kaltimkece.id Edi Suprianto membuka topeng boneka yang jauh lebih besar dari kepalanya. Keringat bercucuran di seluruh wajah. Sementara kostum boneka masih ia kenakan, bayang-bayang 12 tahun silam kembali terkenang. Di tengah keramaian Jalan Untung Suropati, dekat BIG Mall, Samarinda, ia tenggelam dalam lamunan.
Pergantian tahun ajaran pada 2009, Edi harus pasrah menerima kenyataan tidak dapat melanjutkan pendidikan ke bangku SMP. Ayahnya sudah lama meninggal. Ibunya hanya bekerja menanam sawi dan bayam di kebun orang di Kecamatan Palaran, Samarinda. Padahal, Edi masih punya seorang adik yang masih sekolah.
“Biar adik saja yang lanjut sekolah. Saya mau kerja serabutan,” kata Edi kepada ibunya, sebagaimana dituturkan kepada reporter kaltimkece.id. Media ini mewawancarai penampil kostum boneka kartun itu di tengah rehatnya yang singkat pada Rabu sore, 3 Februari 2021.
Si Edi kecil pun berkelahi dengan kehidupan. Ia masih berusia 12 tahun ketika mulai bekerja sebagai buruh bangunan. Kebetulan, ada tetangganya yang seorang tukang. Dari mengais rezeki sebagai kuli, ia memperoleh Rp 100 ribu per hari. Ibu dan adiknya bisa hidup untuk sejenak.
Masalahnya adalah borongan membangun atau merenovasi rumah tak selalu tersedia. Edi tidak punya penghasilan tetap. Cobaan bertambah berat ketika ibunya tak bisa lagi bercocok tanam. Pemilik lahan yang dikerjakan ibunya ingin menggunakan kebun untuk urusan bisnis. Edi akhirnya benar-benar menjadi tulang punggung keluarga sejak remaja. Segala pekerjaan ia lakoni sepanjang halal.
Sekarang Edi sudah berusia 24 tahun. Ia masih duduk di tepi Jalan Untung Suropati mengenakan kostum boneka. Baru dua pekan lalu, Edi mengaku bekerja sebagai badut boneka. Ia dipinjami kostum oleh seseorang yang enggan ia sebut namanya. Orang yang Edi maksudkan punya banyak kostum figur kartun yang digemari anak-anak. Edi hanya harus mengenakan kostum itu mulai pukul 12.00-23.00 Wita.
Edi bekerja dengan berganti-ganti kostum. Pertama kali tampil, ia mengenakan kostum Mario Bros. Pernah pula ia memakai kostum Upin-Ipin. Menurut Edi, tampil dengan kostum kartun sebenarnya tak nyaman.
“Saya malu dan gugup karena belum pernah seperti ini sebelumnya,” tutur Edi.
Bekerja atas belas kasih pemberian orang-orang yang melintas menyebabkan penghasilannya tak tentu. Edi mengaku, ada yang memberi Rp 2 ribu, ada yang sampai Rp 50 ribu. Kadang-kadang, orang yang memberinya uang meminta Edi untuk berjoget. Meski agak kaku, Edi menurut saja.
“Namanya juga kerjaan,” ucapnya lagi.
Edi mengaku, pernah memperoleh Rp 700 ribu sehari ketika tampil di pinggir jalan. Waktu itu ia ‘mangkal’ di dekat Samarinda Central Plaza. Sementara ketika hari-hari sedang sepi, ia mengaku tak banyak yang bisa dikumpulkan. Dari seluruh penghasilan itu, sambungnya, sebesar 40 persen diberikan kepada pemilik kostum.
Andaikata tidak terdesak ekonomi, Edi tidak akan pernah bekerja sebagai badut jalanan. Ia ingin sekali menyudahi pekerjaan tersebut. Tangannya rindu mengangkat pasir dan mengaduk semen. “Seandainya bisa memilih, saya ingin jadi kuli bangunan saja,” harapnya.
Kisah Anto, Lulusan STM
Lain Edi, lain pula Anto. Laki-laki yang sebaya dengan Edi ini menjadi penampil kostum boneka di pinggir jalan sejak Ramadan tahun lalu. Sebelumnya, Anto bekerja sebagai juru cuci pendingin ruangan dengan gaji Rp 1,5 juta per bulan. Plus uang makan Rp 20 ribu per hari. Pandemi membuat orderan sepi. Pelanggan, katanya, takut menerima orang luar masuk ke rumah.
“Saya pun bekerja seperti ini (menjadi penampil boneka jalanan),” kata lelaki 23 tahun yang tinggal di Sempaja itu.
Masih di depan BIG Mal, Anto mengaku, pendapatannya sebagai penampil tak menentu. Kalau ramai, bisa Rp 200 ribu sehari. Kalau sedang sepi, dapat Rp 50 ribu saja sudah syukur. Jika 40 persen yang disetorkan kepada pemilik kostum, Anto artinya hanya membawa pulang Rp 30 ribu pada hari-hari sepi itu.
Anto adalah lulusan sekolah teknik mesin di Kota Tepian. Ia mengaku sulit mendapatkan pekerjaan. Makanya, ketika ada pekerjaan berdiri dari siang sampai malam sebagai penampil boneka, ia segera menyambarnya.
“Saya tidak malu bekerja seperti ini. Yang penting halal,” kata Anto.
Sama seperti Edi, Anto adalah anak yatim. Ayahnya berpulang enam tahun lalu. Ibunya telah renta dan tidak bekerja. Sementara itu, empat saudaranya kandungnya sudah berkeluarga. Anto sesekali bekerja mengangkat kayu di Batu Besaung. Akan tetapi, itu bukan pekerjaan tetap. Hanya ketika ada orang membeli kayu. Ia diupah Rp 50 ribu untuk satu truk.
Anto mengatakan, meski penghasilan tak menentu, ia merasa cukup karena belum berkeluarga. Uang yang didapatnya digunakan untuk makan bersama keluarga di rumah. Sedangkan saudaranya yang lain patungan membayar sewa rumah. “Saya tak tahu sampai kapan bekerja seperti ini,” kata Anto lagi.
Hari sudah hampir petang. Lalu lintas di Jalan Untung Suropati mulai lengang. Hujan yang mengguyur Kota Tepian juga perlahan reda. Edi dan Anto yang bergantian istirahat kembali bekerja. Dari balik topeng boneka yang tersenyum lebar itu, wajah-wajah mereka tersembunyi. Wajah-wajah kaum papa yang bekerja keras demi mengais rupiah. (*)
Editor: Fel GM