kaltimkece.id Kumandang azan asar memanggil Kadir dari tidurnya. Lelaki berusia 51 tahun itu bergegas ke masjid. Selepas menunaikan salat berjamaah, ia kembali ke rumah dengan senyum semringah. Hujan yang setia sejak pagi sudah pergi. Langit di Kelurahan Jenebora cerah kembali.
Kadir tiba di rumah dan tergesa-gesa menyiapkan bekal. Nasi dan tiga ekor ikan nila goreng ia taruh di kotak makan. Tak lupa senter dan pakaian ganti dimasukkan ke ransel hitam. Sore itu, Kadir sudah siap melaut.
Kadir menuju dermaga dan tiba pukul 16.00 Wita. Kapal miliknya telah menanti. Panjangnya 11,7 meter dengan lebar 1,8 meter. Kapal tersebut mampu mengangkat dua rengge dengan panjang 500 meter. Sebuah rengge memiliki lubang berdiameter 1-2 sentimeter, satunya lagi 4-5 sentimeter. Ia bisa menangkap ikan besar dan ikan kecil.
Setelah memasukkan enam bungkus es batu di boks ikan, Kadir menuangkan 20 liter solar ke mesin. Ia melepas pengikat kapal dan segera menuju hilir Teluk Balikpapan. Laut lepas di Selat Makasar sudah menantinya.
Sore itu, Kadir benar-benar berharap hasil tangkapannya melimpah. Ia sudah tidak melaut selama beberapa hari karena cuaca dan biaya. Jika tidak dengan pertimbangan yang matang, modal yang dikeluarkan tidaklah murah. Untuk sekali melaut, ia harus mengeluarkan Rp 220 ribu untuk 20 liter solar ditambah Rp 12 ribu untuk es batu.
Kapal Kadir terus memecah ombak-ombak kecil di Teluk Balikpapan. Perkampungan Jenebora makin mengecil di belakang. Sepanjang keluar dari teluk, ia berpapasan dengan 10 tongkang batu bara. Matahari di sisi kanan mengantarkan kepergiannya.
Sebuah rig pengeboran minyak menjadi penanda bahwa Kadir sudah di Selat Makassar. Setelah dua jam perjalanan, Kadir sampai di perairan yang dituju. Sudah ada seorang nelayan di sana yang mencari ikan.
“Dul niakge doing ne dabuhi?” Kadir bertanya dalam bahasa Bajau yang berarti, “Apakah ada ikan semalam?”
“Niak, du ding ne lumutan je penambe,”jawab nelayan tersebut. Ikannya ada, kata dia, namun jaringnya berlumut.
Kadir tidak langsung buang jangkar. Ia berdiri di haluan untuk memeriksa batu atau terumbu karang. Ia tidak mau jangkar maupun jaringnya merusak terumbu karang. Hari mulai gelap. Kadir melempar rengge sepanjang 500 meter. Satu jam lamanya ia memasang jaring. Kadir kembali ke kapal untuk memasang terpal. Setelah semua beres, ia menunaikan salat magrib di atas kapal.
Rembulan kurang separuh menampakkan diri dengan malu-malu di langit yang mendung. Angin tidak begitu kencang. Kadir menyantap makan malam dari bekalnya tadi. Ia kemudian duduk di haluan sembari menikmati kedipan bintang dan kelap-kelip Kota Balikpapan. Ombak sesekali menghantam kapalnya. Pukul sembilan malam, Kadir memutuskan tidur. Renggenya baru diangkat tengah malam nanti.
Keteduhan di Selat Makassar sirna tiba-tiba. Bintang dan bulan tidak lagi terlihat berganti hujan dan angin kencang datang. Kadir terbangun. Ia mengencangkan terpal agar tak banyak air yang masuk ke kapal. Rengge ditariknya di antara gelegar suara petir. Rupanya, hanya dua ikan yang tersangkut, ikan kumai dan talang. Kadir menyalakan mesin dan pergi dari sana.
“Padahal, pada 1990-an, banyak ikan di sini. Saya pernah dapat ikan trakulu sampai 100 kilogram,” tuturnya kepada kaltimkece.id yang menemaninya melaut malam itu. Harga ikan trakulu waktu itu Rp 6 ribu per kilogram.
“Sekarang susah. Banyak industri di sini. Belum lagi ada pukat harimau,” keluhnya.
Terusir Kebijakan
Kadir adalah satu dari antara ratusan nelayan yang kini sukar mencari ikan di Teluk Balikpapan. Peneliti dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Dedi Adhuri, menilai bahwa keadaan itu disebabkan marjinalisasi.
Nelayan di Teluk Balikpapan sebenarnya berhak dilindungi berdasarkan Undang-Undang 1/2014 tentang Perubahan UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil. Ada pula UU 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
“Masalahnya, wilayah di Teluk Balikpapan dipakai sektor-sektor lain yang juga memiliki dasar aturan berdasarkan undang-undang yang lain,” ulas Dedi. Undang-undang yang mengatur sektor industri di perairan itu disebut lebih mendapatkan perlindungan dan dukungan pemerintah. Berbanding terbalik perlakuannya dengan undang-undang yang melindungi nelayan dan komunitas pesisir.
