kaltimkece.id Pukul sembilan pagi. Hujan mengguyur kampung nelayan di Kelurahan Jenebora, Kecamatan Penajam Paser Utara. Permukiman itu berdiri di Teluk Balikpapan. Perlu sekitar setengah jam untuk sampai di kampung tersebut menggunakan speedboat dari Pelabuhan Kelotok, Kampung Baru Tengah, Balikpapan. Biayanya Rp 30 ribu.
Penduduk Jenebora sebagian besar mendirikan rumah di atas air. Sementara Abdul Kadir, 51 tahun, adalah sedikit warga di kelurahan itu yang tinggal di daratan. Ahad, 29 Januari 2023, Kadir sedang duduk bersila di ruang tamu rumahnya yang berdinding beton. Ia seorang diri menanti hujan reda.
Kadir sedang dihadapkan dengan dua pilihan; tetap pergi mencari ikan saat hujan atau tetap di rumah. Apabila pilihan kedua yang diambil, otomatis tidak ada pemasukan. Padahal hari itu adalah musim hari kesembilan munculnya bulan. Air laut sedang berpindah dari nyorong—naiknya permukaan air laut—ke konda atau air laut tidak pasang juga tidak surut.
Arus yang tidak kencang pada waktu-waktu seperti ini disukai ikan. Tapi apa daya, hujan sejak dini hari masih belum reda. Sudah sepekan terakhir cuacanya seperti itu. “Semoga tidak lama nanti hujan reda, biar bisa cari ikan,” gumamnya.
Kadir adalah seorang nelayan berbadan tambun. Ia sering dipanggil Abang, Abah, atau Kadir Jenggot Panjang oleh tetangganya. Kadir dikenal lihai menangkap kepiting payau sejak kelas empat SD. Ia sudah menjelajahi hulu hingga hilir Teluk Balikpapan.
Suara rintik air hujan yang jatuh di atas atap rumah Kadir terdengar mengecil. Semilir angin yang dingin berembus kencang melalui sela-sela jendela. Kadir menyeruput teh yang dibuat istrinya ketika ketukan di pintu terdengar.
Seseorang yang datang itu melepas sandal, masuk, dan duduk di sisi samping Kadir. Namanya Haji Naib, sepupu tuan rumah. Pria berkulit sawo matang itu mengenakan celana pendek di atas lutut, baju kuning polos, dan peci merah putih.
“Tanah orang tuamu mau digunakan untuk jalan menuju IKN (Ibu Kota Negara Nusantara),” kata Haji Naib membuka obrolan.
Kadir tak kaget mendengarnya. Apabila dipakai buat kepentingan masyarakat, ia tidak masalah. Kadir hanya memutuskan untuk memeriksanya terlebih dahulu. Di tengah obrolan itu, Kadir mengambil gawai pintarnya. Ia memeriksa aplikasi perkiraan cuaca. Hujan sepertinya awet. Namun, ia sedikit gembira melihat keterangan di layar teleponnya. “Kekuatan anginnya cuman 1 knot,” serunya.
Kekuatan angin sama 1 mil laut per jam itu terhitung rendah. “Kalau segitu, masih bisa melaut walau hujan. Kekuatan anginnya rendah. Kalau di atas 30 knot, baru tidak bisa (melaut),” ucapnya kepada Haji Naib.
Gerimis belum reda tatkala Kadir sudah di atas kapal dengan dua mesin berkapasitas 48 paardekracht (PK). Ia bersiap pergi ke laut setelah sepupunya tadi pulang. Kadir menggerakkan kemudi menghindari sela-sela rumah. Kapal itu menjauh dari permukiman menuju hilir Teluk Balikpapan. Kadir sesekali berpapasan dengan kapal yang ke hulu. Ada juga tongkang kosong yang sedang buang jangkar. Di sisi kanan, mangrove terlihat hijau dan rimbun.
Kadir menyusuri sisi kiri teluk yang dekat dengan kawasan industri. Ia melintasi area perusahaan yang mengoperasikan dermaga terminal batu bara. Di sebelahnya, berdiri perusahaan pengolahan minyak sawit. Setelah 10 menit berlayar, Kadir tiba di perairan tempat mencari ikan.
Di tempat itu, sepuluh kapal nelayan sedang mencari udang dan ikan. Hujan masih setia menemani. Mereka pun berbincang di atas kapal yang terombang-ambing ombak.
“Tadi ada dua tongkang di sini. Kami sempat tidak bisa menangkap ikan,” tutur Hairuddin, 67 tahun, kepada Kadir. Menurut lelaki kelahiran Jenebora itu, para nelayan sedari pukul enam pagi sudah siap mencari udang dan ikan. Mereka pun meminta tongkang tadi bergeser. Baru pukul delapan, nelayan bisa lempar rengge.
