UNTUK sementara, smartphone bagi Ratih dapat menjadi pelipur lara. Ia sudah terhubung dengan teman-temannya kuliah bahkan teman-teman saat sekolah. Kekecewaan dan kekesalan Ratih kepada Bang Yusuf memang tak bisa hilang dari benaknya. Maklumlah, benci dan cinta itu bagi mereka yang sedang dilanda demam asmara, tipis bedanya. Sangat fluktuatif. Bagai musim. Kadang panas, kadang dingin. Kadang musim gugur, kadang musim semi. Kadang merasa dicintai, kadang pula merasa tak dianggap apalagi dirindukan.
Cinta yang menggebu-gebu bisa berubah menjadi kesal dan benci yang tiada tara. Ya, contohnya, beberapa waktu terakhir ini. Ratih sudah berani memastikan Yusuf adalah pemuda baik dan karena itu ia jatuhkan pilihan kepadanya. Yusuf adalah tambatan hati dan akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Yang akan memberinya anak-anak yang cerdas dan saleh.
Yusuf dipilih Ratih karena dia adalah lelaki sejati. Lelaki idamannya. Lelaki yang berani berkorban, hormat kepada orang tua, cermat mengambil keputusan, sederhana dalam penampilan, dan simpel dalam urusan makan. Semua ini adalah faktor kunci yang menyebabkan Ratih menetapkan pilihannya kepada perantau dari Jakarta bernama Yusuf Kertanegara.
Hanya saja, cinta itu sekarang berubah jadi benci. Penantian demi penantian telah sampai pada batas toleransi. Tak ada pesan, tak ada telepon. Itu artinya, Ratih tidak dianggap. Ratih bukan istimewa di mata dan di hati Yusuf. Ratih hanyalah kawan biasa.
Kawan Ratih adalah pohon-pohon mangrove; prepat, api-api, dan bakau. Sahabat Ratih adalah punai yang lalu-lalang, berombongan saat senja tiba di Pantai Bahagia. Sahabat Ratih adalah pergam dan camar hitam yang gagah, tangkas, dan cekatan memangsa buruannya. Hiburan Ratih adalah bekantan si monyet Belanda, terutama yang jantan karena mancung hidungnya.
Hatinya yang selalu gundah, rindunya yang sulit dibedakan dengan resah. Semua sedikit terobati oleh sahabatnya bernama terumbu karang di perairan Muara Badak atau dikenal kawasan Pangempang. Ke sanalah Ratih melipur lara. Dia takut mengurung diri di rumahnya. Ia takut hilang akal. Andaikata keresahan itu ada tujuh level, Ratih kini berada di level ketujuh itu.
Di perairan inilah, Ratih melupakan Yusuf dengan menikmati terumbu karang di dasar laut. Baik snorkeling maupun diving. Terumbu karang adalah ekosistem bawah laut yang terdiri dari sekelompok binatang karang yang membentuk struktur kalisum karbonat, semacam batu kapur. Ekosistem ini menjadi habitat hidup berbagai satwa laut.
Terumbu karang bersama-sama hutan mangrove merupakan ekosistem penting yang menjadi gudang keanekaragaman hayati di laut. Dari sisi keanekaragaman hayati, terumbu karang disebut-sebut sebagai hutan tropis di lautan. Masalahnya, banyak mangrove yang telah berubah jadi tambak. Memang, ada upaya banyak pihak yang mencoba menyelamatkan pantai dari abrasi dengan menanam mangrove. Akan tetapi, di mata Abe, kawan Ratih di Pangempang, seharusnya di lapisan pertama bukankah bakau yang ditanam melainkan prepat dan api-api.
Keanekaragaman hayati itu adalah sumber kehidupan. Kehidupan makhluk laut juga kehidupan manusia. Keanekaragaman itu sesungguhnya juga adalah keindahan. Manakala keindahan itu rusak, hilanglah keanekaragaman itu dan hilang pula sumber kehidupan. Karena mangrove dan terumbu karang adalah ekosistem maka dia harus dirawat. Dijaga dan dilestarikan.
