kaltimkece.id Pandemi Covid-19 disebut hanya berperan sebagai pemicu negatifnya pertumbuhan ekonomi Kaltim pada triwulan II 2020. Penyebab yang paling utama adalah provinsi ini sangat bergantung kepada sektor pertambangan batu bara. Nyaris seluruh sendi perekonomian di Kaltim, sadar atau tidak, digerakkan oleh kinerja industri emas hitam.
Demikian disimpulkan pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Samarinda, Hairul Anwar. Menurutnya, dominasi sektor pertambangan dan penggalian terhadap perekonomian Kaltim sudah berlangsung hampir dua dasawarsa terakhir. Dominasi tersebut menyebabkan fondasi ekonomi Bumi Etam rapuh. Ketika sektor ini terpukul, nyaris seluruh aktivitas perekonomian terkena dampaknya.
“Pandemi itu hanya trigger,” terang Codi, panggilan pendek Hairul Anwar, kepada kaltimkece.id, Kamis, 6 Agustus 2020.
Ia melandaskan argumen kepada andil sektor pertambangan dan penggalian terhadap pertumbuhan ekonomi Kaltim. Berdasarkan siaran Badan Pusat Statistik Kaltim, dari minus 5,46 persen pertumbuhan ekonomi pada triwulan ini, andil sektor pertambangan mencapai 3,32 persen. Jika dipersentasekan, sektor tersebut menyumbang 60,8 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Kaltim yang negatif tadi. Sedemikian besar andil itu disebut karena banyak sekali unit usaha di Kaltim yang terhubung dengan sektor pertambangan.
“Sehingga konsumsi masyarakat yang timbul dari sektor ini juga besar,” jelas Codi.
Fakta lain yang tidak boleh diabaikan, benar bahwasanya pertumbuhan ekonomi yang negatif melanda seluruh provinsi. Namun demikian, angka minus di Kaltim sangat dalam jika disandingkan dengan empat provinsi lain di Kalimantan. Sepanjang kuartal kedua ini, masih menurut BPS, pertumbuhan ekonomi Kalsel minus 2,61 persen, Kalteng minus 3,15 persen, Kalbar minus 3,40 persen, dan Kaltara minus 3,35 persen.
“Pada awalnya, saya memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Kaltim triwulan ini maksimal minus 4 persen. Ternyata lebih tinggi dari itu,” sambung alumnus Georgia State University, Amerika Serikat, tersebut.
Dari perbandingan pertumbuhan ekonomi regional Kalimantan, Codi menilai, Kaltim menjadi sangat terpukul karena fondasi ekonomi yang bergantung hanya kepada satu komoditas. Berbeda dengan provinsi lain yang masih memiliki penyangga ekonomi lokal.
“Kita terlalu nyaman dengan menggali dan menjual (batu bara) saja. Kaltim belum memiliki industri hilir dari sumber daya alam tersebut hingga sekarang. Padahal, kita sudah membicarakan transformasi ekonomi ini lebih dari 10 tahun lalu,” kritiknya.
Mengutip buku berjudul Derap Langkah Pembangunan Kaltim 2008-2018 yang diterbitkan Biro Humas dan Protokol Setprov Kaltim, ada lima tahapan transformasi ekonomi. Periode pertama adalah inisiasi lewat peletakan fondasi transformasi sosial ekonomi dengan penerapan konsep green economy melalui penyiapan infrastruktur dan iklim usaha. Pada tahap ini, sejumlah pembangunan infrastruktur dimulai. Jalan tol Balikpapan-Samarinda, Kawasan Ekonomi Khusus Maloy Batuta Trans Kalimantan, Bandara Samarinda Baru, Terminal Peti Kemas Palaran, Terminal Peti Kemas Kariangau, serta kawasan Buluminung. Infrastruktur itu merupakan bagian dari delapan klaster industri di Kaltim yang disiapkan terkoneksi seluruhnya.
Tahap kedua adalah pengembangan kapasitas. Delapan kawasan industri atau klaster disiapkan yaitu Kawasan Ekonomi Khusus Maloy Batuta Trans Kalimantan, Pelabuhan Internasional Maloy sebagai pengangkut CPO dan hasil industri lain, Kawasan Industri Pertanian di Paser dan Penajam Paser Utara, Kawasan Industri Kariangau di Balikpapan dan Buluminung PPU, Kawasan Industri Jasa dan Perdagangan di Samarinda, Kawasan Industri Pertanian di Kutai Kartanegara dan Kutai Barat, Kawasan Industri Petrokimia di Bontang, Kawasan Industri Pariwisata Derawan Kabupaten Berau, dan Kawasan Strategis Perbatasan di Kabupaten Mahakam Ulu.
