Oleh: M.Jaris Almazani
Mahasiswa S-1 Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penulis adalah putra dari Samarinda yang menaruh minat besar terhadap sejarah Kalimantan Timur.
BERBICARA tentang begawan pers Kaltim, nama-nama seperti Oemar Dachlan, Hiefnie Effendy, Ardin Katung, dan Muhammad Saleh Djaya tidak boleh luput dari ingatan. Tiap-tiap mereka memiliki kisah dan pandangan masing-masing. Namun demikian, dari empat tokoh itu, ada dua tokoh yang secara politik di satu partai bahkan pernah mengelola surat kabar yang sama. Mereka adalah Oemar Dachlan dan Saleh Djaya.
Keduanya sama-sama pernah menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrir. Karena muncul larangan bagi pegawai negeri golongan menengah ke atas untuk bergabung dengan partai politik, Oemar terpaksa meninggalkan partai. Saat itu ia bekerja sebagai pegawai di kantor Karesidenan Kalimantan Timur (Masykur & Basyir, 2003, hlm 27).
Oemar sempat menjadi kepala bagian politik dan menandatangani berbagai laporan politik di Kaltim, seperti pada laporan bulan September 1954 hingga Juli 1955. Sebagian laporan tersebut (September 1954, Juni, dan Juli 1955) kini disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Adapun Saleh, sebab tidak menjadi pegawai negeri, dapat mempertahankan keanggotaannya di PSI sekaligus terlibat penuh mengelola surat kabar Masjarakat Baru (MB) yang merupakan corong partai tersebut di Kaltim. Namun, sebelum membahas lebih jauh, kita perlu menengok kembali kehidupan awal Saleh Djaya.
Saleh dan Masjarakat Baru-nya
Menurut buku Tokoh Pers Kaltim, Muhammad Saleh Djaya lahir di Tenggarong pada 1931. Ayahnya, Haji Matseman bergelar Mas Djaja Muda, adalah seorang camat. Ia awalnya ingin agar Saleh meneruskan jejaknya sebagai pegawai negeri. Namun, jiwa sang anak berkata lain. Saleh justru ingin menjadi seorang wartawan dan karenanya mengikuti berbagai kursus jurnalistik dan stenografi (cara menulis cepat) sebelum terjun ke dunia pers (Masykur & Basyir, hlm 45-46).
Saleh memulai kariernya di MB sebelum Agustus 1951 ketika Oemar masih redaktur dan belum digantikan oleh Imansjah. Adapun pemimpin umum MB waktu itu adalah Badrun Arieph, ayah dari M Fuad Arieph yang juga seorang wartawan. Pada masa kepemimpinan Imansjah, MB terbit dua pekan sekali dan beralamat di Jalan Garuda, Samarinda. Kantor tata usahanya beralamat di Jalan Hua Siang (Kementerian Penerangan, 1953, hlm 34).
Selain bekerja di MB, Saleh menjadi koresponden tetap dari berbagai surat kabar dan majalah terbitan Jakarta di Samarinda. Mulai harian Indonesia Raya, majalah Siasat, dan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara. Ia juga menulis karya-karya fiksi yang dimuat di berbagai majalah nasional seperti Roman, Panorama, Berita Film, Tanah Air, dan Waktu (Masykur & Basyir, 2003, hlm. 46).
Saleh kemudian menggantikan Imansjah sebagai redaktur pada 1 Januari 1954. Pada masa kepemimpinannya, MB mencapai masa kejayaan. Surat kabar ini terbit dua kali sepekan pada pagi hari dengan format empat halaman. Pada masanya, alamat redaksi pindah ke Jalan Panglima Batur Nomor 50, Samarinda.
Walau begitu, bukan tanpa ujian ia mengemban tugas sebagai redaktur. Diwartakan oleh Indonesia Raya pada 27 Januari 1958, kantor redaksi MB diserang ratusan pelajar dari berbagai sekolah lanjutan yang berdemonstrasi di depan kantor. Ketua para demonstran tidak lain adalah ketua Badan Kerdjasama Pemuda Peladjar Kaltim (BKPKT).
Pasalnya, surat kabar tersebut memuat berita tentang pemergokan upaya pemerkosaan seorang pelajar lelaki sekolah lanjutan terhadap pacarnya. Warga memergoki pelaku di tengah hutan saat rombongan sekolah mereka mengadakan piknik. Berita yang berjudul "Lakon muda mudi jang gila kepergok" itu membuat para pelajar naik pitam dan mereka hampir menyerang Saleh. Untungnya, ia berhasil menyelamatkan diri.
Peristiwa ini membuat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Samarinda melayangkan protes kepada BKPKT karena keterlibatan ketuanya dalam aksi tersebut. Saleh lalu mundur dari jabatannya sebagai redaktur pada 1959 (Masykur & Basyir, 2003, hlm 27).
