kaltimkece.id Nyaris di sekujur wilayah Nusantara, sebagaimana di tanah Eropa dan Amerika, perbudakan pernah berlaku. Sejumlah catatan mengisahkan bagaimana sistem perbudakan tersebut berlangsung di timur Kalimantan.
Anton Willem Nieuwenhuis adalah seorang penjelajah sekaligus dokter asal Belanda yang memulai perjalanan dari Pontianak hingga Samarinda pada 1894. Ketika menyusuri Sungai Mahakam, ia menulis sebuah cerita tentang perbudakan. Menurut Nieuwenhuis, Dayak Murung mengorbankan seorang budak ketika perayaan menghentikan masa berkabung. Acara ini ditandai dengan mendirikan tiang-tiang kematian. Pengorbanan budak juga disebut berlangsung pada pesta panen.
Budak-budak itu diperoleh lewat beberapa cara yaitu, tulis Nieuwenhuis, "dibeli dari orang Punan, merampas di suatu tempat, dari pedagang Bugis yang memiliki budak, diimpor dari Sulawesi, atau menjadi panjar utang." (Di Pedalaman Borneo: Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894, hlm 194)
"Seorang budak pada garis waktu itu berharga sekitar 100 gulden (sekarang kira-kira setara Rp 7,4 juta, editor). Orang dewasa lebih murah daripada anak laki-laki sehat terutama disebabkan karena orang dewasa lebih mudah lari,” catat Nieuwenhuis lagi.
Kisah perbudakan juga terekam dalam tulisan Asisten Residen Kalimantan Timur bernama J Zwager. Laporannya itu bertajuk Kerajaan Kutai di Pesisir Timur Kalimantan dan Hal-Ihwalnya dalam Tahun 1853. Dikisahkan, perdagangan di Samarinda dan Tenggarong sangat pesat sehingga terjadi banyak pembajakan. Kejahatan tersebut diikuti dengan penculikan untuk perbudakan. Orang-orang kemudian diperjualbelikan sampai Makassar dan Singapura. Para budak ini dibarter dengan beras dan barang dagangan lainnya.
Namun demikian, masih menurut Zwager, orang masih malu memasukkan budak secara terang-terangan di wilayah Kutai. Keadaan yang berbeda dengan Berau. Di kawasan utara Kalimantan itu, perdagangan manusia mendapat dorongan besar.
Laporan Zwager kemudian diterbitkan dalam buku Taufik Abdullah berjudul Sejarah Lokal di Indonesia (1990). Tidak ada bukti bahwa pemerintahan Kerajaan Kutai menghalangi praktik perdagangan budak tersebut. “Pemerintah Kutai, dalam hal ini, pura-pura tidak tahu-menahu saja,” tulis Zwager seperti dikutip Abdullah (hlm 109).
Perbudakan di Sungai Mahakam
Praktik perbudakan juga berlangsung di Samarinda. Muhammad Sarip dalam bukunya Sejarah Sungai Mahakam di Samarinda, dari Mitologi ke Barbarisme sampai Kemasyhuran (2016), mengetengahkan kisah perbudakan dan perdagangan budak belian.
Kisah yang menarik datang dari seorang Sumba yang menjadi budak dari bajak laut. Ia berhasil melarikan diri dengan sebuah sampan kecil di pantai timur Kalimantan. Setelah enam hari terkatung-katung dalam perahu tanpa makanan, ia beruntung mencapai Muara Jawa di muara Sungai Mahakam.
“Di tempat itu, ia berjumpa dengan nakhoda sebuah perahu bawean. Ia lalu menceritakan apa yang dialaminya dan mengharapkan pertolongan. Tetapi ia tertipu. Nakhoda itu naik ke atas perahunya dan ia kembali diperbudak oleh orang yang baru dikenalnya. Dengan tangan dan kaki terikat, ia dibawa ke Samarinda dan dijual dengan harga 80 real,” tulis Sarip (hlm 36).
Perbudakan juga berlangsung di antara penduduk lokal. Pada abad ke-19, para pedagang Islam telah bertransaksi dengan orang-orang Dayak atas izin Sultan Kutai. Setiap tahun, Sultan menuntut penyerahan sarang burung, lilin, kura-kura, dan emas dari orang-orang Dayak. Bersamaan dengan itu, dituntut pula penyerahan beratus-ratus anak Dayak yang dijual sebagai budak. Setiap tahun, jumlahnya meningkat (Masyarakat Dayak di Kesultanan Kutai Pada Abad Ke-19, hlm 38).
Permintaan budak ini akhirnya berhenti setelah peperangan Kesultanan Kutai melawan orang Bugis. Pada saat itu, Sultan meminta bantuan 5.000 orang Dayak untuk ikut berperang. “Kemudian, karena (orang Dayak) merasa berjasa kepada kesultanan, pengiriman anak-anak itu dihentikan," demikian penuturan Kepala Suku Dayak bernama Sejen kepada Dalton, seorang pedagang Singapura yang berlayar ke Kutai pada 1827-1828. Sejak 1828 itulah, orang Dayak disebut tidak lagi menyerahkan anak-anak mereka kepada Sultan (hlm 39).