Ekosistem terumbu karang haruslah dijaga karena merupakan habitat hidup sejumlah spesies bintang laut, tempat pemijahan, peneluran, dan pembesaran anak-anak ikan. Di ekosistem ini banyak makanan bagi ikan-ikan kecil dan ikan-ikan kecil tersebut merupakan mangsa bagi predator yang lebih besar.
"Yang tidak perlu dijaga, kalau perlu dimusnahkan, adalah Bang Yusuf," gerutu Ratih dalam hati.
Ratih kesal dan kecewa kepada Bang Yusuf. Kekecewaan itu harus dibenamkan ke dasar lautan. Caranya? Lupakan bang Yusuf. Ingat saja yang membuat diri bahagia. Satu di antaranya adalah berkumpul dengan teman-temannya.
Smartphone di tangan Ratih telah menjadi penghubung pertemanannya terutama dengan kawan se-angkatan. Ratih pun mengontak mereka di grup.
"Kalian ingin mengulang kebahagiaan kita saat kuliah? Aku mengundang kalian untuk reuni di Pantai Bahagia, Pangempang, Kecamatan Muara Badak, tempat dulu kita pernah bersama. Aku bekerja di sini sekarang. Kutunggu kalian dengan rindu serindu-rindunya," tulis Ratih seraya menyebutkan tempat berkumpul dan waktunya.
Ratih memilih tanggal merah hari Sabtu. Bagi yang bisa menginap, telah disediakan tempat menginap yang lumayan. Bukan hotel bintang dua sebagaimana cita-citanya. Hotel bintang dua itu masih sekedar cita-cita. Ratih telah membangun fasilitas penginapan yang diberi nama Pondok Wisata Bahagia.
Undangan Ratih serta-merta disambut dengan suka cita. Semua menyarankan bermalam. "Anggap saja perkemahan Sabtu Minggu," komentar Ulis Harat. Komentar ini kemudian dikomentari lagi. Intinya semua setuju. Bahkan akan bawa makanan favorit masing-masing, kecuali kacang atom.
Sambil menunggu hari yang ditunggu-tunggu, Ratih luluh hatinya. Ia mencoba menghubungi Yusuf yang makin lama makin betah berdiam di benaknya. Telepon Yusuf offline. Sebagaimana biasa, Ratih pun kecewa tiada tara.
Reuni berlangsung dengan meriah. Apalagi Pantai Bahagia sudah jauh berubah. Ratih bersama Haji Acok menyambut langsung tamu-tamunya di gapura. Seperti sudah diduga, mereka berfoto satu per satu di bawah gapura yang unik dan instagramable. Setelah itu baru foto bersama. Tak puas di bawah gapura, kamera mereka menyasar taman indah, kedai makan yang cantik, serta berswafoto di beranda samping dengan latar belakang pemandangan laut Pangempang.
Usai bersantap siang, trip dilanjutkan menyusuri teluk Pangempang. Ratih menjelaskan jenis-jenis pohon mangrove yang memagari teluk tersebut. Ia juga menjelaskan bahwa di kawasan ini pengunjung bisa melihat monyet atau kera berhidung mancung sehingga dikenal pula sebagai monyet Belanda padahal namanya adalah Bekantan, hewan khas Kalimantan.
"Bekantan sangat mudah dilihat di hutan mangrove sepanjang teluk. Sayangnya, saat kunjungan ini bukan waktunya bekantan menampakkan diri. Bekantan gampang dilihat saat mencari makan pagi sekira pukul 9 dan makan sore pukul 16-17," kata Ratih.
Trip dengan perahu wisata yang didesain bercita wisata itu selanjutnya menuju Pantai Bahagia untuk melihat sunset dan bermalam di sana. Usai makan malam tidak ada acara khusus. Lebih banyak diisi "obrolan" bebas. Berkelompok-kelompok dan tertawa-tawa. Menertawakan kisah masa lalu, saat kuliah, terutama yang lucu-lucu dan tindakan aneh-aneh yang menghiasi saat mereka studi.
Ratih bersama mereka. Saat bernyanyi dia ikut-ikutan bernyanyi meski tidak sepenuh hati. Saat makan malam, ia ikut makan bersama, meski agak dipaksakan.