Para penerusnya, Darmansjah dan Isdar Soebli, harus menghadapi ujian yang besar. Afiliasi politik MB dengan PSI tidak terbantahkan. MB boleh dikatakan menjadi "corong" partai di Kalimantan Timur. MB terdaftar dalam Yearbook of the International Socialist Labour Movement Jilid 2 (terbit pada 1960) sebagai salah satu surat kabar beraliran sosialis (Braunthal, 1960, hlm 239). Oleh karenanya, sebagai imbas dari pembubaran PSI pada 17 Agustus 1960, MB diberedel mulai 14 Oktober 1960 oleh Pelaksana Kuasa Perang Darurat (Pekuper Darurat) di Samarinda.
Seperti diberitakan oleh Djawa Post pada 17 Oktober 1960, alasan pembredelan MB adalah pemuatan seruan Dewan Daerah PSI Kalimantan Timur mengenai pembubaran partai dan larangan terhadap kegiatan Partai Komunis Indonesia dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) di Kaltim. Namun, surat kabar ini akhirnya diizinkan untuk terbit lagi pada Februari 1961 seperti yang dikabarkan oleh Warta Bhakti pada 14 Februari 1961 dengan mengutip Antara pada 10 Februari 1961. Meski begitu, MB meredup hingga akhirnya sirna pada dekade ini (hlm 27).
Suara Kaltim dan Keteguhan Idealisme
Setelah berhenti dari MB, Saleh banting setir menjadi pengusaha. Ia memimpin sebuah koperasi, menjadi pengusaha ekspor ikan, dan membuka sebuah toko buku bernama "Dinamika" di kawasan Pasar Pagi, Samarinda. Namun, usaha toko buku tidak bertahan lama dan seluruh buku dibawa ke rumah untuk dibaca oleh anak-anaknya. Usaha-usahanya yang lain juga kandas dan ia memilih untuk fokus menulis cerpen dan artikel budaya untuk dikirimkan ke beberapa penerbitan di Jakarta (hlm 47).
Saleh akhirnya "pulang" ke dunia pers berkat bujukan sahabatnya, H Hiefnie Effendy, yang pada tahun '70-an menjadi pimpinan LKBN Antara Kaltim di Samarinda dan ketua PWI Kaltim. Ia sempat mendirikan surat kabar Wisma Berita dengan bantuan Hiefnie, tetapi tidak bertahan lama. Baru pada 1972, bersama dengan HM Fuad Arieph dan Moeis Ibrahim, ia mendirikan Suara Karya Kaltim yang kemudian berubah nama menjadi Suara Kaltim. Kedekatan Saleh dengan keduanya dipengaruhi persamaan ideologi politik dan pandangan mengenai pers sebagai wahana pengabdian dan ibadah (hlm 47).
Pada masa inilah Saleh melahirkan perkataan mutiaranya. Mengomentari fenomena komersialisasi pers yang marak pada akhir tahun '70-an, ia berkata, "Kalau pers sudah menjadikan bisnis sebagai landasan dominan dari eksistensinya, sama saja dengan pabrik untuk-untuk. Kita hanya berpikir untuk-untuk, bagaimana yang paling menarik pembeli, tak peduli harus mencampurinya dengan tepung basi yang membuat konsumennya dirugikan." (hlm 48)
Selain itu, dalam buku catatannya, Saleh juga pernah menulis, "Lebih baik memperoleh sedikit agar bisa memberikan hal bernilai kepada orang banyak daripada memperoleh banyak dari memperalat ketidaktahuan masyarakat."
Tak hanya itu, cita-citanya memajukan dunia pers Kaltim mengilhaminya mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Mahakam yang bertempat di kantor PWI Kaltim. Saat mendirikan sekolah ini, ia dibantu Kepala Kanwil Penerangan Kaltim, Djekson A Rivai dan Ketua Serikat Penerbit Surat Kabar Kaltim, H Alwy AS. Ia mendirikan STIK Mahakam saat menjabat sebagai ketua organisasi tersebut sejak pertengahan 1985.
Saleh juga berkomitmen kepada asas kebenaran dalam menulis berita. Dia sangat kontra dengan orang-orang yang menulis berita hanya untuk merusak nama baik orang lain. Mengenai hal ini, dia mengatakan, "Jangan menjadikan pers sebagai alat untuk menista orang lain." Bagi Saleh, tidaklah sama mewartakan suatu kasus yang melibatkan seseorang dengan menista orang tersebut (hlm 49).
Saleh juga sangat menjunjung tinggi kebebasan pers di tengah rezim politik yang totaliter. Pada 8 Februari 1985, selaku ketua PWI Kaltim (bersama Djekson A Rivai selaku Kakanwil Deppen Kaltim), ia menyesalkan tindakan Kakanwil Departemen Kehutanan Provinsi Kaltim, Ir AM (inisial), yang melakukan sensor terhadap kantor berita Antara dengan meminta hasil wawancara dengan dirinya sebelum dikirim ke Jakarta. Pihak Antara tentu saja menolak permintaan itu (Pers Indonesia, 1985, hlm 95).
Hijrah dari Partai Sosialis ke Golkar
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Saleh sejak muda sudah aktif dalam dunia politik. Ia dan Oemar Dachlan sama-sama menjadi anggota PSI, meskipun Oemar terpaksa keluar karena adanya larangan bagi pegawai negeri golongan menengah ke atas untuk bergabung dengan partai politik.