Tahap ketiga adalah peningkatan nilai tambah dan penguatan rantai nilai. Strategi meliputi pembatasan produksi batu bara, peningkatan industri migas, pengembangan industri turunan sawit. Pengembangan tanaman pangan beserta industrinya, peningkatan sektor jasa dan perdagangan. Periode ini merupakan periode peningkatan nilai tambah melalui penguatan rantai nilai produksi (hulu-hilir) lewat turunan produk-produk mentah.
Sementara tahap keempat dan kelima adalah strategi jangka panjang pada 2020 hingga 2050. Kedua tahapan tersebut terdiri dari pengembangan klaster industri ramah lingkungan dan inovasi.
Pemerintah Harus Turun Tangan
Pada Rabu, 5 Agustus 2020, BPS merilis siaran berisi pertumbuhan ekonomi Kaltim pada triwulan II 2020 minus 5,46 persen dibanding triwulan II 2019 (year on year). Sementara bila dibandingkan triwulan I 2020 (Januari-Maret), ekonomi Kaltim tumbuh di angka minus 6,53 persen (quarter to quarter). Sektor pertambangan dan penggalian memberikan kontribusi terbesar kepada pertumbuhan ekonomi yang minus ini. Dalam struktur produk domestik regional bruto (PDRB) Kaltim, sektor tersebut menyumbang 42,94 persen. Pada triwulan I 2020, PDRB dari sektor ini sebesar Rp 72,4 triliun menurut harga berlaku. Sementara pada triwulan II 2020, PDRB dari pertambangan dan galian hanya Rp 64 triliun atau melorot 6,31 persen.
Kelesuan di sektor pertambangan disebabkan harga komoditas terus menurun baik secara triwulanan maupun tahunan. Permintaan dari negara tujuan ekspor juga mengalami perlambatan seperti karena lockdown di India dan kebijakan Tiongkok melindungi dan mendukung pertambangan domestik.Nilai ekspor Kaltim dari hasil tambang batu bara, masih menurut BPS, turun 20,48 persen pada kuartal ini. Beberapa perusahaan pertambangan juga disebut mulai menghentikan kegiatan operasional akibat pandemi Covid-19.
Pertumbuhan ekonomi Kaltim yang terkoreksi begitu dalam pada triwulan ini disebut harus betul-betul diperhatikan pemerintah. Salah satu ancaman terbesar, kata Codi, adalah pemutusan hubungan kerja besar-besaran dari sektor pertambangan dan unit usaha ikutan. Bagaimanapun, pekerja dari sektor tersebut menyumbang konsumsi yang besar dalam perekonomian Kaltim.
“Ketika konsumsi turun, produk bisa turun. Sederhananya begini, jika PHK terjadi, daya beli eks karyawan dan usaha ikutan dari sektor pertambangan akan menurun. Sektor swasta seperti UMKM (usaha mikro, kecil, menengah) akhirnya menurunkan produksinya karena pembeli berkurang,” jelas Codi.
Kondisi ini sebenarnya sudah mulai nampak ketika swasta berskala besar mulai menerapkan strategi pemasaran seperti UMKM. Sejumlah restoran waralaba, sebut Codi, mulai berjualan di tepi-tepi jalan selayaknya usaha kecil. Gambaran tersebut menandakan konsumsi masyarakat yang berkurang, baik disebabkan pembatasan saat pandemi, maupun daya beli yang melemah.
Sesuai teori ekonomi makro, Y=C+I+G, perekonomian suatu wilayah (Y) dibentuk dari penjumlahan konsumsi (C), investasi (I), dan belanja pemerintah (G). Kaltim saat ini menghadapi ancaman konsumsi yang melemah. Investasi juga sukar diharapkan pada masa sekarang. Satu-satunya variabel yang bisa menyelamatkan pendapatan agregat (Y) tadi ialah belanja pemerintah (G).
“Dalam jangka pendek, alokasi dana pemerintah kepada aktivitas ekonomi riil sangat diperlukan. Sesuai SKB (surat keputusan bersama) menteri, realokasi anggaran ini sudah diatur. Sisanya adalah memastikan pendataan yang benar supaya dana tersebut tepat sasaran dan ekonomi riil bergerak,” sambungnya. Penyaluran belanja pemerintah inilah yang diharapkan mendongkrak konsumsi masyarakat agar tidak tenggelam semakin dalam. (*)