kaltimkece.id Menyeberangi Laut Jawa menjadi permulaan derita ribuan romusha tujuan Balikpapan. Para pekerja paksa harus menahan lapar selama seminggu berlayar. Tidak ada air bersih apalagi makanan di atas bahtera milik Jepang. Hanya air kotor yang mereka minum supaya bertahan hidup.
Rombongan buruh kasar dengan tubuh kurus kering akhirnya tiba di Kota Minyak pada Juli 1942. Mereka hanya mengenakan celana dan baju dari karung. Bekerja siang malam di bawah paksaan menjadi garis hidup romusha kemudian (Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa, 2013).
Romusha adalah kata dalam bahasa Jepang yang berarti "buruh." Di Balikpapan, para buruh itu bekerja setiap hari, sedari pagi hingga pukul lima sore dengan istirahat satu jam. Setiap pukul tujuh pagi, romusha dikumpulkan di sebuah lapangan. Mereka wajib menghadap ke arah matahari terbit untuk memberikan penghormatan kepada Tenno Heika, kaisar Jepang. Selepas upacara, para pekerja diangkut menggunakan truk menuju fasilitas kilang minyak. Barangsiapa melanggar waktu kerja, petugas patroli yang disebut kenpetai akan menghukum dengan pukulan berkali-kali.
Pengiriman romusha besar-besaran bertujuan membangun kembali instalasi minyak. Fasilitas pengeboran dan penyulingan minyak tersebar di hutan-hutan Balikpapan, Samboja, hingga Sangasanga. Luas keseluruhannya diperkirakan 330 ribu kilometer persegi.
Baca juga: Pipa Minyak Balikpapan, Korupsi hingga Penipuan Ribuan Petani
Tiga tahun yang kejam pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, romusha melewati kehidupan yang menyedihkan. Tenaga romusha diperas namun diberi makanan yang buruk. Mereka tinggal di barak-barak yang kotor dengan pakaian seadanya. Tubuh romusha yang kurus kering akhirnya remuk dipukul kenpetai saat kedapatan kabur atau beristirahat pada waktu kerja. Ratusan romusha tewas di Balikpapan di bawah kerja paksa.
Minyak untuk Perang
Sebanyak 80.400 romusha dikirim dari Pulau Jawa ke Kalimantan. Sekitar 10 ribu di antaranya bekerja di Balikpapan, seperti dicatat di dalam buku Asian Labor in the Wartime Japanese Empire (2006).
Pulau Jawa dipilih sebagai "bahan baku" romusha karena populasinya sangat besar. Pada 1930 saja, sesuai sensus terbatas Hindia Belanda, penduduk Pulau Jawa menembus 40 juta jiwa (The Demographic Dimension in Indonesian Development, 1987). Populasi yang sangat besar mengingat Jepang pada rentang waktu yang sama hanya memiliki penduduk 60-an juta jiwa.
Populasi padat di Pulau Jawa cocok dengan kebutuhan Jepang. Negara Nippon itu memerlukan banyak tenaga kerja untuk membangun berbagai fasilitas perang. Satu di antaranya, instalasi minyak Balikpapan dan Tarakan yang dihancurkan Belanda.
Sebelum Jepang datang, Belanda memilih strategi bumi hangus terhadap fasilitas pengeboran dan penyulingan minyak. Dalam perhitungan Belanda, militer Jepang bisa sangat kuat jika menguasai fasilitas sumber minyak di Balikpapan, juga Tarakan.
Baca juga: Hoax Emas Kaltim yang Mendunia-5: Tipuan Kelas Dunia lewat Muslihat Sederhana
Perhitungan Belanda benar meskipun tak sepenuhnya akurat. Jepang, dengan memeras habis tenaga romusha, berhasil memperbaiki penyulingan minyak di Balikpapan dalam kurun tak sampai setahun. Armada tempur Jepang pun kian kuat menghadapi Perang Dunia II.
Pesawat tempur Jepang, bersama-sama dengan Jerman sebagai koalisi, tak pernah kehabisan bahan bakar. Dari Balikpapan dan Tarakan-lah, bahan bakar itu berasal (World War II: Unforgettable Eyewitness Accounts of the Momentous Military Struggles, 1996).
Akhir Menyedihkan
Tanda-tanda berakhirnya penjajahan Jepang mulai tampak ketika pasukan Sekutu menyerang Balikpapan. Namun, serbuan yang dimulai pada 1 Juli 1945 itu menambah buruk kondisi romusha. Saat Jepang di ambang kekalahan, ratusan romusha melarikan diri. Mereka takut ditangkap Sekutu dan dituduh antek-antek Jepang.
Dalam kondisi yang sakit-sakitan, ribuan romusha berjalan kaki dari Balikpapan. Mereka melarikan diri tanpa perbekalan menuju Paser, Samarinda, hingga Tenggarong. Tubuh-tubuh yang ringkih akhirnya meninggal di tengah perjalanan karena kelaparan. Sebagian yang lain meregang nyawa karena gigitan nyamuk malaria.
Sampai setahun setelah kepergian tentara Jepang atau hingga 1946, para romusha masih berkeliaran di hutan-hutan Kalimantan Timur. Kondisi mereka, seperti digambarkan dalam buku berjudul Sejarah Kota Samarinda (1986), kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang. Tak ada baju pelindung badan, hanya celana pendek kumal yang menutupi alat kelamin.
Pelarian yang dikenal sebagai "Java Evakuasi" itu kemudian tercatat sebagai sejarah kelam. Di sepanjang Penajam, Tanah Grogot, Balikpapan, dan Loa Janan, yang menjadi tujuan pelarian, tengkorak romusha bergelimpangan. Sisa-sisa kehidupan mereka menunjukkan betapa kejamnya sebuah peperangan. (*)