***
Entah karena kelelahan, usai reuni, Ratih jatuh sakit. Tak jelas sakitnya. Ayah dan ibunya menyarankan agar Ratih pergi ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya.
"Ini karena kecapekan saja, Bu," kata Ratih meyakinkan ibunya.
Akan tetapi, ibu mana yang tak mengkhawatirkan kesehatan anaknya bila terganggu? Ibu mana yang tidak peduli bila melihat anaknya malas makan sehingga badan yang berisi itu mulai susut? Ayah mana yang meskipun tidak ditampakkan tapi hatinya tersiksa jika melihat anaknya lebih senang mengurung diri di kamar dan selalu mengatakan, "Ratih masih kenyang, Yah." Padahal sedari pagi anaknya belum makan hingga menjelang malam?
Kedua orangtua Ratih paham benar kebiasaan dan karakter anaknya. Mereka tidak bisa memaksa apalagi memarahi jika dilihatnya Ratih tak bernafsu makan. Kalau ditegur, khawatir Ratih lebih merajuk.
Ayah dan ibunya ikut-ikutan sakit. Sakit perasaan, tapi tak berdaya dan tak tahu harus berbuat apa. Ibunya menyuruh ayahnya agar membujuk Ratih berobat ke dokter. Sebaliknya, ayahnya justru membujuk ibunya agar mengingatkan Ratih perlunya ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya.
Ayahnya takut, kurangnya asupan gizi membuat tubuh lemas. Saat tubuh lemas, penyakit lain mudah datang. Ayahnya kadang sampai larut dengan pikirannya. Ia tidak ingin Ratih sakit hingga membawa ajalnya padahal ikhtiar belum maksimal.
Sesungguhnya penyakit Ratih lebih berkaitan dengan kejiwaan yang tidak bisa disembuhkan dengan pil atau kapsul, baik dijual bebas maupun terbatas. Ratih tahu penyakitnya bersumber dari mana. Sumber penyakitnya adalah kekecewaan yang berubah menjadi kebencian pada Yusuf Kertanegara.
Pesan tak pernah dibaca apalagi dibalas. Telepon tidak pernah diangkat. Karena itu, percuma Ratih membeli telepon. Sejak tiga hari lalu, telepon itu ia off-kan. Dia simpan di lemari pakaiannya. "Biarlah untuk jadi kenang-kenangan saja bahwa aku pernah punya telepon," bisik Ratih dalam hati.
Ratih tidak selalu jujur meskipun dia adalah anak kebanggaan orang tuanya. Kecerdasan dan semangat juang Ratih telah membuahkan hasil. Gajinya sudah lebih dari cukup. Akan tetapi, itu tidak bisa mengobati resah dan gelisah jiwanya. Ratih tidak pernah menjelaskan sejujurnya yang sebenarnya terjadi.
"Percuma juga kujelaskan karena jangankan ayah dan ibuku, dokter spesialis penyakit dalam saja tak akan bisa menyembuhkan sakitku ini."
Hari keempat, Ratih masih menggantungkan harapan ada pesan masuk di teleponnya. Kerinduan dan kebencian yang tak jelas bedanya itu menggerakkan tangannya untuk meraih dan membuka kembali teleponnya. Saat itu tengah malam. Matanya belum juga bisa terpejam. Mata itu basah lagi. Bahunya berguncang. Ia menahan sekuat tenaga agar tangisnya tak membangunkan ibu dan ayahnya tercinta.
Pesan masuk di WhatsApp dari Yusuf. Isinya, "Maaf Ratih. Aku terlambat membalas pesanmu karena hampir sebulan ini aku bolak-balik rumah sakit. Ibuku sakit. Perlu istirahat. Perlu pendampingan. Padahal kesehatan ibu sangat penting untuk persiapan rencana pernikahanku. Mohon dimaafkan dan mohon dimaklumi."
Dunia terasa berguncang. Tubuh Ratih limbung. Tangisnya meledak. Ia ambruk. Ayah dan ibunya terbangun. Ratih dilarikan ke rumah sakit. Malam itu juga. (bersambung)