tiba di muara Sangasanga dengan kapal bernama Zaza. Kontak senjata dengan para pejuang tak terhindarkan. Para pejuang yang telah merencanakan penyerangan sejak lama berhasil mengalahkan pasukan Belanda. Bahkan sampai tiga hari ke depan, Sang Merah Putih berkibar gagah di langit Sangasanga.
Sampai pada 29 Januari 1947, Belanda tak kekurangan akal. Penjajah memakai taktik kuda troya untuk mengelabui para pejuang. Pada mulanya, tentara Belanda mendatangi Sangasanga dengan Kapal Fregat Zeearend. Kapal yang menggunakan bendera merah putih itu berlabuh di muara Sangangasa. Mengira isi kapal adalah bantuan para pejuang dari Balikpapan, rakyat Sangasanga menyambut dengan gembira.
Yang terjadi berikutnya sungguh tragis. Dari dalam kapal, ribuan peluru dimuntahkan. Para pejuang yang sudah kalah posisi, tertinggal pula dalam jumlah dan persenjataan. Sekitar 200 pejuang harus menghadapi 350 tentara Belanda bersenjata lengkap (hlm 148).
Setelah peristiwa yang menewaskan ratusan pejuang itu, tentara Belanda pelan-pelan menguasai distrik demi distrik di Sangasanga. Pejuang yang selamat ditangkap, disiksa dan dibunuh. Darah mereka membasahi tanah Sangasanga yang menjadi saksi betapa kemerdekaan Indonesia dipertahankan lewat darah dan nyawa.
Eksploitasi Kekayaan Alam
Indonesia telah merdeka. BPM dan Shell, perusahaan Belanda dan Inggris yang beroperasi di Kaltim, dinasionalisasi pada masa Presiden Soekarno. Namanya kini menjadi Pertamina.
Memasuki rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, eksploitasi minyak dan gas bumi di Kaltim semakin masif. Sejumlah kontrak bagi hasil migas kepada perusahaan asing kemudian ditandatangani “Bapak Pembangunan.”
Yang pertama adalah kontrak bagi hasil Wilayah Kerja Mahakam atau Blok Mahakam. Japex Coorporation, sekarang Inpex Corporation, bersama Total E&P Indonesie menjadi kontraktor sejak 1967. Kontrak Blok Mahakam telah berakhir awal tahun ini dan pengelolaan kembali ke pangkuan Pertamina. Orde Baru juga menyerahkan pengelolaan wilayah kerja Sangasanga kepada HUFFCO, sekarang VICO Indonesia, sejak 1968. Kontrak ini juga telah berakhir. Sementara di kota Sangasanga, Pertamina tetap menjadi operatornya (Derap Langkah Pembangunan Kaltim 2008-2018, 2018, hlm 182).
Sampai runtuhnya Orde Baru, tak kurang 32 tahun minyak bumi di Sangasanga dan sekitarnya disedot. Dari kawasan pesisir inilah, Kaltim menjadi daerah utama penghasil minyak yang memberikan pendapatan besar bagi negara. Senyampang itu, minyak di perut Sangasanga terus menipis. Dan pelan-pelan habis. Sangasanga yang gemerlap sejak zaman Belanda pun mulai gelap. Ketika sumur minyak tak menghasilkan lagi, para pekerja satu per satu pergi.
Era Batu Bara
Bukan Kaltim jika tak kaya dengan sumber daya alam. Semakin tipisnya minyak bumi di Sangasanga segera berganti dengan tebalnya batu bara. Hampir di sekujur wilayah kecamatan seluas 233 kilometer persegi itu mengandung emas hitam.
Izin-izin pun terbit sederas aliran Sungai Mahakam. Dari 625 izin usaha pertambangan (IUP) di seluruh Kutai Kartanegara, 34 di antaranya berlokasi di Sangasanga. Jaringan Advokasi Tambang Kaltim menghitung, ke-34 IUP tersebut setidaknya menggangsir 65 persen wilayah Sangasanga atau kira-kira 151 kilometer persegi.
Kehadiran perusahaan tambang, yang sebagian izinnya disetujui maupun ditingkatkan oleh Bupati Rita Widyasari, memang menggeliatkan Sangasanga. Namun, seturut itu pula, bencana demi bencana lingkungan berdatangan.
Pada 4 November 2013, sepanjang 200 meter badan Jalan Budiraya di Kelurahan Sari Jaya ambruk. Aktivitas pertambangan CV Amelia Energi diduga menjadi penyebab terisolasinya warga dari dua kelurahan di 19 RT. Masih pada 2013, tepatnya Agustus, pengerukan batu bara menyebabkan seorang anak meninggal. Budi Maulana, 11 tahun, yang tinggal di RT 4, Kelurahan Jawa, ditemukan meninggal di lubang bekas tambang di Sangasanga.
“Budi menjadi korban ketiga yang meninggal di lubang tambang, dari total 31 korban sepanjang 2011-2018,” demikian Pradarma Rupang, dinamisator Jatam Kaltim.
Tambang batu bara yang merajalela di Sangasanga juga merongrong fasilitas publik. Pada 2013 pula, media lokal di Kaltim melaporkan SMA 1 Sangasanga yang dikepung tambang. Di sekeliling sekolah, penggalian batu bara berlangsung kurang dari 100 meter sebagaimana disyaratkan dalam peraturan menteri lingkungan hidup.
Peristiwa terakhir pada Kamis, 29 November 2018. Pertambangan batu bara lagi-lagi diduga menyebabkan longsornya 50 meter badan Jalan Kawasan di Sangasanga. Lima rumah turut terbenam dan akses dua kecamatan sempat terputus.
Sampai titik inilah perjalanan panjang Sangasanga. Kota Juang yang sekarang harus berjuang dari dampak kepungan tambang. (*)