kaltimkece.id Setelah pertama kali dideteksi di Wuhan, Tiongkok, tiga bulan silam, virus corona (Covid-19) ditemukan di Indonesia. Penyebaran virus memang sangat cepat karena sudah menjalar hampir ke seluruh dunia. Namun demikian, virus ini sebenarnya tidak lebih mematikan dibandingkan SARS atau MERS.
Jurnal medis The Lancet menyebutkan, kasus corona pertama kali diketahui pada 1 Desember 2019. Setelah 93 hari, menurut catatan Komite Kesehatan Dunia atau WHO, jumlah penderita Covid-19 hingga Selasa, 3 Maret 2020, mencapai 90.899 jiwa di seluruh dunia. Jika dirata-ratakan, virus ini telah menjangkiti 1.000 orang setiap harinya.
Masih menurut catatan WHO, dari 90 ribu kasus yang kebanyakan ditemukan di Tiongkok, pasien Covid-19 yang sembuh sebanyak 48.002 orang atau 52 persen dari total orang yang terpapar. Sebanyak 45 persen sisanya masih dalam masa penyembuhan, sementara 3 persen pasien meninggal dunia. Sampai hari ini, jumlah yang meninggal karena corona tercatat 3.116 orang. Secara sederhana, dari 50 orang yang terjangkit corona virus, hanya satu orang yang kemungkinan meninggal.
Pisau kematian yang ditancapkan corona tidaklah lebih tajam dari dua virus lain yang menyerang sistem pernapasan. Middle East Respiratory Syndrome atau MERS, misalnya, jauh lebih berbahaya dari corona. MERS pertama kali dilaporkan di Arab Saudi pada 2012. Virus ini menyerang manusia yang bersentuhan dengan unta atau memakan daging dan meminum susunya. Yang membuat MERS tidak seheboh corona adalah karena penyebarannya dari manusia ke manusia sangat terbatas.
Meskipun demikian, MERS amat mematikan. Sampai hari ini, menurut WHO, ada 2.494 kasus MERS dengan 858 orang meninggal. Angka kematian MERS adalah 34 persen. Sederhananya, dari 50 orang yang terpapar MERS, 17 di antaranya berisiko meninggal dunia. Bandingkan dengan corona, yang hanya berpotensi membunuh satu orang dari 50 pasiennya.
Adapun penyebaran Severe Acute Respiratory Syndrome atau SARS, lebih tinggi dari MERS meskipun tidak separah Covid-2019. Virus ini menyebar sepanjang musim dingin hingga musim semi pada 2002 dan 2003. Sebanyak 8.000 orang terinfeksi dan 349 orang meninggal dunia. Virus ini lenyap pada musim panas. Angka kematiannya adalah 4,3 persen. Dari 50 orang yang terpapar SARS, dua di antaranya bisa meninggal dunia.
Penyebaran Corona memang bak cendawan di musim penghujan. Namun demikian, mengingat banyaknya pasien yang terinfeksi virus ini bisa sembuh, kepanikan dan kekhawatiran berlebih bukanlah tindakan bijak.
Orang Sehat Kemungkinan Besar Sembuh
Corona adalah virus yang pandang bulu. Ia memilih-milih korbannya. Dari 3.116 korban jiwa, sebagian besar di antara mereka adalah orang lanjut usia. Ada beberapa kasus orang muda yang meninggal namun karena mereka terlambat ditangani atau menderita penyakit imun.
Dikutip dari WebMD.com, Michael Mina selaku asisten Profesor Ilmu Penyakit Menular dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Harvard, Amerika Serikat, memaparkan detailnya. Dari 90 ribu kasus infeksi Covid-19, angka kematian bagi lansia di atas 80 tahun mencapai 21,9 persen. Sementara penderita kelompok umur 70-79 tahun dan 60-69 tahun, angka kematian masing-masing 8 persen dan 3,6 persen.
Risiko kematian ini kian menurun untuk kategori usia yang lebih muda. Penderita dengan usia di bawah 40 tahun, kemungkinan kematian hanya 0,2 persen. Bahkan anak-anak kategori 0-9 tahun, tak ada kasus kematian akibat corona.
Universitas Alabama, AS, menyimpulkan bahwa virus corona tidak berbahaya bagi orang dengan sistem kekebalan tubuh yang baik. Artinya, jika tubuh seseorang cukup baik imunnya --contoh kecil saja, tidak mudah terserang flu--, corona sama sekali tidak berbahaya bagi nyawa. Berbeda dengan kelompok orang dengan daya imun rendah contohnya lansia, penderita diabetes, orang yang hidup dengan AIDS, atau terkena penyakit imun yang lain. Kepada mereka, corona bisa memicu komplikasi seperti pneumonia (paru-paru basah).
Cara Mudah Tangkal Virus
Corona, MERS, dan SARS, adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Ia berbeda dengan penyakit yang disebabkan bakteri seperti tuberkulosis atau TB. Bakteri maupun virus memang sama-sama bisa menyebabkan penyakit. Yang tidak sama adalah bakteri dapat hidup dan berkembang biak di alam bebas. Virus tidak. Ia harus menempel di sel hidup. Jika tidak menginang kepada sel, virus akan mati karena suhu atau udara bebas hanya dalam hitungan jam.
Dari sifatnya itulah, virus tidak mungkin berkembang biak di tempat terbuka. Ia harus berpindah dari satu sel ke sel yang lain. Makanya, untuk mencegah corona, kuncinya adalah memutus rantai penularan.
Sifat virus yang harus menginang kepada sel hidup memberinya sebuah kelemahan. Kebanyakan virus, sebelum masuk ke tubuh, hanya bisa menempel di kulit. Selama beberapa jam hidup dengan menempel di kulit manusia inilah virus mudah disingkirkan. Makanya, saran untuk rajin mandi dan cuci tangan amat penting untuk menghindari infeksi. Mencuci tangan sangat efektif untuk membuang virus-virus yang menempel di kulit.
Virus juga tidak memiliki kemampuan seperti, contohnya, bakteri TB. Bakteri ini gemar berdiam di ruangan kotor, sirkulasi udara yang minim, dan jarang tersiram sinar matahari. Bakteri memiliki lebih banyak medium untuk masuk ke tubuh manusia.
Perbedaan virus dan bakteri yang lain adalah proses penyembuhannya. Dalam kasus corona, 52 persen pasien yang berhasil sembuh disebut bukan karena obat-obatan (antivirus). Virus corona lebih banyak dikalahkan oleh kekebalan tubuh seperti halnya influenza. Kekebalan tubuh adalah "obat paling mujarab" bagi Covid-19. Makanya, jagalah "obat mujarab" tersebut dengan pola hidup sehat. Makan dan beristirahat yang cukup serta berolahraga adalah modal penting bagi tubuh untuk membela dirinya ketika diserang corona. (*)