Ditulis oleh: Nanda Puspita Sheilla*
AKU pernah membaca buku setebal 1.200 halaman dan selesai dalam tiga hari. Ketika menyelesaikan bacaan buku Histori Kutai, aku juga perlu waktu tiga hari. Padahal, tebal totalnya 'cuma' 344 halaman. Sebenarnya bukan tiga hari, melainkan tiga malam, karena siang harinya aku bekerja. Aku membaca semua isinya dari kata pengantar dan sambutan para tokoh publik sampai epilog sejarawan Asvi Warman Adam, termasuk juga catatan kakinya.
Pada dasarnya, aku suka membaca buku genre apapun karena aku suka mengeksplorasi ilmu-ilmu baru. Hal yang paling baru buatku adalah membaca buku sejarah lokal yang sebelumnya tak pernah aku dapatkan di sekolah. Aku membaca Histori Kutai sambil me-review. Ada tanda, koreksi, dan catatan yang aku buat dalam membacanya.
Buku ini ditulis oleh Muhammad Sarip, sejarawan publik asal Samarinda. Judul bukunya secara lengkap adalah Histori Kutai: Peradaban Nusantara di Timur Kalimantan dari Zaman Mulawarman hingga Era Republik. Dari buku berukuran 14,5 X 21 cm ini, aku mengetahui bahwa ternyata banyak sejarah yang terjadi di wilayah Kutai, termasuk juga di Samarinda, kota tempat aku dilahirkan dan dibesarkan.
Sebagian keluargaku merupakan orang Banjar Samarinda. Aku bersekolah di Samarinda sampai tamat SMA. Setelah itu, aku sempat kuliah di Surabaya sebelum pindah ke sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Ketika berinteraksi dengan orang-orang non-Kaltim, kalau aku memperkenalkan diri sebagai orang Samarinda, umumnya mereka kurang begitu paham dengan ibu kota Kaltim ini. Kadang aku mencukupkan perkenalan dengan bilang bahwa aku dari Kalimantan. Padahal, Kalimantan itu pulau yang sangat luas.
Dari buku Histori Kutai dapat diketahui bahwa ternyata sejarah Kutai itu tak kalah menarik ketimbang sejarah kerajaan di Jawa. Ada banyak sejarah yang kurang terekspos ke publik. Kaltim itu tidak hanya kaya dalam sumber daya alam. Kaltim juga kaya akan sejarah dan budaya. Samarinda yang masyarakatnya banyak menggunakan bahasa Banjar pun ternyata dulunya merupakan kota penting dalam sejarah Kutai.
Warga Kaltim penting membaca buku ini. Ada sejarah dan kebudayaan Kutai yang mewarnai perjalanan historis Kaltim. Dua kota utama di Kaltim yakni Balikpapan dan Samarinda, sebenarnya bagian dari Kutai juga sebelumnya. Buku ini menjelaskan sejarah Kutai dari zaman Kerajaan Martapura sekitar tahun 400 Masehi sampai masa Kerajaan Kutai Kertanegara di zaman Kemerdekaan Indonesia.
Dari Histori Kutai, aku mendapat banyak insight dan pengetahuan. Salah satu peristiwa menarik yang bisa aku highlight adalah bagaimana isu antifeodalisme di Kaltim pada 1964 sampai menyebabkan munculnya rencana aksi pembakaran keraton Kutai di Tenggarong. Gubernur Kaltim saat itu, Abdoel Moeis Hassan, berhasil mencegahnya. Namun, pada 1965, terjadi pembakaran atribut dan benda pusaka keraton Kutai di Lapangan Kinibalu Samarinda yang diperintahkan oleh Pangdam Sumitro.
Dalam forum launching buku Histori Kutai di Perpustakaan Kota Samarinda, 23 November 2023, aku berkesempatan bertanya langsung kepada penulisnya. Waktu itu, aku menjadi salah satu narasumber yang diminta me-review buku. Jadi, dari panggung acara, aku memperbincangkan buku ini yang disimak langsung oleh penulisnya yang duduk di sebelahku. Untungnya, Bang Sarip memang memberikan kebebasan buatku untuk berpendapat dan berekspresi di ruang publik.