Kondisi Perbudakan
Morga adalah seorang penulis dari abad ke-16 yang menggambarkan perbudakan di Asia Tenggara. Budak disebut sebagai modal dan kekayaan utama penduduk pribumi di kawasan ini. Banyak manfaat dari budak. Mereka sangat diperlukan untuk menggarap ladang pertanian. Budak-budak pun dijual, ditukar, dan didagangkan sama seperti barang dagangan. Transaksi itu merata dari kampung ke kampung, provinsi ke provinsi, dan tentu saja dari pulau ke pulau.
Kehadiran perbudakan disebabkan adanya hirerarki kehidupan sosial di Asia Tenggara. Hirearki ini muncul dari persoalan utang dan kewajiban, sampai tawanan perang.
“Para budak dilaporkan menjalankan semua jenis pekerjaan. Mulai petani, pemanen tanaman dagang, nelayan, pelaut, pekerja bangunan, pekerja tambang, buruh perkotaan, pengrajin, pekerja tekstil, penghibur, gundik, pembantu rumah tangga, pedagang eceran, saudagar, juru tulis, penerjemah, tabib, serdadu, bahkan menteri-menteri yang dipercaya.” (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004, hlm 269)
Budak ialah seseorang yang tidak bebas. Perbudakan selalu bertentangan dengan kondisi bebas, setidaknya dalam tiga aspek. Pertama, setiap budak memiliki majikan atau tuan yang menjadi tempat penundukannya. Hubungan antara tuan dan budak ini dinyatakan dengan kepemilikan, milik tuan, atau sebagai properti.
Kedua, budak berada dalam kondisi yang lebih rendah dibandingkan orang bebas. Tidak memiliki hak politik dan secara sosial dihina. Ketiga, budak selalu dikaitkan dengan kerja wajib. Berbeda dengan orang bebas yang bisa memilih berhenti bekerja, budak harus bekerja meski dalam keadaan kelaparan sekalipun (Slavery As an Industrial System Ethnological Researches, 1900).
Di Kutai, perbudakan juga bisa diartikan sebagai hukuman. Penjahat yang mencari perlindungan kepada pihak “Dalem” akan menjadi budak milik seorang pangeran. Kejahatan yang umum dilakukan para budak biasanya melakukan amuk, mengganggu perempuan yang sudah menikah, sampai perbuatan yang menyebabkan kematian. Keadaan itu diungkapkan Ruibing yang menulis Ethnologische Studie Betreffende de Indonesische Slavernij als Maatschappelijk Verschijnsel atau Studi Etnologi tentang Perbudakan Indonesia sebagai Fenomena Sosial (1937).
"Orang seperti ini mencari perlindungan tapi kemudian kehilangan kebebasannya. Hal ini disebut "Hidoep Jiwa, Mati Bangsa.” (hlm 26)
Ruibing, masih dalam penelitiannya, menerangkan bahwa menikahi budak dianggap sesuatu yang memalukan. Adalah aib ketika darah orang bebas (sebutan untuk yang bukan budak) tercampur dengan budak. Dogma ini berlaku nyaris di seluruh wilayah Kalimantan tempo dulu.
Di tanah Kutai, seorang pria bebas yang menikahi gadis disebut benia menerdjoeni poeloet atau burung elang yang menerjuni getah (perangkap). Sementara itu, jika perempuan bebas yang kawin dengan seorang lelaki budak, dinamakan karbau masoek kandang (kerbau masuk kandang). Malu yang demikian lebih besar dibanding aib "burung elang."
Berakhirnya Perbudakan di Kaltim
Belanda tidak menganggap perbudakan sebagai kegiatan ilegal di koloni-koloninya sampai 1860. Memang, selama gerak masuk Belanda, Inggris, dan Perancis ke Asia tenggara, tekanan terhadap sistem perbudakan pribumi kerap dipakai sebagai dalih campur tangan. Pemerintah kolonial selalu berpandangan lebih pragmatis terhadap perbudakan saat mereka memegang kekuasaan (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004, hlm 282).
Perbudakan di tanah Kutai setidaknya masih berlangsung hingga 1887. Menurut catatan Ruibing, budak-budak masih diimpor dari Sulawesi ke Kutai. Mereka disebut atamana. Sebagian atamana ini memiliki pekerjaan dan hanya wajib membantu tuan mereka pada acara-acara khusus.
Sultan Kutai baru mengeluarkan skema penghapusan perbudakan di wilayahnya pada 1895. Penghapusan perbudakan tersebut dimulai oleh Sultan yang memberikan contoh sendiri.
Ia membebaskan budak dan keluarganya serta menghapus pungutan liar atas mereka. Langkah itu kemudian diikuti Sultan Gunung Tabur dan Sambaliung. Di Berau, pembebasan bertahap para budak dimulai sejak 1896 (Kroniek de Zuider En Oosterafdeeling Van Borneo, 1936).
Sejak itulah, zaman perbudakan di timur Kalimantan berakhir sudah. (*)
Ditulis oleh Chai Siswandi, pegiat literasi sejarah Kutai, tinggal di Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Editor: Fel GM