kaltimkece.id Namanya Nurlina. Seorang perempuan berusia 40 tahun yang sangat keibuan. Wajahnya bersih. Tubuhnya subur. Rambutnya yang amat hitam dan lebat dikuncir dengan ikat merah muda. Tergerai menutupi kulitnya yang cerah. Tidak ada yang istimewa dari perempuan asal Balikpapan ini selain cerita hidupnya yang begitu pahit. Kisah yang samar-samar tergambar dari gurat kesedihan yang tak mampu ia sembunyikan.
Namanya Nurlina. Perempuan yang telah menikah dua kali. Dari pernikahan pertama, perempuan ini dikaruniai empat anak. Di sinilah prahara mulai datang dan seperti tiada henti. Anak pertamanya, Muhammad Caesar Saputra, tumbuh dengan tidak sehat. Sejak kecil, Caesar mengalami kebocoran jantung. Si sulung menghadap ke haribaan-Nya ketika berusia enam tahun.
Cobaan lagi-lagi menghampiri ketika anak kedua Nurlina, Dini Anggraini Putri, panas tinggi dan mimisan. Usia Dini saat itu baru empat tahun. Dini meninggal dengan tiba-tiba. Di tengah saat-saat berduka itu, bungsu dari pernikahan pertamanya, Muhammad Ragil Saputra, juga divonis mengidap penyakit jantung langka. Ragil meninggal juga.
Namanya Nurlina. Hanya seorang anak yang tersisa dari pernikahan pertamanya. Anak ketiga itu adalah Dicha Larasati Putri. Usianya sekarang sembilan tahun, lahir di Balikpapan, 21 juli 2010. Nurlina kembali menerima kenyataan yang teramat berat. Dicha yang ia sayangi divonis menderita penyakit yang amat langka. Tubuh mungil putrinya, sejak dua tahun ini, tergolek tanpa daya di pembaringan rumah sakit.
Sakit Parah Dicha
Reporter kaltimkece.id menjenguk Dicha pada Ahad, 6 Oktober 2019. Gadis kecil itu dirawat di Ruang Isolasi Nomor 7, Bangsal Melati, RSUD Abdul Wahab Sjahranie, Samarinda. Dicha mengenakan baju berwarna ungu putih bergaris horizontal. Selimut biru menutupi pinggang hingga ujung kakinya. Mulutnya ditutupi masker.
Di balik masker itu, sebuah selang kecil masuk ke lubang hidung kiri. Selang ini menjadi jalur keluarnya darah dari lambung. Darah Dicha memang keluar terus-menerus tanpa henti. Kantong yang menampung darah tersebut tergeletak di sebelah kiri Dicha. Tak jauh dari situ, sebuah boneka merah muda dengan setia mengganjal kepalanya.
Nurlina berkata dengan lirih ketika menjelaskan kondisi putri terakhir yang masih hidup dari pernikahan pertamanya. "Kata dokter, tubuhnya sangat rapuh. Ia harus tetap steril. Tidak boleh dipegang, dicium, atau sekadar dibelai. Kotor sedikit pakaiannya, harus segera diganti," jelas Nurlina kepada kaltimkece.id.
Ia menceritakan riwayat penyakit Dicha. Sebermula ketika berusia empat tahun, putrinya langganan keluar-masuk rumah sakit. Mulai rumah sakit di Balikpapan, Samarinda, Jogjakarta, Malang, hingga Surabaya. Ketika Dicha dirujuk ke rumah sakit di Jogjakarta, ia baru berusia lima tahun. Di situlah titik terang ditemukan. Pada 2015, Dicha didiagnosis menderita Bernards Soulier Syndrome, sebuah kelainan genetika yang teramat langka.
"Hancur hati saya," lirih Nurlina ketika mengingat vonis itu dijatuhkan.
Bernards Soulier Syndrome, BSS kependekannya, adalah kelainan bawaan turunan berupa ketidakmampuan tubuh membekukan darah (koagulasi). Tanda-tanda paling jelas adalah ukuran trombosit (sel yang berperan membekukan darah) di pembuluh darah sangat besar, sering disebut raksasa, namun jumlahnya rendah (trombositopenia). BSS membuat penderitanya cenderung berdarah berlebihan dan mudah memar (Bernard-Soulier Syndrome, an Inherited Bleeding Disorder, 2008, hlm 5).
Sindrom Bernard-Soulier merupakan kelainan yang amat langka. Perkiraan terbaru menunjukkan, sindrom ini hanya diderita sekitar satu juta orang dari 7 miliar penduduk dunia. Darah yang tidak mampu menggumpal sehingga mengakibatkan perdarahan terus-menerus diduga disebabkan kurangnya glycoprotein Ib/IX/V. Protein jenis ini sangat penting dalam proses penggumpalan trombosit di sekitar pembuluh darah yang terluka. Tanpa glycoprotein yang cukup, perdarahan penderitanya akan berkepanjangan (hlm 6).
Para ahli menduga, sebagian besar BSS disebabkan oleh faktor bawaan atau keturunan. BSS disebabkan kerusakan satu gen --dari 30 ribu gen di dalam DNA-- orangtua. Itu sebabnya, kelainan genetika ini sangat langka. BSS hanya diturunkan jika kedua orangtua berstatus pembawa atau carrier BSS. Seorang bayi akan menderita BSS apabila mewarisi dua gen cacat, satu dari ibu dan satu lagi dari ayah. Jika hanya ibu atau ayah yang berstatus pembawa, semua anaknya hanya mewarisi satu gen cacat. Anak-anak ini hanya menjadi carrier atau justru normal. Peluang anak menjadi carrier atau normal, jika hanya satu orangtua berstatus carrier, adalah 50 banding 50.
