kaltimkece.id Telepon genggam keluaran lawas milik Gagai hampir-hampir tak pernah berdering. Bukan karena tak ada yang menghubungi, sinyal telekomunikasi di tempat tinggal Gagai tidak tersedia. Lelaki 53 tahun itu hanya menggunakan gawai Nokia-nya untuk mendengarkan musik. Sekali-sekali, dipakai berkomunikasi jika Gagai sedang di luar kota.
Gagai adalah kepala Lembaga Adat Suku Dayak Basap. Ia tinggal di Segading, sebuah dusun di Desa Keraitan, Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur. Kampung Gagai dapat dicapai selama delapan jam perjalanan darat dari Samarinda. Januari 2019 silam, kaltimkece.id mengunjungi Gagai di desa tersebut. Makin mendekati Desa Keraitan, sekitar 12 kilometer dari pusat Kecamatan Bengalon, makin banyak aktivitas tambang batu bara PT Kaltim Prima Coal.
Menurut Gagai, Kampung Segading tempat ia tinggal telah dikepung tambang sejak 2004. Sebagian warga Suku Dayak Basap mengikuti program perusahaan. Mereka dipindahkan atau di-resettlement ke Desa Keraitan. Sebagian warga memilih bertahan, termasuk Gagai. Mereka yang bertahan, selanjutnya hidup di tengah kepungan galian tambang.
“Ini tanah nenek moyang kami. Walaupun sungai-sungai tercemar, kebun-kebun rusak, kami memilih tetap di sini,” tutur Gagai.
Kampung Segading adalah satu dari banyak permukiman yang terkepung dan terusir tambang batu bara. Penyebab utamanya ditengarai karena penerbitan izin pertambangan yang ugal-ugalan pada masa silam. Merujuk salinan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim yang diterima kaltimkece.id, izin tambang di sekujur Kaltim menembus 5.137.875,22 hektare, mengambil 40,39 persen daratan provinsi ini.
Konsesi tambang terdiri dari dua jenis. Pertama adalah izin usaha pertambangan atau IUP. Izin ini diterbitkan para bupati dan wali kota pada masa silam. Jumlahnya 1.404 IUP dengan total luas 4.131.735,59 hektare. Ketika kewenangan pertambangan beralih ke pemerintah provinsi sesuai Undang-Undang 23/2014, IUP di Kaltim tersisa 734 izin. Gubernur Awang Faroek Ishak pada akhir pemerintahannya mencabut 670 IUP.
Jenis izin kedua adalah perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara atau PKP2B. Konsesi ini diterbitkan pemerintah pusat dan terdiri dari beberapa generasi. Sebanyak 30 PKP2B beroperasi di Kaltim. Total luasnya 1.006.139,63 hektare. PKP2B sangat khas, konsesinya amat besar. Tak heran jika lima perusahaan pemegang konsesi pertambangan terbesar di Kaltim berasal dari PKP2B.
Sumber terpercaya di lingkungan Pemprov Kaltim memberikan detail perizinan tambang kepada kaltimkece.id. Menggunakan perangkat pemetaan, ArcGIS, kaltimkece.id berhasil mendapatkan rona izin tersebut. Data ini telah dicocokkan dengan hasil rekapitulasi perizinan di Dinas ESDM. Hasil akhirnya selaras.
Kabupaten yang paling pekat akan konsesi adalah Kutai Barat. Daerah ini telah menerbitkan 243 IUP. Jika ditambah tujuh PKP2B, total luas izin pertambangan di Kutai Barat adalah 1,43 juta hektare. Padahal, wilayah kabupaten ini hanya 1,73 juta hektare. Itu berarti, 82 persen daratan Kubar adalah konsesi batu bara.
Kutai Timur duduk di posisi kedua. Luas izin pertambangan di kabupaten ini, baik IUP dan PKP2B, mencapai 1,6 juta hektare. Sebesar 46 persen daratan Kutim adalah izin pertambangan. Sementara itu, Kutai Kartanegara memiliki 1,10 juta hektare izin pertambangan. Sebanyak 40 persen dari luas daratan kabupaten adalah izin tambang. Satu-satunya daerah di Kaltim yang tanahnya tak berstempel izin pertambangan batu bara adalah Balikpapan.