“Dua jam terbuang sia-sia,” keluh Hairuddin. Solar 5 liter yang dipakai untuk melaut tidak sebanding dengan tangkapan. Hairudin hanya mendapatkan 1,2 kilogram udang. Jika dijual, ia tak akan dapat uang lebih dari Rp 63.000.
“Kalau mereka (tongkang) ‘kan bisa aja geser ke mana. Kalau kita, enggak bisa geser. Di sini tempatnya udang. Di sini (dasar laut) pasir, enggak ada karang,” sambungnya.
Baharidin adalah nelayan berikutnya. Hasil tangkapan pria bertubuh gempal itu lebih sedikit. Tak sampai 1 kilogram udang dan beberapa ikan di perahunya. Ia menunjuk tongkang yang tadi diusir nelayan.
“Orang yang bawa tongkang itu sedikit ngeyel. Padahal, saya bicara baik- baik,” ungkapnya. “Kita bilang, kalau bisa ke pinggir sebentar. Nelayan ini mau pasang rengge,” sambungnya.
Hairuddin dan Baharidin telah mencari ikan sejak berusia 15 tahun. Orang tua dan kakek mereka sebelumnya juga nelayan. Mereka turun-temurun mencari udang dan ikan di perairan yang dikenal dengan nama Pulau Pisang. Sekarang, daerah itu disebut BCT karena menjadi terminal batu bara. Banyak kapal lalu-lalang di sana. Tongkang adalah yang paling menjengkelkan nelayan.
Kian banyak tongkang di Teluk Balikpapan dibenarkan peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Dedi Adhuri. Menurutnya, ada masalah serius yang dihadapi nelayan setempat.
Sepanjang 2021-2022, Dedi bolak-balik dari Jakarta ke Teluk Balikpapan. Ia meneliti masyarakat Teluk Balikpapan yang mengelola sumber daya alam. “Kami melihat komunitas yang mengeksploitasi sumber daya pesisir, dalam konteks ini Teluk Balikpapan. Kami juga melihat pemanfaatan dan pengelolaan teluk secara keseluruhan,” kata Dedi.
Ada empat desa yang menjadi lokasi penelitian Dedi yaitu Pemaluan, Mentawir, Bumi Harapan, dan Jenebora. Semuanya di PPU. Khusus Jenebora, Dedi menemukan bahwa nelayan di Jenebora masih mengembangkan sistem tangkap ikan tradisional. Ada rengge, rakkang, bubu segi, dan belat.
Area tangkap bagi nelayan Jenebora tidak hanya di sekitar perkampungan melainkan di sepanjang Teluk Balikpapan. Masyarakat terbiasa mencari ikan sesuai musim. Pengetahuan ini diperoleh turun-temurun.
Di sinilah masalah muncul. Area yang menjadi wilayah tangkap ikan dan udang nelayan telah berubah menjadi kawasan industri. Di seberang Kelurahan Jenebora, berdiri PLTU batu bara, dermaga, terminal bongkar muat batu bara, hingga pengolahan minyak sawit. Padahal, menurut Dedi, nelayan memasang belat di dekat perusahaan-perusahaan tersebut. Alat tangkap ikan itu merupakan milik komunitas Jenebora.
“Menurut pengakuan mereka, sebenarnya pantai dan daratan itu adalah lahan-lahan mereka. Nah, ini masalahnya,” terang Dedi.
Masalah pertama, penguasaan atas air tidak diakui pemerintah secara de facto. Padahal, menurut peraturan perundangan, masyarakat memungkinkan untuk mengklaim perairan. Ada klausul dalam Undang-Undang 1/2014 tentang Perubahan UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Aturan tersebut mengamanatkan untuk menghargai sistem tradisi hukum adat.
“Sebenarnya, ini bagian dari hukum adat lokal. Termasuk lokasi nelayan menanam belat. Tetapi tidak diakui meskipun sekarang sebagian lahan-lahan itu dibebaskan untuk keperluan perusahaan besar,” terang Dedi. Memang, nelayan menerima ganti rugi dari belat. Akan tetapi, menurut Dedi, ganti rugi itu tidak menghitung potensi pendapatan dari pemanfaatan belat.
Nun jauh di tengah Teluk Balikpapan, azan zuhur berkumandang. Hujan reda menjadi gerimis. Kadir bergegas pulang. Ia tiba di Kelurahan Jenebora yang dihuni 3.567 jiwa. Selain nelayan, para penduduk bekerja sebagai petani maupun karyawan di perkebunan. Mayoritas penduduk Jenebora bersuku Bajau dan Dayak Pesisir.
Kadir tiba di rumah. Ia mengambil air wudu dan menunaikan salat. Selesai beribadah, Kadir berbaring di ruang tamu. Cuaca di luar masih hujan. Nelayan itu pun terlelap dalam pelukan mimpi. (bersambung)
Artikel selanjutnya dari serial Nestapa Nelayan Teluk Balikpapan (Bagian-2): Ancaman Terusir Kebijakan