Baca juga: Wartawan Lima Zaman Oemar Dachlan, Orang Kaltim Pertama yang Mewawancarai Presiden Soekarno
Karier Saleh memuncak di PSI saat ia diangkat menjadi sekretaris Bagian Penerangan/Pendidikan Dewan Daerah PSI Kaltim pada Konferensi PSI Kedua Daerah Kalimantan Timur yang diselenggarakan pada 10-11 September 1954 di Samarinda. Menurut Laporan Politik Kalimantan Timur bulan September 1954, konferensi tersebut ditutup dengan rapat umum yang diadakan di Balai Seni Budaya, Samarinda. Sebagai perwakilan partai dari Jakarta diundang Rivai S Atmadja.
Pembubaran PSI pada 1960 membuatnya tidak mungkin lagi berkiprah di partai tersebut. Saleh baru kembali aktif di dunia politik ketika pada 1984 menjadi ketua Biro Penerangan, Penerbitan, dan Mass Media DPD Golkar Kaltim bersama dengan Djekson (Dewan Pimpinan Pusat Golkar, 1984, hlm 139). Ia meneruskan jabatan ini pada periode berikutnya yakni 1988-1993 tetapi hanya menjabat hingga 1991 karena wafat pada tahun tersebut (Dewan Pimpinan Pusat Golkar, 1988, hlm 959). Sejak 1987, ia juga duduk sebagai anggota DPRD Kaltim mewakili Fraksi Golkar (Masykur & Basyir, 2003, hlm 48).
Akhir Hayat di Tanah Suci?
Mengenai wafatnya Saleh Djaya, ada dua versi yang berbeda. Menurut penuturan putranya, Tatang Dino Herro, Saleh wafat pada 11 Desember 1991 karena hipertensi yang dideritanya. Namun, menurut sahabat dan rekannya, Oemar Dachlan, Saleh meninggal pada 1993 saat menunaikan ibadah haji di Makkah dan tidak menyebut apapun mengenai hipertensi yang ia derita (Dachlan, 2000, hlm 226).
Saleh meninggalkan istri yang bernama Hajjah Siti Aisyah dan sepuluh anak. Tiga anaknya mengikuti jejak sang ayah di dunia pers. Mereka adalah Tatang Dino Herro, Ikhsan Nursiwan, dan Irman Syahrial. Tatang dan Ikhsan sama-sama pernah menjadi pimpinan redaksi dan redaktur di Swara Kaltim, sedangkan Irman memimpin harian Pos Kota Kaltim. Adapun sang putra sulung, Ibnu Nirwani, dan putranya yang lain, Fuad Azadin, menjadi birokrat di Pemerintahan Provinsi Kaltim (Masykur & Basyir, 2003, hlm 48).
Tak hanya keluarga yang Saleh tinggalkan bagi dunia ini. Idealisme dan keteguhan prinsip, baik sebagai wartawan maupun kader partai, menjadi warisan yang mahal bagi generasi penerus bangsa. Di tengah-tengah maraknya pragmatisme, komersialisasi, dan segala borok dunia, Saleh hadir bak seorang resi yang berpegang teguh pada imannya. (*)
Senarai Kepustakaan
"Kantor Redaksi Masjarakat Baru Diserbu", Indonesia Raya, 27 Januari 1958.
"Masjarakat Baru dilarang terbit", Djawa Pos, 17 Oktober 1960.
"Masjarakat Baru terbit lagi", Warta Bhakti, 14 Februari 1961.
"Kalimantan Timur: Sesalkan penyensoran berita Antara", Pers Indonesia, April-Juli 1985, hlm. 95.
ANRI. Arsip Tekstual Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri RI 1950-1959 Jilid I, No. 1772, Berkas Mengenai Laporan Politik Kalimantan Timur Bulan September 1954 & 1955.
Braunthal, Julius (ed.). 1961. Yearbook of the International Socialist Labour Movement. Volume 2: 1960-1961. London : Lincoln's-Prager International Yearbook Publishing Company Limited.
Dachlan, Oemar. 2000. Kalimantan Timur Dengan Aneka Ragam Permasalahannya dan Berbagai Peristiwa Bersejarah yang mewarnainya. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.
Dewan Pimpinan Pusat Golkar. 1984. 20 Tahun Golkar. Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Golkar.
Dewan Pimpinan Pusat Golkar. 1984. Musyawarah Nasional IV Golongan Karya: Tanggal 20 s/d/ 25 Oktober 1988 di Jakarta. Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Golkar.
Kementerian Penerangan. Daftar Persuratkabaran jang Diterbitkan di Indonesia, No. 2, Maret 1953.
Kementerian Penerangan. Daftar Persuratkabaran jang Diterbitkan di Indonesia, No. 4, Januari 1956.
Masykur, Sofyan & Hadri Abdul Basyir. 2003. Tokoh Pers Kaltim: Sejarah Karya dan Pengabdian. Samarinda: Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Kalimantan Timur.