kaltimkece.id Satu nama lagi dari Kaltim diusung sebagai pahlawan nasional. Selain Abdoel Moeis Hassan, terdapat nama Sultan Aji Muhammad Idris. Pemimpin ke-14 dari Kesultanan Kutai Kertanegara itu disebut berpeluang besar menjadi pahlawan nasional. Lagi pula, dari daftar 190 pahlawan nasional, tak seorang pun yang berasal dari Kaltim.
Kamis, 8 April 2021, Dinas Sosial Kaltim mengadakan seminar calon pahlawan nasional di sebuah hotel berbintang di Jalan Pangeran Diponegoro, Samarinda. Acara dihadiri sejumlah akademikus, tokoh masyarakat, hingga politikus. Ada mantan gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak serta Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi.
Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial, Dinsos Kaltim, Juraidi, mengatakan bahwa Sultan Aji Muhammad Idris dikenal aktif melawan dominasi Perusahaan Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Juriadi mengatakan, seminar tersebut bertujuan mengkaji upaya perjuangan Sultan Adji Muhammad Idris secara historis.
Dalam jurnal Kesultanan Pertama Kukar (2020) yang ditulis Nasihin, sejarawan dari Universitas Negeri Makassar (UNM), sosok Aji Muhammad Idris diceritakan. Adji Muhammad Idris adalah penerus takhta Raja Aji Sinum Panji Mendapa ing Martadipura. Ketika berkuasa pada 1735-1778, Aji Muhamamad Idris mengaplikasikan dua undang-undang yang telah disusun Raja Aji Sinum Panji. Kedua produk hukum itu adalah Panji Selaten dan Beraja Niti. Panji Selaten terdiri dari 39 pasal yang mengatur tentang sistem pemerintahan. Sementara itu, Beraja Niti terdiri dari 14 pasal yang mengatur tata tertib bagi masyarakat Kutai. Keduanya menjadi dasar pelembagaan masyarakat melalui pranata sosial dan hukum.
"Sehingga segala sesuatu tindakan diukur melalui tata aturan yang jelas. Proses penyelesaian permasalahan pun dijelaskan dan dijalankan sesuai prosedur hukum," tulis Nasir.
Aji Muhammad Idris juga disebut sebagai raja pertama Kutai Kertanegara yang membangun relasi dengan kerajaan tetangga. Hubungan ekonomi dan politiknya dirangkai dalam pola pikir anti-kolonial. Nasir menulis, Aji Muhamad Idris menjadi sosok yang menginisiasi model pemerintahan Kutai menjadi kesultanan. Dialah pangeran pertama yang diangkat sebagai pemimpin kerajaan bergelar sultan.
Prof Andi Ima Kesuma yang menjadi pembicara kedua dalam seminar ini memberikan penjelasan tambahan. Menurutnya, sebagai kesultanan, Kutai Kertanegara harus menunaikan kelengkapan infrastruktur dan suprastruktur. Persisnya, suprastruktur adalah mengajak kerajaan tetangga untuk menjadi kesultanan pula. Orientasi ini berhubungan dengan upaya memperkuat persatuan antarkesultanan untuk melawan praktik dominasi Belanda. Kelengkapan suprastruktur terpenuhi ketika Kerajaan Paser dan Berau berstatus kesultanan.
"Inilah yang disebut sebagai visi Kesultanan Kutai. Konteksnya dapat menjelaskan keterlibatan Sultan Aji Muhammad Idris turun ke medan peperangan melawan Belanda di Sulawesi Selatan bersama La Maddukelleng," terang guru besar bidang sejarah dan pariwisata dari UNM itu.
La Maddukelleng adalah bangsawan dari Wajo, Sulawesi Selatan, yang merantau hingga menjadi Sultan Paser di Kalimantan. Ia disebut rekan seperjuangan Sultan Aji Muhammad Idris. Keduanya memiliki hubungan erat karena Sultan Aji Muhammad Idris menikahi putri La Maddukelleng pada 1732. Pernikahan tersebut menandai penyatuan visi politik dan ekonomi kedua kerajaan. Secara ekonomi, kedua kerajaan ini disebut mampu memainkan peran penting di timur Nusantara. Armada La Maddukelleng juga dikenal kuat karena menguasai perairan selat Makassar hingga Melayu. Kerajaan Paser dan Kutai pun dapat membendung pengaruh Belanda via blokade laut.
Menurut Didik Pradjoko dari Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Indonesia, Universitas Indonesia, kedua sahabat ini mulai berkonfrontasi dengan VOC pada 1736. Sultan Aji Muhammad Idris dan La Maddukelleng waktu itu mempertahankan ibu kota Wajo dari gempuran perusahaan dagang Belanda. Pada 1737, keduanya berhasil merebut Palakka, pusat perdagangan di daerah Bone, termasuk Sidenreng dan Soppeng. Serangan terus berlanjut hingga jantung pertahanan VOC yakni Fort Rotterdam di Makassar namun gagal.
