kaltimkece.id Langkah Achmad Nurcolis dan rekannya terhenti di tengah hamparan sawah padi nan luas. Lelaki kidal yang tak beralas kaki itu menenteng ember di lengan kanan. Ia menunjuk-nunjuk pucuk padi. Wajahnya yang terlindung camping mengerut melihat tanaman tersebut.
Nur, demikian lelaki berusia 56 tahun itu dipanggil, adalah seorang petani di Desa Bukit Raya, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Kecamatan ini masuk Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Negara Nusantara. Sawah milik Nur berdampingan dengan sebuah lahan terbuka. Dari jarak sekitar 300 meter, terlihat sebuah crane dan ekskavator bekerja di lahan tersebut.
Sore itu, Jumat, 3 Februari 2022, Nur baru saja selesai mengurus tanaman padi. Ia melayani wawancara kaltimkece.id dengan informasi bahwa lahan terbuka tadi untuk intake air baku. Menurut rilis Kementerian PUPR berjudul Suplai Air Baku IKN Nusantara, Kementerian PUPR Bangun Intake Sungai Sepaku, intake air baku di Sepaku ini akan menyuplai kebutuhan IKN Nusantara. Kepala Balai Wilayah Sungai Kalimantan IV, Harya Muldianto, mengatakan, intake ini dibangun dengan konsep bendung gerak atau obermeyer. Lebar bendungannya 117,2 meter dengan tinggi 2,3 meter.
“Intake Sungai Sepaku dibangun untuk menyediakan air baku 3.000 liter per detik yang kami kerjakan mulai Oktober 2021 sampai April 2023. Progres fisiknya 38 persen dan masih on schedule,” kata Harya Muldianto dalam artikel yang terbit pada 26 Oktober 2022 tersebut.
Kembali ke Nur, ia tak khawatir proyek tersebut atau proyek IKN yang lain menyentuh sawahnya. Menurutnya, yang dikerjakan pemerintah mesti didukung karena pasti demi kepentingan banyak orang. “Yang penting, besaran ganti-rugi lahannya sesuai,” kata kakek yang memiliki tiga anak dan tiga cucu tersebut.
Kepala Adat Suku Balik, Sibukdin, punya pendapat berbeda. Pria berusia 60 tahun ini tinggal di Desa Lokdam, Sepaku, yang bersebelahan dengan Desa Bukit Raya. Menurut informasi yang diterima Sibukdin, proyek intake atau proyek IKN yang lain akan merembet ke Desa Lokdam, termasuk desa di sekelilingnya.
“Sebagian warga sudah menjual lahan untuk pembangunan IKN,” kata Sibukdin. Ia juga menjabat anggota Dewan Pengawas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Kaltim, sebuah lembaga swadaya masyarakat. Sibukdin menilai, warga yang melepas lahannya untuk proyek IKN adalah orang yang minim pengetahuan. Mereka disebut hanya terbuai kenikmatan sesaat. Ditawari uang banyak, mereka rela melepas lahannya tanpa memikirkan masa depannya dan nasib orang lain. Padahal, uang merupakan harta yang tak kekal.
Sibukdin mengambil tamsil dari kisah di Desa Sumurgeneng, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Sejumlah warga desa menjual lahannya kepada perusahaan milik negara. Mereka pun bergelimang harta. Tak sedikit warga di sana membeli mobil dari hasil penjualan lahan. Desa Sumurgeneng pun sempat dijuluki kampung miliarder. Akan tetapi, kehidupan glamor itu hanya sesaat.
“Hanya dalam setahun, mobil-mobil itu dijual. Kabarnya, mereka sudah tidak punya uang untuk kebutuhan sehari-hari,” beber Sibukdin.
Ia yakin, kondisi serupa bisa menimpa penjual lahan di Sepaku. Yang paling ia cemaskan adalah punahnya Suku Balik. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Sibukdin menyebut, orang dari sukunya kini tinggal sedikit. Berdasarkan catatan Aman, saat ini tersisa sekitar 3.000 orang Suku Balik. Mereka tersebar di sejumlah daerah di Kaltim. Paling banyak di Sepaku.
Menurut Sibukdin, tergerusnya Suku Balik disebabkan sejumlah pembangunan. Dimulai dari program transmigrasi pada zaman Orde Baru. Kedatangan para transmigran di Sepaku membuat ruang aktivitas Suku Balik jadi sempit. Tugas para transmigran di Sepaku adalah menciptakan ketahanan pangan. Mereka diberi lahan yang rata-rata luasnya 2 hektare untuk berkebun.
“Sementara kami, Suku Balik, tidak perlu kebun. Kami perlu hutan. Kami hidup berladang, berburu, dan menanam padi di gunung,” tutur Sibukdin. “Kami tidak bisa bertahan kalau tidak ada hutan.”
Ruang gerak Suku Balik makin kerdil setelah sejumlah perusahaan berdiri di Sepaku. Dua di antaranya yakni perusahaan kayu dan pabrik pengolahan sawit. “Sudah kami ini disingkirkan perusahaan, sekarang ada lagi IKN. Ini sama saja membunuh suku kami,” ucap Sibukdin sedikit memekik.
Walau demikian, ia belum menyerah menghadapi situasi ini. Ia menyatakan siap mengorbankan apa saja demi melindungi keturunan dan komunitas sukunya. “Saya tidak akan pergi dari Sepaku. Kalau memang harus bekeras, ayo, saya siap pasang badan,” tegas Sibukdin yang memiliki enam anak dan 12 cucu.
Suku Balik bukan satu-satunya suku yang bermukim di IKN Nusantara. Berdasarkan peta indikatif sebaran wilayah adat di kawasan IKN di Kaltim, terdapat 21 komunitas adat di wilayah rencana pembangunan IKN. Sebanyak 19 komunitas di antaranya di PPU, sisanya di Kutai Kartanegara. Sebelas komunitas adat teridentifikasi masuk zona inti pembangunan IKN. Lokasi IKN Nusantara bukanlah tanah kosong.
Klaim Pemerintah
Pembangunan IKN Nusantara dipastikan tidak mengganggu aktivitas masyarakat adat. Hal tersebut disampaikan Camat Sepaku, Waluyo. Kepada kaltimkece.id, Waluyo mengatakan, pembangunan IKN Nusantara mengusung konsep ramah lingkungan. “Salah satunya ramah terhadap komunitas adat,” katanya.
Kamis, 9 Februari 2023, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko berkunjung ke Titik Nol IKN Nusantara di Sepaku untuk menengok progres pembangunan. Ia mengklaim, pembangunan ibu kota negara berjalan baik-baik saja. “Alhamdulillah, belum ada halangan atau rintangan-rintangan yang berat. Semua berjalan baik,” klaimnya.
Saat ini, sambung Moeldoko, sedang dibangun 22 tower yang menjadi penginapan para pekerja pembangunan IKN. Semua tower memiliki daya tampung 16 ribu orang. “Progres keseluruhan sudah 15 persen,” pungkasnya. (bersambung)