Izin pertambangan diterbitkan pemerintah pusat, bupati, dan wali kota, pada masa lalu. Sebagian pemilik tambang disebut konglomerat dari Jakarta. “Celakanya, sebagian pemegang perizinan itu menyokong kedua calon presiden sekarang. Mereka menunggangi pemilu di Indonesia termasuk di Kaltim. Dari ijon politik, mereka mensponsori kebutuhan kampanye kandidat. Imbal baliknya adalah kandidat yang terpilih memberikan izin eksploitasi SDA dan jaminan keamanan investasi,” terang Pradharma Rupang, dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim.
Izin Kehutanan Paling Luas
Masa kejayaan kayu telah lama berakhir tetapi tidak dengan izin-izinnya. Pada masa Orde Baru, dikenal dua izin penguasaan lahan di sektor kehutanan. Pertama adalah hak pengusahaan hutan atau HPH, yang kedua adalah hutan tanaman industri atau HTI. Selepas era reformasi, nama keduanya bersalin menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu atau IUPHHK (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 8171/Kpts-II/2002). IUPHHK terbagi dua yaitu IUPHHK-HA (hutan alam) dan IUPHHK-HT (hutan tanaman).
Izin kehutanan adalah jenis konsesi terluas yang terbit di daratan Kaltim. Berdasarkan catatan Dinas Kehutanan Kaltim yang diterima kaltimkece.id, total izin sektor ini menembus 5.619.662 hektare. Seluruhnya terdiri dari 59 IUPHHK-HA dengan luas 3.973.680 hektare; dan 45 IUPHHK-HTI seluas 1.645.982 hektare. Dapat dikatakan bahwa 44,09 persen daratan provinsi dikuasai izin kehutanan.
Penguasaan lahan yang mahaluas itu menimbulkan beragam konflik. Kasus terbaru adalah sengketa lahan di Kampung Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu. Masyarakat setempat menuntut 9.500 hektare lahan yang dikuasai PT KBT, pemegang IUPHHK. Didampingi sejumlah organisasi nonpemerintah, warga berjuang menjadikan konsesi sebagai hutan adat.
“Perjuangan warga Long Isun masih berlanjut dengan mengajukan permohonan hutan adat kepada kabupaten. Long Isun adalah contoh kecil dari banyaknya penguasaan lahan oleh korporasi yang menyingkirkan kearifan lokal yaitu hutan adat,” jelas Buyung Marajo, koordinator Pokja 30 yang tergabung dalam Koalisi Kemanusiaan untuk Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat. Koalisi inilah yang mendampingi warga Long Isun.
Dari seluruh daerah, seturut data Dinas Kehutanan, Kutai Timur adalah kabupaten dengan izin terluas yakni 1,39 juta hektare. Selanjutnya adalah Berau dengan 1,11 juta hektare, dan Mahakam Ulu seluas 995 ribu hektare. Sumber terpercaya di Pemprov Kaltim memberikan sokongan data perizinan kehutanan kepada kaltimkece.id. Setelah diolah menggunakan perangkat ArcGIS, rona izin kehutanan Kaltim didapatkan. kaltimkece.id memverifikasi data tersebut dengan rekapitulasi perizinan di Dinas Kehutanan. Hasil akhirnya sepadan.
Sawit Tumbuh Cepat
Ketukan palu hakim membuat mantan bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari, menyerana di kursi pesakitan. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan, Rita terbukti menerima rasuah Rp 6 miliar pada 2010. Pemberi gratifikasi adalah pemilik PT Sawit Golden Prima, Hery Susanto Gun alias Abun. Aliran uang sogokan berkelindan erat dengan penerbitan izin hak guna usaha atau HGU kelapa sawit di Kecamatan Muara Kaman. Rita pun dihukum 10 tahun penjara pada 6 Juli 2018 silam.
Bisnis perkebunan kelapa sawit memang gurih. Ratusan pemodal datang ke Kaltim dan menerima izin perkebunan. Kasus Abun dan Rita adalah contoh nyata kongkalikong penerbitan izin perkebunan antara penguasa dengan pengusaha.