Ajal menjemput Sultan Aji Muhammad Idris ketika bersama pasukannya menuju Sidenreng. Kuda yang ia tunggangi disebut jatuh dalam jebakan musuh. “Meskipun Sultan telah tiada, pasukannya bertahan untuk membantu La Maddukelleng melawan VOC dan sekutu,” imbuh Prof Andi Ima Kesuma.
Sang sultan akhirnya digelari masyarakat Bone sebagai La Darise Denna Parewosi Petta Arung Kutek Petta Matinroe ri Kawane. Artinya, “Idris, kakak Parewosi, tuan kita, Sultan Kutai yang beradu tidur di Kawane.”
Kata Mereka yang Mendukung Usulan
Didik Pradjoko dari UI mengatakan, Sultan Aji Muhammad Idris layak menerima titel pahlawan nasional. Pertama, teman seperjuangannya yakni La Maddukelleng, sudah diangkat sebagai pahlawan nasional pada 1999. Kedua, upaya Aji Muhammad Idris mirip dengan beberapa sultan seperti panglima perang Riau-Johor, Raja Haji Fisabilillah, yang diangkat pada 1997. Ada pula Sultan Mahmud Riayat Syah yang memimpin gerilya laut yang melawan VOC.
“Beberapa sumber dari dokumen VOC dan buku-buku memberikan banyak bukti bahwa Sultan Aji Muhammad Idris melawan VOC dan sekutunya. Sudah saatnya dia dijadikan pahlawan nasional,” terang Didik Pradjoko.
Perwakilan dari Kesultanan Kutai Kartanegara, Aji Bambang Ibran, mengatakan bahwa pengangkatan Adji Muhammad Idris sebagai pahlawan nasional sudah lama dinantikan. Sebenarnya, kata dia, seminar pertama sudah diadakan pada 2001. "Sampai tiga kali seminar," ucapnya kepada kaltimkece.id.
Anggota Komisi VII DPR-RI, Awang Faroek Ishak, mengatakan bahwa pengangkatan Sultan Adji Muhammad Idris sudah terlampau lama tertunda. Sudah sepatutnya pula, jelas Faroek, nama Sultan Aji Muhammad Idris menjadi nama universitas Islam negeri (UIN) di Kaltim. “Mudah-mudahan terealisasi," harapnya.
Proses Administrasi
Juriadi dari Dinsos Kaltim menyatakan, proses administrasi usulan pahlawan nasional dalam waktu dekat dikirimkan kepada pemerintah pusat. Lagi pula, sambungnya, pusat sudah memberi sinyal kuat. Ada komitmen untuk membawa nama tersebut karena sudah dikaji dalam arsip nasional maupun Belanda.
“Bahwasanya, beliau (Aji Muhammad Idris) tidak pernah sama sekali cacat syarat, tidak pernah berkhianat maupun bersekutu kepada Belanda," jelasnya.
Dari total syarat administrasi, Juriadi menambahkan, 80 persen sudah disiapkan. Biografi Aji Muhammad Idris juga sudah ada. Nama Sultan Muhammad Idris pun sudah disepakati untuk dipakai UIN di Kaltim dan sekarang tinggal menunggu keputusan Presiden Joko Widodo. Dinsos Kaltim tinggal memenuhi syarat formal dan resmi. Di antaranya surat resmi dari kesultanan mengenai ahli waris, foto autentik, serta rekomendasi dan testimoni pejabat setempat.
"Kami juga menunggu surat dukungan dari pemerintah Sulawesi Selatan dan Kesultanan Wajo," ucapnya.
Seluruh berkas dikirim pada Rabu 16 April 2021 kepada pemerintah pusat. Jika Sultan Muhammad Idris ditetapkan sebagai pahlawan pada 10 November, figur dan tokoh lain yang layak menjadi pahlawan nasional turut diajukan. "Seperti Abdoel Moeis Hassan, Awang Long, dan sebagainya. Yang penting cuma satu, tidak pernah berkhianat dari Indonesia. Yang jelas, Sultan Aji Muhammad Idris ini dulu," paparnya
Penekun literasi sejarah Kutai, Muhammad Sarip, mendukung pengajuan ini. Menurutnya, untuk mendapat gelar pahlawan nasional, banyak mekanisme, proses, dan syarat yang harus terpenuhi. Sarip menyarankan, Dinsos Kaltim sebaiknya tidak melupakan usulan pahlawan nasional yang lain dari Kaltim seperti Abdoel Moeis Hasan.
“Nama Abdoel Moeis Hasan sudah diajukan sejak 2018. Berkasnya sudah lengkap, naskah biografinya sudah disusun, seminar lokal sudah dua kali. Seminar nasionalnya juga sudah diadakan Pemkot Samarinda pada 2019 atas permintaan Dinsos Kaltim. Pejabat Dinsos bilang dalam seminar daring BPCB Kaltim pada November 2020, Kaltim bisa mengajukan dua nama calon tahun ini,” jelas pemegang sertifikat kompetensi penulis sejarah dari Kemdikbud tersebut.
Yang pasti, kata Sarip, setelah 63 tahun resmi berdiri, Kaltim sudah saatnya memiliki pahlawan nasional. (*)
Editor: Fel GM