kaltimkece.id Sekretaris Lurah Sempaja Timur, Rudiansyah, termenung melihat genangan air yang membentang di hadapannya, di Perumahan Bengkuring Raya, Samarinda Utara. Bertanggung jawab dalam memimpin evakuasi warga bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), ia mengeluhkan banjir di Bengkuring yang tak kunjung surut.
"Hingga saat ini, ada 2.952 warga dari 23 RT yang terdampak," ucap Rudiansyah ketika ditemui kaltimkece.id, Rabu, 29 Januari 2025. Ia menyebutkan angka tersebut dengan presisi. Baginya, deretan angka bukan sekadar statistik, namun sejumlah nyawa yang berharga.
Tak hanya membuat rumah warga tergenang kesulitan beraktivitas, banjir disebut menyebabkan pemadaman listrik oleh PLN. Sebab, ketinggian air yang makin mendekati instalasi setrum rawan tersengat arus listrik apabila PLN tidak memadamkannya.
Berkoordinasi dengan para ketua RT, Rudiansyah menyebutkan telah mengevakuasi warga yang rumahnya tergenang menggunakan perahu karet. Ia mensyukuri keberadaan BPBD bersama relawan yang aktif membantu warganya. Termasuk menginisiasi pembuatan dapur umum.
"Semoga banjir ini cepat surut saja, supaya bisa beraktivitas lagi," ucapnya lirih.
Sebagai informasi, bertepatan dengan libur panjang Imlek dan Isra Mikraj yang waktunya berdekatan, Samarinda dilanda curah hujan yang cukup tinggi. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Temindung, pada dasarian tiga, yaitu 21 hingga 31 Januari 2025, curah hujan tergolong intensitas menengah yang mencapai 50-150 milimeter di Kota Tepian.
Curah hujan menengah ini pada dasarnya terjadi di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Merujuk situs BMKG pusat, pada periode 25-30 Januari 2025, hujan dengan intensitas yang bervariasi terjadi di pelbagai daerah.
Puncak intensitas hujan adalah pada Minggu, 26 Januari 2025. Saat itu langit Samarinda diguyur hujan sejak pagi hingga malam. Air pun meluap.
Keesokan harinya, Bendungan Lempake dilaporkan tak kuat menampung curah hujan. Berdasarkan surat bernomor SA 0403-Bws10/ yang diedarkan Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan IV Samarinda, pintu air mau tak mau dibuka ke arah hilir untuk mencegah jebolnya bendungan. Dibukanya pintu air berdampak ke beberapa wilayah.
Masih berdasarkan surat yang sama, BWS Kalimantan IV telah memperingatkan potensi genangan di Perumahan Bengkuring, Jalan Pemuda, Jalan Dr Soetomo, Jalan S Parman, Jalan Cendrawasih, Jalan Gelatik, dan kampus Universitas Mulawarman. Perumahan Bengkuring menjadi lokasi yang mengalami kondisi paling parah dibandingkan lokasi lainnya.
Berdasarkan pantauan kaltimkece.id, banjir setinggi lutut orang dewasa telah menggenangi kawasan tersebut hingga Kamis, 30 Januari 2025. Berbeda dengan daerah lainnya, kawasan itu tak kunjung menunjukkan tanda-tanda surut.
Sementara itu, BMKG Temindung memperkirakan, curah hujan dengan intensitas ringan serta berawan masih melanda kota sampai 2 Februari, bersamaan dengan kondisi pasang air masih relatif tinggi.
"Masalahnya curah hujan kali ini bertepatan dengan pasang air laut," ucap Fajar Alam, ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Kaltim, ditemui di salah satu kedai kopi di Jalan Ir Juanda.
Merujuk situs Pasanglaut.com, koefisien pasang surut air laut memang terlihat meningkat. Dari yang awalnya sedang dengan koefisien 69 pada Senin, 27 Januari 2025, meningkat secara drastis menjadi 80 keesokan harinya. Kemudian meningkat lagi menjadi 89 pada Rabu, 29 Januari 2025.