Sejak 15 tahun terakhir, bupati dan wali kota ramai-ramai menerbitkan izin perkebunan. Meminjam data dari Dinas Perkebunan Kaltim, total konsesi yang telah diterbitkan mencapai 375 izin dengan luas 3.095.824 hektare. Angka tersebut setara dengan 23,62 persen daratan Kaltim. Dari luas tersebut, sebanyak 189 izin telah berstatus hak guna usaha atau HGU dengan luas 1.159.880 hektare.
Sampai 2018, luas lahan Kaltim yang telah ditanami kelapa sawit menembus 1.192.342 hektare. Hanya 284.523 hektare yang merupakan kebun rakyat atau plasma. Seluruh kebun menghasilkan 13,16 juta ton tandan buah segar sepanjang 2018. Setelah diperas oleh 82 pabrik, buah-buah itu menghasilkan 2,89 juta ton minyak sawit mentah atau CPO.
Jika ditambah dengan izin pertambangan dan kehutanan, seluruh izin di Kaltim mencapai 13,83 juta hektare. Itu berarti, konsesi yang terbit lebih luas dari daratan Kaltim yang hanya 12,7 juta hektare. kaltimkece.id menggunakan perangkat pemetaan, ArcGIS, untuk menghamparkan ketiga lapisan izin yakni pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Ditemukan irisan yang saling tumpang tindih. Luas izin yang tumpang tindih itu cukup besar, mencakup 4,50 juta hektare. Silang sengkarut perizinan seperti ini banyak ditemukan di Kutai Timur, Kutai Kartanegara, dan Kutai Barat. Di Kutai Timur, misalnya, didapati satu area yang ditindih tiga izin sekaligus.
Tumpang tindih izin inilah jawaban dari mengapa luas izin sampai bisa melebihi daratan Kaltim. Setelah dikurangi izin yang tumpah tindih, tanah Kaltim yang distempeli konsesi seluruhnya sebesar 9,33 juta hektare atau 73 persen dari daratan provinsi. Luas seluruh izin Kaltim ini setara 16 kali luas Pulau Bali atau sepadan dengan 141 kali DKI Jakarta.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Pradharma Rupang, menyatakan bahwa penguasa tanah Kaltim sesungguhnya adalah korporasi. Sebanyak 9,33 juta hektare lahan dikuasai oleh 1.434 perusahaan pertambangan, 104 perusahaan kehutanan, dan 375 korporasi perkebunan.
Jatam membandingkannya dengan lahan yang bebas dari ketiga jenis izin tersebut. Luas daratan yang belum distempel konsesi tinggal 3,37 juta hektare. Bahkan jika dibagi rata untuk 3,5 juta penduduk Kaltim, satu orang kebagian tidak sampai 1 hektare.
“Dari sini terjawab, siapa penguasa lahan Kaltim sebenarnya. Tidak lain tidak bukan, korporasi dan pemegang modal besar,” jelas Rupang. Ketimpangan penguasaan lahan ini menjadi-jadi selepas otonomi daerah. Kebijakan obral izin menjadi peluang para elite politik membangun kerajaan-kerajaan kecil. Temuan Jatam Kaltim, penerbitan izin lazim menjelang atau setelah terselenggaranya pemilu.
“Pemilu telah lama dikooptasi untuk kepentingan oligarki tanpa memperhitungkan keselamatan rakyat dan keberlangsungan fungsi alam. Seperti halnya pemilu 2019, begitu penting bagi oligarki tambang. Mereka menjadikan ruang hidup kita sebagai taruhannya,” kata Rupang.
Gubernur Kaltim Isran Noor memberikan pandangannya. Kepada kaltimkece.id, Selasa, 5 Maret 2019, Isran membuka penjelasan dari sisi tumpang tindih izin. Kemungkinan, kata dia, tumpang tindih disebabkan izin usaha di lokasi yang sama. Total luas izin tambang, hutan, dan kelapa sawit yang melebihi luas dataran Kaltim, kata Isran, tidak perlu disikapi.