Aku bilang begini. Buku ini ditulis oleh Bang Sarip yang menjelaskan sejarah sebagai orang lokal atau dari perspektif lokal. Menurutku, secara implisit penulis agak defensif ketika menulis dari sisi lokal. Sebenarnya, aku juga setuju karena ada sisi subjektivitas bahwa aku juga orang lokal. Bukti-bukti yang diajukan juga valid. Namun, ini memunculkan pertanyaan, bagaimana jika yang membaca buku ini bukan orang sini (Kaltim)? Misalnya, mereka orang Jawa yang tak punya relasi sama sekali sama buku ini, apakah perspektif mereka akan setuju atau malah mengundang perdebatan?
Bang Sarip menjawab bahwa dia optimistis buku Histori Kutai akan diterima sebagai referensi publik, baik di Kaltim maupun luar Kalimantan. Yang dilihat publik terutama kaum intelektual itu adalah penggunaan metodenya, bukan siapa penulisnya. Bang Sarip mencontohkan, ada artikel jurnalnya yang dijadikan referensi utama oleh youtuber Jakarta, Aurel Valen, untuk konten video Kerajaan Kutai. Dalam waktu tiga bulan, penontonnya sudah hampir 800 ribu dan menjadi video sejarah Kutai dengan penonton terbanyak.
Baca juga: Youtuber Aurel Valen Bilang Kerajaan Kutai Itu Tidak Ada
Ya, aku memang berharap agar pembaca buku Histori Kutai dapat menilai secara objektif tanpa memandang subjektivitas penulis sebagai orang lokal. Aku juga sepakat dengan Bang Sarip bahwa adanya epilog yang ditulis oleh Prof Asvi Warman Adam di buku ini bisa menetralisasi perspektif pembaca non-Kaltim untuk tidak mempermasalahkan penulisnya yang dari lokalitas Kaltim. Epilog Profesor Riset Sejarah Sosial Politik BRIN tersebut memang sangat membantu menetralisasi dan berfungsi seperti endorsement buat buku ini.
Ada beberapa kritik yang menurutku perlu disampaikan untuk perbaikan buku ini ke depannya. Dan kritik ini sudah aku sampaikan juga langsung kepada Bang Sarip di luar forum. Di buku, beberapa kali aku temukan paragraf berulang atau informasi yang sudah ada di halaman sebelumnya diulang lagi. Misalnya, cerita tentang tokoh yang berkunjung ke suatu tempat, sudah dijelaskan di beberapa halaman sebelumnya. Tapi ketika masuk subbab baru, diulang lagi ceritanya walaupun lebih singkat.
Ini tak masalah kalau yang membaca bukunya berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Tapi bagiku yang membacanya tiga hari, menurutku buku ini mungkin masih bisa disunting lebih tipis tanpa mengurangi intinya.
Kalau sudut pandangnya ada cerita yang diulang lagi summary-nya supaya orang ingat padahal telah dijelaskan di bagian sebelumnya, itu mungkin tak masalah. Namun, pembaca buku, jika lupa akan suatu informasinya, semestinya dia yang kembali ke halaman sebelumnya. Menurutku, bukan tugas penulis untuk mengulang lagi informasi yang sama.
Aku merasa bukunya jadi agak bertele-tele di beberapa bagian cerita. Sebaliknya, pada bab I dan bab II tentang metode ilmiah, walaupun membacanya agak melelahkan tapi aku merasa ini bagian yang penting yang tak boleh diabaikan.
Menurutku, buku sejarah adalah buku yang paling gampang membuat orang mengantuk. Jadi, kalau buat orang-orang yang memang tidak bergerak di bidang yang berhubungan dengan sejarah atau tidak antusias dengan sejarah, melihat bukunya tebal pasti ogah-ogahan membacanya. Ini dari sudut pandang generasiku dan angkatan exposure gen Z yang kasusnya memang tidak memahami ilmu historiografi.
Meskipun begitu, bagian awal buku ini yang memang cukup panjang menurutku mampu menunjukkan bukti bahwa buku ini ditulis dengan valid. Dengan segala sumber sejarahnya, buku ini bisa kita jadikan acuan sebagai karya sejarah yang valid. (*)
*Nanda Puspita Sheilla adalah co-writer buku Historipedia Kalimantan Timur, tinggal di Jakarta.