Fajar kemudian menerangkan, beberapa kawasan di Samarinda merupakan daerah rawa. Alih fungsi lahan menjadi hunian yang makin meningkat dari tahun ke tahun menyebabkan daerah rawa yang menjadi tempat menampung air perlahan-lahan menghilang.
"Ini warisan dari pemerintah bertahun-tahun lalu, yang memberikan izin hunian tanpa memperhitungkan akibat di kemudian hari," ucap pengajar Universitas Muhammadiyah Kaltim itu.
Masalah bertambah ketika hunian-hunian tersebut tidak memenuhi syarat luasan ruang terbuka hijau yang telah ditentukan di awal. Apalagi ketika seorang pemilik rumah melakukan sejumlah renovasi di kemudian hari.
"Misal, awalnya memiliki pekarangan atau halaman belakang, kemudian diubah jadi dapur atau lahan parkir. Lah, air pun makin kesulitan mencari tempat untuk meresap," sebutnya.
Fajar menambahkan, kondisi tanah dan batuan di Samarinda yang secara alamiah didominasi batuan lempung sejatinya sudah menyulitkan penyerapan air. Tak pelak, banjir dalam 20-30 tahun terakhir pun terus berulang.
"Kondisinya agak berbeda dengan Balikpapan yang tanahnya didominasi pasir yang memiliki pori-pori yang lebih renggang sehingga air lebih dapat meresap. Banjir di Balikpapan lebih dapat ditangani dibandingkan Samarinda," ujarnya.
Bendungan Benanga yang dibangun Pemkot Samarinda sejak 1977 sebenarnya cukup berperan menjadi tempat penampung hujan sejak meningkatnya hunian di daerah rawa. Sayangnya, beber Fajar, maraknya izin usaha pertambangan yang diterbitkan kepala daerah sejak era reformasi menambah air yang mesti ditampung Bendungan Benanga melebihi kapasitas. Apalagi, ketika curah hujan tinggi seperti saat ini.
Lagi pula, metode penambangan sekarang berbeda dengan zaman Belanda yaitu secara bawah tanah (underground mining), seperti di tambang batu bara Ombilin. Pada abad 21 ini, aktivitas penambangan dibangun dengan konsep tambang terbuka dengan mengeruk tanah lapisan atas. Praktis, lapisan-lapisan tanah yang seharusnya menahan dan menyerap air pun menghilang.
"Sehingga ketika hujan, air akan lewat begitu saja dan menggenangi kawasan yang dialirinya," jelas Fajar.
Memori Buruk Banjir Besar
Sekira enam tahun lalu, Samarinda mengalami banjir besar hampir dua pekan. Saat itu, curah hujan tinggi bertemu dengan pasang air laut. Situasi itu serupa dengan saat ini. Apakah sejarah akan kembali terulang?
Fajar Alam menyebutkan, sejak beberapa tahun terakhir Pemkot Samarinda berupaya mengantisipasi dengan pengerukan Sungai Karang Mumus sebagai anak Sungai Mahakam. Pembangunan drainase, lanjut Fajar, juga merupakan langkah terukur yang bisa dilakukan pada saat ini.
"Masalahnya memang sudah terlanjur kompleks, tapi pelan-pelan dapat diurai," ucapnya.
Pendapat serupa diajukan Farid Nurrahman, direktur Pusat Studi Perkotaan Planosentris Nusantara. Ia menyebutkan, sejauh ini drainase yang dibangun Pemkot Samarinda sudah tepat. Yang penting adalah membangun konektivitas antar-drainase di tiap kawasan.
"Tinggal kemudian ditentukan ke mana titik-titik pembuangan air dari drainase," sebut Farid.
