kaltimkece.id Jatuhnya korban ke-34 di kolam bekas galian tambang pada Rabu, 29 Mei 2019, belum menghadirkan ketegasan dari Pemprov Kaltim. Hanya ucapan belasungkawa terurai. Belum ada langkah konkret untuk mencegah kejadian ini berulang.
kaltimkece.id menemui dua petinggi provinsi, dua hari selepas meninggalnya korban ke-34 bernama Natasya Aprilia Dewi, 11 tahun. Pada Jumat, 31 Mei 2019, Gubernur Kaltim Isran Noor menyampaikan duka citanya atas peristiwa tersebut.
"Innalillahi wa innailaihi rajiun. Semoga ditabahkan keluarganya, diberikan kesabaran pula bagi keluarganya,” kata Isran ketika ditemui di Kantor Gubernur Kaltim. Isran melanjutkan kalimatnya dengan meminta para orangtua untuk sadar dan memerhatikan anak-anak. Gubernur menyarankan agar anak-anak dijauhkan dari tempat berbahaya seperti kolam bekas galian tambang.
Disinggung langkah konkret Pemprov Kaltim mencegah peristiwa ini berulang, Isran hanya menjawab dengan singkat. “Ya, itu,” ucapnya.
Tidak jelas yang sebenarnya dimaksud mantan bupati Kutai Timur itu. Ketika ditanya lagi maksud kalimat “Ya, itu” yang ia ucapkan, Isran buru-buru masuk ke mobil. Ia hendak menunaikan salat Jumat.
Media ini kemudian menemui Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi di Masjid Nurul Ilmi, Perumahan Dosen Unmul, Jalan Rumbia, Samarinda. Hadi menjadi khatib dan imam salat di sana. Dalam wawancara, Hadi mengaku belum bisa berkomentar lebih jauh mengenai peristiwa meninggalnya Natasya di Jalan Kebong Agung, Simpang Pasir, Palaran, Samarinda. Wagub mengatakan, masih menugaskan organisasi perangkat daerah terkait untuk ke lapangan.
“Kita tunggu saja hasilnya,” sebut Hadi.
Lima Nyawa Periode Isran-Hadi
Jumlah 34 nyawa yang melayang di kolam bekas tambang baru bara berlangsung sejak 2011. Korban-korban berjatuhan dalam tiga periode, seturut periode pemegang kewenangan pertambangan.
Periode pertama adalah pada 2011 hingga 2015. Kewenangan pertambangan pada masa itu ada di kabupaten/kota seperti diamanahkan Undang-Undang 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Pemkab dan pemkot menerbitkan izin usaha pertambangan (IUP), mengawasi operasi pertambangan --termasuk reklamasi--, mengevaluasi, hingga menjatuhkan sanksi.
Sepanjang 2011-2015 inilah korban paling banyak berjatuhan. Totalnya mencapai 19 nyawa dengan sebaran lokasi terbesar di Samarinda dan Kutai Kartanegara. Di kedua wilayah itu, kewenangan pertambangan dipegang Pemkot Samarinda (dipimpin Wali Kota Syaharie Jaang) dan Pemkab Kukar (dipimpin Bupati Rita Widyasari).
Periode kedua adalah masa transisi yakni pada 2016. Seiring berlakunya UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, seluruh kewenangan pertambangan beralih ke pemprov. Masa transisi ini ditandai dengan peralihan seluruh dokumen perizinan dari kabupaten/kota ke provinsi. Waktu itu, pemprov menerima 1.404 IUP dengan total luas izin 4,13 juta hektare.
Pada periode transisi ini, Gubernur Awang Faroek Ishak mencabut 670 IUP. Namun, pada periode ini pula, korban jiwa tidak berhenti berjatuhan. Sejak kewenangan pertambangan beralih ke pemprov di masa Gubernur Awang Faroek, atau pada 2016 hingga akhir 2018, 10 anak tewas di kolam bekas tambang.
Periode ketiga adalah sekarang ini. Kewenangan pertambangan dipegang Pemprov Kaltim yang diarsiteki duet Isran-Hadi. Sejak dilantik 1 Oktober 2018 atau hanya dalam 7 bulan memimpin, lima nyawa melayang. Terakhir adalah Natasya Aprillia Dewi yang tenggelam di Palaran. Diduga kuat, Natasya berenang di kolam yang masuk konsesi PT Insani Bara Perkasa.
Deretan Pernyataan Isran
Meskipun sudah urusan nyawa, Gubernur Isran berkali-kali memberikan pernyataan yang menuai banyak kritik. Ketika korban ke-30 jatuh di Kukar, Isran menjawab pertanyaan wartawan dengan kalimat, “Oh gitu. Sikap apa? Oh, enggak masalah. Nasibnya kasihan. Ikut prihatin. Pastilah ikut prihatin.”
Ketika korban ke-32 jatuh di Jalan Harun Nafsi, Samarinda, Isran lagi-lagi mengeluarkan statement senada. “Heran juga aku. Jangan-jangan ada hantunya. Kok, banyak korban anak-anak,” sebutnya.
Atas pernyataan demikian, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Pradarma Rupang, menilai bahwa Isran tidak memiliki iktikad menyelesaikan persoalan. Padahal, dengan 34 korban jiwa, teror lubang tambang di Kaltim seharusnya menjadi prioritas. Jatam mencatat, terdapat 1.735 lubang tambang di Kaltim dengan total luas 1,3 juta hektare.
Langkah konkret yang bisa dilakukan pemprov, menurut Rupang, dengan mengeluarkan peraturan gubernur. Pergub bisa menjadi solusi jangka pendek dalam mencegah korban terus berjatuhan. Melalui pergub, Pemprov mewajibkan seluruh perusahaan pertambangan untuk memagari, memasang pelang, dan membangun pos jaga di lubang bekas tambang. Jika perusahaan sudah tidak beroperasi, pemprov bisa memakai dana jaminan reklamasi.
“Dengan kewenangannya, Pemprov Kaltim sangat bisa mewajibkan hal itu. Jika perusahaan abai atau lalai, tinggal jatuhkan sanksi. Semua kewenangan ada di tangan gubernur, kok,” lanjut Rupang.
Untuk jangka panjang, pemprov dianjurkan untuk memperketat pengawasan pasca-tambang. Seluruh lubang tambang wajib direklamasi dan tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Sementara perusahaan yang terbukti nakal, langsung disanksi dengan pencabutan IUP dan dibawa ke ranah pidana.
“Adalah hal konyol memaksa lubang tambang dijadikan tempat budi daya ikan atau tempat wisata. Lubang tambang harusnya ditutup,” jelas Rupang. (*)
Editor: Fel GM