Berbeda ketika kedua orangtua berstatus pembawa. Peluang satu anak menderita BSS adalah 25 persen. Sederhananya, jika pasangan tadi memiliki empat anak, hanya satu orang yang akan mewarisi kelainan tersebut. Seorang anak (25 persen) yang lain berpeluang normal, dua anak (50 persen) berpeluang hanya menjadi pembawa (hlm 7).
Dicha, putri Nurlina yang terbaring di rumah sakit, ternyata bagian dari 25 persen yang mewarisi kelainan gen kedua orangtua itu.
Menderita Amnesia Permanen
Dicha mulai masuk rumah sakit pada Desember 2017. Kelainan pada tubuh membuat dia koma selama dua pekan. Sadar dari koma, Dicha didiagnosis menderita amnesia permanen. Berbagai pemeriksaan telah ditempuh untuk mengembalikan ingatannya.
"Memorinya kembali seperti bayi yang baru lahir. Ingatannya adalah ingatan baru. Memori baru. Masa lalunya hilang. Itu kata dokter. Dia tidak ingat lagi orangtuanya, saudara-saudara, teman-temannya, termasuk siapa dirinya," tutur Nurlina. Ketika sang ibu berbicara, Dicha sesekali memanggil adiknya --anak dari pernikahan kedua Nurlina.
"Adek, adek....," panggil Dicha dengan suara tercekat.
Dicha sempat bersekolah sebelum kehilangan ingatan. Ia tercatat sebagai murid kelas tiga di SD 015 Balikpapan. Setelah didiagnosis amnesia permanen, Dicha sempat diajar oleh guru privat. Sang guru, kata Nurlina, menyerah. Sangat sulit, bahkan untuk menanamkan satu huruf di ingatannya.
"Dicha kehilangan kemampuan membaca dan menulis. Memegang pensil pun tidak bisa. Penyakit itu (BSS) sudah menyerang saraf motorik,” lanjut Nurlina.
Tergolek di pembaringan, Dicha kerap kali merasa bosan. Perempuan kecil itu ingin sekali keluar dari kamar. Berjalan-jalan menghirup udara luar sambil melihat pepohonan dan memelihara seekor kucing. Ia juga ingin belajar agar cita-citanya menjadi dokter bisa direngkuh. Permintaan yang tak pernah bisa dikabulkan tim medis. Dicha tak boleh terpapar dan berinteraksi dengan dunia luar.
Keadaan itu membuat emosinya labil. Ia bisa tiba-tiba menangis dan marah tanpa sebab. Dicha juga harus menjaga suhu tubuhnya. Sedikit saja naik, bisa memecahkan pembuluh darah seperti di mata dan telinga. Untuk asupan makanan, Dicha mengandalkan selang infus. Dia juga membutuhkan 3-4 kantong darah sehari, bergantung pemeriksaan laboratorium. “Belakangan ini, golongan darah Dicha yaitu B+ sukar didapat di PMI (Palang Merah Indonesia),” jelas Nurlina.
Mencari Jalan Keluar
Namanya Nurlina. Ibu yang menghadapi berkali-kali cobaan dengan tabahnya. Selepas kehilangan ketiga anaknya, ia harus merelakan banyak hal demi merawat putrinya, Dicha. Pada saat melewati masa-masa berat itulah, ia malah diceraikan suaminya. Sang suami berdalih ingin memiliki anak yang sehat. Perceraian itu terjadi pada 2014, tepat ketika Dicha didiagnosis menderita Bernards Soulier Syndrome.
Nurlina terpaksa menjadi orangtua tunggal. Apapun ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan dan merawat Dicha. Ia membuat jajanan pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pengobatan. Nurlina sadar, tidak bisa meminta banyak bantuan dari keluarga karena sama-sama orang tak berpunya.
Seberat-beratnya cobaan, Tuhan selalu memberi jalan. Di tengah perjuangan seorang diri, Nurlina dipertemukan dengan seorang pendamping. Nurlina kemudian menikah dan dikaruniai seorang putri yang diberi nama Cantika Aura Putri. Balita berusia 1 tahun 5 bulan ini ikut menemani Dicha di ruang isolasi.
Sebelum melewati hari-hari di rumah sakit, Nurlina, suaminya, Dicha, dan Cantika, tinggal di sebuah rumah sewa di Jalan Gunung Rejo, RT 12, Kelurahan Gunung Sari Ulu, Balikpapan Tengah. Suami Nurlina bekerja di sebuah bengkel di Balikpapan. Pendapatannya sekitar Rp 100 ribu sehari. Jika tidak bekerja, tidak dapat uang. Penghasilan itu hanya cukup untuk membayar sewa rumah Rp 900 ribu per bulan, tagihan air dan listrik, serta makan sehari-hari di rumah sakit.
Namanya Nurlina, yang akhirnya selalu diberikan jalan oleh Yang Kuasa untuk merawat putrinya. “Alhamdulillah. Banyak rezeki untuk Dicha. Mulai rumah sakit, dokter, perawat, mereka semua membantu dengan memberi perhatian khusus kepada Dicha. Bahkan membantu membelikan obat yang mahal,” tuturnya. Ia bersyukur masih bisa membayar BPJS Mandiri. Nurlina berharap, iuran BPJS tidak naik seperti kabar yang sekarang beredar. Para dermawan juga berdatangan memberikan bantuan. Ia tak mampu menyebut satu per satu nama-nama orang yang berhati mulia itu. Sangat banyak jumlahnya.
Namanya Nurlina. Perempuan yang tak mengenal kata menyerah meskipun dalam keadaan susah. (*)
Editor: Fel GM