“Jadi, mereka (nelayan) dikalahkan. Nah, itu yang saya sebut marjinalisasi,” jelas Dedi.
Berdasarkan penelitiannya di Teluk Balikpapan, Dedi memetakan area tangkap nelayan. Sebagian besar nelayan di Teluk Balikpapan memiliki ciri khas tangkapan dan alat tangkap. Nelayan di Jenebora, sebagai contoh, tidak bisa dipindahkan ke area tertentu untuk mencari ikan.
“Makanya, mereka berhak dilindungi pemerintah dalam mengakses wilayah-wilayah itu,” tekan Dedi.
Keberpihakan pemerintah terhadap nelayan di Teluk Balikpapan makin dipertanyakan. Dedi menjelaskan, pemerintah mengesahkan UU 3/2022 tentang Ibu Kota Negara dan UU 11/2022 tentang Cipta Kerja. Kedua beleid tersebut mengisyaratkan penyesuaian rencana tata ruang di teluk tersebut.
Area Teluk Balikpapan ternyata diperuntukkan untuk pelabuhan. Peruntukan tata ruang tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah Kaltim 2/2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kalimantan Timur 2021-2041. Menurut perda itu, permukiman dilarang di 500 meter dari area Teluk Balikpapan.
“Itu yang merah adalah kawasan yang dialokasikan di RZWP3K untuk industri dan pelabuhan. Kalau kita lihat di sini, tidak ada kawasan nelayan sama sekali. Jadi, nelayan harus keluar dari sini,” kata Dedi seraya menunjuk lampiran perda.
Menurutnya, hal itu merupakan pelanggaran terhadap UU perlindungan nelayan maupun UU yang mengatur pulau kecil. “Karena de facto-nya, wilayah itu area nelayan. Bahkan nelayan tradisional dengan konsep kepemilikan dengan belat tadi. Ini sebenarnya pelanggaran,” tegasnya.
Dari temuan-temuan tersebut, Dedi menghasilkan penelitian berjudul Coastal Community and Small-Scale Fisheries Multiple Marginalization: A case from Balikpapan Bay, Eastern Kalimantan, Indonesia.
Pembahasan Perda RTRW Kaltim
Kepada kaltimkece.id, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, Mappaselle, menyayangkan penyerobotan ruang hidup nelayan di Teluk Balikpapan. Ada hak-hak masyarakat yang dilanggar. Pemerintah diminta lebih memikirkan nasib nelayan. Ia mengklaim, desakan itu sudah disampaikan baik lisan maupun tertulis kepada pemerintah pada 2018.
“Kami sampaikan dalam penyusunan perda (RZWP3K) dan kepada Pansus RTRW,” kata Mappaselle.
Mappaselle mengatakan, peluang perubahan untuk memasukkan zona tangkap ikan dan pemukiman nelayan terbuka lebar. Saat ini RTRW Kaltim sedang direvisi untuk diintegrasikan dengan Perda Kaltim 2/2021 tentang RZWP3K 2021-2041. Apabila revisi RTRW tersebut berpihak kepada masyarakat pesisir, kepentingan wilayah tangkap dan permukiman akan tercermin dalam dokumen resmi tata ruang.
“Informasinya, masih menunggu persetujuan substansi dari (Kementerian) ATR,” terangnya.
Terpisah, Ketua Pansus Rancangan Perda RTRW Kaltim dari DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu, menyampaikan penjelasan. Politikus PAN itu menegaskan, pemerintah kabupaten belum mengusulkan kampung nelayan di Teluk Balikpapan dalam pembahasan perda. Padahal, menurutnya, pansus terbuka lebar untuk menerima masukan masyarakat.
“Prosesnya saat ini masih kementerian. Kami membuka pintu lebar-lebar untuk masukan dari nelayan,” kata Demmu seraya melanjutkan, “Sebaiknya secara tertulis.”
Dari pihak eksekutif, Sekretaris Provinsi Kaltim, Sri Wahyuni, memberi masukan bagi masalah yang dihadapi nelayan Teluk Balikpapan. Ia menyarankan agar masalah tersebut dibahas teknis dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kaltim. Menurutnya, Perda RZWP3K telah memetakan peruntukan zonasi.
“Pemetaan itu ada pertimbangan-pertimbangannya. Bisa ditanyakan kepada dinas perikanan,” jelasnya.
Gemuruh petir dan hujan di Selat Makassar masih bersahut-sahutan. Malam sudah makin larut. Kadir yang seharusnya bisa tiga kali menebar rengge akhirnya menyerah. Ia tidak kebagian rezeki pada bulan di hari kesembilan yang seharusnya berlimpah dengan ikan. Hanya dua ekor yang ia dapat. Itu pun tak cukup untuk dimakan bersama keluarga.
Kapal Kadir memasuki perkampungan Janebora. Sudah pukul tiga dini hari ketika tubuhnya yang basah kuyup tiba di dermaga. Setelah mengganti pakaian, ia berbaring di atas kapalnya. Di luar masih hujan. Kadir pun kembali terlelap bersama dua ekor ikan yang ditangkapnya. (*)
Baca artikel sebelum dari serial ini: Nestapa Nelayan Teluk Balikpapan (Bagian-1): Mengusir Tongkang