kaltimkece.id Rayuan angin yang bercabang mengajak hamparan pohon kelapa sawit berdansa dengan ria. Di bawah udara kering bulan April, kebun sawit nan luas mengelilingi sebuah permukiman kecil yang sunyi. Tak ada suara apapun selain gemerisik daun-daun pohon yang tak lelah menari.
Dusun yang terkurung perkebunan itu adalah Kampung Sungai Nangka, Kelurahan Teluk Dalam, Kecamatan Muara Jawa, Kabupaten Kutai Kartanegara. Rumah-rumah penduduk berdiri di tepi jalan tanah sepanjang 1 kilometer yang berujung di ruas tol Balikpapan-Samarinda Seksi III.
Selasa, 10 April 2018, seorang penduduk terlihat memberi makan sapi peliharaan. Selain lelaki itu, keheningan merambat di sepenjuru desa. Rumah-rumah kosong tak berpenghuni. Tak ada suara sama sekali dari mesin penggiling padi di ujung jalan. Surau yang berdiri di tengah kampung juga tak menyiarkan azan ketika waktu salat zuhur tiba.
"Kami terusir dari tanah ini," tutur Akmal Rabbani, 48 tahun, koordinator kelompok petani di Kampung Sungai Nangka kepada kaltimkece.id.
Baca juga: Hoax Emas Kaltim yang Mendunia-1: Dari Makan Malam, Sejarah Gelap Busang Dimulai
Selain menuding sawah dan kebun warga dirampas perusahaan sawit, Akmal mengatakan, air bersih desa tercemar. Air sumur, sumber andalan warga, berwarna kecokelatan. Tanpa lahan garapan dan air bersih, satu per satu penduduk angkat kaki.
Rukka, 58 tahun, adalah warga yang masih bertahan. Lelaki berkulit gelap itu sudah menjadi ketua RT 06 sejak 1991 silam. Dia masih ingat betul ketika dipilih warga. Kampung masih ramai. "Saat itu, ada 27 kepala keluarga di RT ini. Setelah diusir perusahaan, tersisa empat kepala keluarga," terangnya.
Warga mulai membuka kebun dan sawah di Sungai Nangka pada 1970-an. Namun, mimpi buruk bagi desa datang pada 2005. Sebuah perusahaan kelapa sawit bernama PT Perkebunan Kaltim Utama I (PKU I) beroperasi. PT PKU I adalah anak perusahaan PT Toba Bara Sejahtera Tbk, dengan Menteri Koordinator Kemaritiman, Jenderal Purnawirawan Luhut Binsar Panjaitan, sebagai salah satu pemegang saham.
Menurut Rukka, kebun dan sawah warga tiba-tiba ditanami kelapa sawit begitu saja tanpa pemberitahuan. Perusahaan melarang warga beraktivitas di atas hak guna usaha atau HGU. Jika melanggar, mereka dilaporkan kepada pihak berwajib dan diancam penjara.
"Warga yang takut dan tidak paham memilih pergi,” kata Rukka.
Nurdin, 61 tahun, adalah orang yang merasakan dinginnya jeruji besi. Dia dibui selama lima bulan pada 2017 silam. "Satu bulan delapan hari ditahan di Polres Kukar, tiga bulan 22 hari di Kejaksaan Negeri Tenggarong," jelasnya.
Kisah kelamnya dimulai pada 2006. Nurdin mendapati delapan ekskavator asyik mengeruk lahannya di Desa Tani Harapan, tak jauh dari Kampung Sungai Nangka. Setelah bertanya ke sana ke mari, Nurdin mengetahui alat berat tersebut milik PT PKU I yang sedang membuka perkebunan sawit.
Perusahaan berjanji, setiap warga menerima Rp 1 juta per hektare plus bagi hasil 70 banding 30. Warga mendapat 30 persen bersih dari hasil panen. Seiring berjalannya waktu, Nurdin merasa ditipu. Tidak ada pembayaran sama sekali setelah 7,5 tahun lahannya ditanami sawit.
Pada 2014, Nurdin bertanya kepada perusahaan mengenai hasil dari tanahnya seluas 8,5 hektare. Perusahaan menjawab, Nurdin bisa menerima Rp 10 juta setelah perhitungan 3,5 tahun masa panen. “Artinya, saya hanya menerima Rp 14 ribu per hektare per bulan selama 7 tahun. Uang itu tidak pernah saya ambil,” tegasnya.
Nurdin memilih memanen sendiri buah sawit yang tumbuh di lahannya. Ketika itulah, polisi datang dan menahannya atas tuduhan mencuri sawit. Sempat ditahan lima bulan, kasus yang menimpa Nurdin disebut tidak berlanjut.