Meski masih banjir, ia menyoroti waktu surut banjir yang relatif lebih cepat dari biasanya. Farid mencontohkan beberapa daerah langganan banjir, kini bisa surut dalam hitungan jam. Pantauan di lokasi, kaltimkece.id membenarkan pernyataan Farid. Perempatan Mal Lembuswana yang mengalami banjir pada Selasa malam, 28 Januari 2025, sudah surut pada siang keesokan harinya. Begitu pula simpang Wahid Hasyim II yang mengalami banjir setinggi 20 hingga 30 sentimeter pada Rabu pagi, sudah surut dan kering pada sore hari.
Walaupun begitu, Farid menyoroti penanganan banjir di Samarinda yang masih terfokus di kawasan Sungai Karang Mumus. Berdasarkan penelusurannya, terdapat sejumlah anak Sungai Mahakam lain yang cenderung terabaikan.
"Terutama memang anak sungai di kawasan Samarinda Utara," sebut peraih master of science (MSc) di Universitas Greenwich, Inggris, tersebut.
Pengajar planologi di Institut Teknologi Kalimantan itu menambahkan, penurapan di Sungai Karang Mumus tak serta-merta cocok di anak sungai yang lain. Proses naturalisasi dengan membiarkan vegetasi di kawasan pinggir sungai sebutnya, lebih tepat untuk anak sungai di kawasan Samarinda Utara.
"Kalau di Karang Mumus normalisasi dengan turap di pinggir sungai itu, 'kan, juga berfungsi sebagai pembatasan pembangunan," ucapnya.
Lebih jauh, Farid menilai, peran Waduk Benanga mesti dievaluasi. Bendungan tersebut berulang kali tak sanggup menampung air kala curah hujan tinggi. Penambahan daya tampung agar tumpahan air tak mesti menimbulkan genangan air di permukiman, sebutnya, mesti diperhitungkan.
"Yang jelas ini memang merupakan sebuah proses yang memang agak susah untuk dihindari," tandasnya.
Antisipasi Pemerintah
Pemkot Samarinda telah mengadakan rapat forum koordinasi pimpinan daerah (Forkopimda) bersama BPBD dan berbagai instansi lain pada Rabu sore, 29 Januari 2025. Ditemui usai rapat, Asisten II Pemkot Samarinda Marnabas Patiroy menyebutkan sedang mempertimbangkan usulan kenaikan status kebencanaan yang diajukan pada saat rapat.
"Jadi dari status siaga menjadi tanggap darurat," ucapnya.
Perbedaan status tersebut, lanjut dia, ada di pengelolaannya. Jika status siaga Pemkot Samarinda hanya mengandalkan anggaran yang ada, status tanggap darurat memungkinkan penerimaan bantuan dan pemanfaatan anggaran dari saluran lain.
"Termasuk anggaran alokasi dari BTT (belanja tidak terduga)," sebutnya.
Baca juga: Wali Kota Samarinda Sebut Bukaan Lahan Cukup Luas yang Diduga Ilegal
Situasi warga di Perumahan Bengkuring yang tak dapat beraktivitas seperti biasa, sebutnya, sudah merupakan indikator yang cukup untuk menaikkan status kebencanaan. Meskipun begitu, ia menilai situasi tahun ini lebih baik dibandingkan tahun-tahun yang lalu.
"Dulu banjir di Bengkuring bisa sampai seleher," ucap pria yang pernah menjabat sebagai camat Bengkuring tersebut. Normalisasi sungai hingga proyek drainase Pemkot Samarinda dinilai ampuh mengurangi jumlah genangan.
Ia juga mengamini informasi yang menyebutkan bahwa banjir kali ini turut diakibatkan oleh pasang air laut. Perumahan Bengkuring yang berdekatan dengan bendungan, ia nilai menjadi tempat pertemuan pasang air dan meluapnya Waduk Benanga.
"Kalau tidak pasang air mungkin tidak banjir," klaimnya. "Hasil rapat tadi kondisi (potensi bencana) memang akan memuncak, tetapi kita berharap cuaca akan bersahabat," harapnya. (*)