“Bisa saja di lahan yang sama ada izin kebun dan izin tambang. Itu bukan tumpang tindih karena berbeda komoditas,” jelas mantan Bupati Kutai Timur ini. Mengenai besarnya tanah Kaltim yang dikuasai swasta, Isran Noor juga tak mempersoalkan. Baginya, yang haram ialah ketika tanah Kaltim dikuasai asing. Ia menjelaskan bahwa dalam konsep perizinan, tanah sebenarnya tidak miliki swasta. Hanya dikuasai dalam jangka waktu tertentu. Lagi pula, sambungnya, pihak swasta adalah bagian dari masyarakat.
Isran juga buka suara mengenai begitu luasnya tanah Kaltim yang dikuasai perusahaan. Gubernur menilai kondisi tersebut adalah relatif. Saat ini, banyak pemegang izin yang baru mau memulai usaha. “Semisal tambang, dengan keluarnya izin, belum bisa langsung beroperasi. Ada lagi persyaratan seperti pinjam kawasan hutan. Memasukkan alat berat saja ada izinnya,” kata dia.
Meskipun demikian, Isran mengaku memiliki rencana mengenai alih penguasaan lahan di Bumi Mulawarman. Namun, ia tak bersedia menjelaskan secara perinci. “Itu tidak kuumumkan sekarang. Nanti pada saatnya, baru kalian menikmati,” tuturnya.
Izin Luas, Manfaat Terbatas
Luas izin pertambangan, kehutanan, dan perkebunan Kaltim yang setara 141 kali luas DKI Jakarta diperkirakan tidak membawa dampak besar. Alat pengukur yang dapat digunakan, salah satunya, melalui sumbangsih ketiga sektor tersebut terhadap produk domestik regional bruto atau PDRB Kaltim. PDRB menggambarkan kemampuan suatu wilayah menciptakan nilai tambah menurut sumber kegiatan ekonomi atau lapangan usaha (Produk Domestik Regional Bruto Kaltim 2013-2017 menurut Lapangan Usaha, 2018, hlm xii).
Pada 2017, PDRB Kaltim sebesar Rp 452 triliun. Sektor kehutanan yang menguasai 45 persen daratan Kaltim hanya memberi sumbangsih Rp 4,63 triliun atau 1,15 persen terhadap PDRB (hlm 124-128). Angka itu sejalan dengan catatan Dinas Kehutanan Kaltim. Pada 2017, produksi kayu Kaltim adalah 2,79 juta meter kubik dari tanaman yang dipanen, ditambah 466 ribu meter kubik dari kayu alami. Volume produksi sebesar itu pun sudah disebut berlebih.
Aktivitas perkebunan juga tidak membawa sumbangsih besar bagi PDRB Kaltim. Menurut lansiran Dinas Perkebunan, PDRB Kaltim dari sektor perkebunan sebesar Rp 15,32 triliun pada 2017 atau hanya 4,49 persen dari PDRB. Adapun tenaga kerja yang diserap sektor perkebunan, masih menurut salinan Dinas Perkebunan, sebanyak 337.972 orang. Jika dibandingkan dengan angkatan kerja Kaltim sebanyak 1,81 juta jiwa pada 2018, penduduk Kaltim yang bekerja di sektor perkebunan sebanyak 18 persen.
Hanya sektor pertambangan batu bara yang memberi sumbangsih besar bagi PDRB Kaltim. Pada 2017, sektor ini menghasilkan PDRB sebesar Rp 156 triliun atau membawa andil 34,98 persen. Produksi batu bara Kaltim pada tahun yang sama adalah 82 juta ton. Namun, sektor ini hanya menyerap 8,16 persen tenaga kerja dari jumlah angkatan kerja Kaltim.
Jika dijumlahkan, ketiga sektor yang memangsa 9,33 juta hektare daratan Kaltim cuma berkontribusi 40,62 persen bagi PDRB. Pertambangan, kehutanan, dan perkebunan, juga hanya menyerap 26,16 persen angkatan kerja Kaltim. Itu belum termasuk problema sengketa lahan dan kerusakan lingkungan yang kerap menyertai operasi perusahaan.
Hamparan izin di Kaltim jelas sangat luas. Sayangnya, faedah yang diterima penduduk Kaltim tak sebanding dengan jembarnya penguasaan lahan tersebut. Manfaat dari penguasaan lahan yang sedemikian luas bagi penduduk Kaltim, sesungguhnya, tak selebar-lebar daun kelor. (*)
Editor: Fel GM