Perjuangan Warga
Kampung Sungai Nangka pada masa lalu adalah lumbung padi. Menurut Rukka selaku ketua RT, sekitar 500 hektare lahan, dari 2 ribu hektare yang disebut dirampas perusahaan, berupa sawah, kebun sahang, dan buah-buahan. Pada 1990-an, produksi padi di Sungai Nangka menembus 600 ton setahun.
Ruka sempat menunjukkan mesin penggiling padi yang teronggok membisu. “Mesin itu dulu kami beli patungan,” ucapnya mengenang masa silam. Matanya sudah berkaca-kaca.
Sebagai orang yang paling ditokohkan di Sungai Nangka, Rukka memilih melawan. Dia tidak sendirian. Enam kelompok tani di Muara Jawa dengan anggota 1.500-an orang bernasib serupa. Luas keseluruhan lahan yang dipersoalkan mencapai 2 ribu hektare.
Sejumlah organisasi nonpemerintah yang bersatu dalam Koalisi Anti Mafia Sawit dan Tambang turut bergabung. Koalisi terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Wahana Lingkungan Hidup Kaltim, Pokja 30, Forest Watch Indonesia, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, berikut beberapa badan eksekutif mahasiswa.
Warga bersama organisasi nirlaba berupaya menempuh jalur litigasi dan non-litigasi sejak beberapa tahun terakhir. Mereka melapor kepada Polda Kaltim dan Mabes Polri. Mediasi dengan perusahaan juga berjalan melalui rapat dengar pendapat yang difasilitasi Komisi II DPRD Kaltim. Tak kurang, warga berdemonstrasi di Kantor Gubernur Kaltim di Jalan Gajah Mada, Samarinda. Belum ada penyelesaian yang warga dapatkan.
Akmal selaku koordinator kelompok tani menyatakan, warga membawa tiga tuntutan. "Kembalikan lahan, pulihkan kampung, keluarkan dari HGU,” tegasnya. Menurutnya, sekitar 40 persen dari 2 ribu hektare lahan warga sudah bersertifikat. Sisanya memegang surat pernyataan penguasaan tanah atau SPPT.
Silang sengkarut lahan di pesisir Kukar bukan saja melibatkan warga. Analysis Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan, 4,7 ribu hektare lahan tumpang tindih antara PT PKU I dengan PT Kutai Energi.
Klarifikasi Perusahaan
Direktur Utama PT PKU I, Letnan Jenderal Purnawirawan Suaidi Marasabessy, membantah telah merampas lahan warga. Suaidi menjelaskan, awalnya HGU adalah milik Ganda Grup. PT PKU I, lewat induknya yaitu PT Toba Bara Sejahtera, baru mengakuisisi pada 2012.
“Saat pengambilalihan itu, keputusan Mahkamah Agung mengatakan, surat keputusan HGU sah. Kalau kami dinyatakan merampas hak rakyat, itu tidak benar,” tegas Suaidi, Senin, 2 April 2018, seperti ditulis Majalah Tempo.
Sejak menjadi direktur utama, Suadi mengaku sudah 15 kali bertemu warga. Komunikasi membahas bagi hasil antara perusahaan dan warga. Sebagian besar warga, terangnya, telah setuju. Jika kemudian masih ada yang mengaku pemilik lahan dan keberatan, Suaidi mempersilakan menuntut melalui jalur hukum.
Lagi pula, lanjutnya, Luhut Panjaitan telah menitipkan empat petunjuk yang tidak akan dia langgar. "Pertama, jangan melanggar hukum. Kedua, jangan telat bayar pajak. Ketiga, jangan mengemplang hak rakyat. Keempat, kalau pemda ingin kerja sama, buat kerja sama,” kata dia.
Suaidi membenarkan bahwa Luhut pernah memiliki 90 persen saham perusahaan. Namun sekarang, Luhut tidak lagi memegang saham mayoritas. "Tinggal 10 persen. Yang 80 persen dilepas kepada pengusaha Indonesia yang berkantor di Singapura," sambungnya.
Baca juga: Debat Kandidat di Masa Lalu, Bawa Foto SD Rusak hingga Jurus Diam
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Kaltim, Komisaris Besar Polisi Ade Yaya Suryana, menyatakan bahwa polisi belum menerima laporan dugaan perampasan lahan. Kepolisian hanya menyelidiki dugaan pencemaran lingkungan di Kampung Sungai Nangka sesuai laporan yang diterima.
Kepala Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Timur Azwar juga belum memberi penjelasan seputar kepemilikan di tanah yang bersengketa itu. “Saya dalam perjalanan di luar kota. Kami cek dulu data-datanya,” kata Azwar seperti dilansir Majalah Tempo, Senin, 16 April 2018. (*)
Editor: Fel GM