kaltimkece.id Kaltim menjadi kandidat terkuat kedua --setelah Kalteng-- dalam rencana besar pemindahan ibu kota negara. Menurut dokumen kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang diterima kaltimkece.id, setidaknya tiga lokasi yang tengah dikaji di Kaltim.
Lokasi pertama calon ibu kota negara adalah kawasan pesisir Kutai Kartanegara yakni di Kecamatan Muara Jawa dan Sangasanga. Lokasi ini merupakan usulan dari Pemprov Kaltim. Kawasan kedua adalah perbatasan Penajam Paser Utara (PPU) dengan Kukar. Titik ketiga yaitu perbatasan PPU dengan Kutai Barat.
Di luar tiga lokasi yang dikaji itu, Gubernur Kaltim Isran Noor mewacanakan satu lokasi baru. Diwawancarai pada Selasa, 30 April 2019, Isran menyarankan agar ibu kota negara berlokasi di kawasan dengan ketinggian minimal 25 meter dari permukaan laut. Daerah dengan ketinggian sedemikian diperlukan untuk menghindari pelbagai kemungkinan buruk sampai dua abad mendatang.
"Kalau ibu kota baru banjir, ‘kan nanti masalah juga," demikian Isran Noor.
Dari argumen tersebut, Isran menilai kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto cocok sebagai lokasi ibu kota. "Di situ ‘kan hutan negara; dan ketinggiannya pun cukup pas. Ditambah fasilitas jalan tol dan dua bandara di Balikpapan dan Samarinda. Ya, lihat saja penilaiannya nanti," tuturnya.
Pelindung Tiga Kota
Tahura Bukit Soeharto adalah kawasan yang masuk wilayah administrasi dua kabupaten; Kukar dan PPU. Hutan ini dibelah jalan poros Balikpapan-Samarinda, tepatnya, mulai Jalan Soekarno Hatta Kilometer 38 hingga Kilometer 69. Di sebelah timur, Bukit Soeharto berbatasan dengan Pantai Tanah Merah di Desa Tanjung Harapan, Samboja, Kukar. Sementara di barat, bersisian dengan Desa Semoi Dua dan Sidomulyo, Sepaku, PPU (Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Taman Hutan Raya Bukit Soeharto di Provinsi Kalimantan Timur, IPB, 2010, hlm 43).
Luas seluruh kawasan Tahura 67.766 hektare, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK.577/Menhut-II/2009. Sebesar 53.151 hektare atau 78,43 persen Tahura adalah hutan sekunder dan hutan primer (alami).
Bukit Soeharto telah ditetapkan sebagai hutan konservasi dengan status kawasan pelestarian alam. Dalam klasifikasi kawasan hutan, status hutan konservasi berada di tempat tertinggi (di atas status hutan produksi dan hutan lindung). Hanya hutan dengan ciri khas tertentu dan punya fungsi pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistem yang mendapat status konservasi.
Kawasan hutan dibagi menjadi tiga menurut fungsinya. Undang-Undang 41/1999 tentang Kehutanan membagi fungsi kawasan hutan menjadi hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Ada perbedaan utama antara hutan produksi-hutan lindung dengan hutan konservasi. Hutan produksi dan hutan lindung masih bisa dijamah kegiatan industri, semisal pertambangan batu bara, sepanjang mendapat izin pinjam pakai dari menteri kehutanan dan lingkungan hidup.
Sementara hutan konservasi, tidak bisa sama sekali. Hutan konservasi hanya boleh dimanfaatkan bagi kepentingan pendidikan dan penelitian, budaya, pariwisata, serta rekreasi.
Adalah kandungan kekayaan keanekaragaman hayati yang menjadikan Bukit Soeharto berstatus kawasan konservasi. Hutan ini menjadi tempat hidup 10 spesies satwa dilindungi. Mulai beruang madu, banteng, macan dahan, hingga burung enggang (hlm 46).
Selain fauna, tetumbuhan di Bukit Soeharto lengkap. Tipologi kawasan ini adalah hutan pantai dan perbukitan. Maka terciptalah hutan campuran Dipterocarpaceae (suku meranti), hutan dataran rendah, hutan kerangas (mudah terbakar), hutan rawa, hutan pantai, hingga semak belukar dan ilalang (Studi Tata Guna Kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, jurnal, Unmul, 2017, hlm 3).
Dengan ekosistem selengkap itu, Bukit Soeharto sangat berarti bagi pendidikan dan objek penelitian. Bukit Soeharto juga punya peran besar ditilik dari fungsi hidrologi. Kawasan ini adalah penjaga utama sistem air bagi wilayah di sekitarnya.
Dalam tesis Erfan Noor Yulian dari program pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bukit Soeharto dialiri tujuh daerah aliran sungai (DAS). Tujuh DAS tersebut bermuara di tiga tempat. Pertama, DAS yang bermuara di Sungai Mahakam adalah Sungai Loa Haur. Kedua, DAS yang bermuara di Selat Makassar adalah Sungai Seluang, Tiram, Bangsal, Serayu, dan Salok Cempedak. Sementara yang terakhir bermuara di Teluk Balikpapan adalah Sungai Semoi.
Dari keberadaan sungai-sungai itu, Bukit Soeharto disimpulkan sebagai "sumbernya sumber" air bersih di tiga wilayah Kaltim yakni Balikpapan, Samarinda, dan pesisir Kukar. Mengganggu Bukit Soeharto berarti menyengsarakan masyarakat di ketiga wilayah. Jangankan mengubahnya menjadi ibu kota, gangguan dalam skala kecil kepada Bukit Soeharto saja telah membawa dampak yang nyata.
Contohnya nampak sejak 14 tahun silam. Sebagian kecil wilayah Bukit Soeharto diusik oleh tajamnya cakar pertambangan batu bara dan penebangan liar. Aktivitas itu disebut menyebabkan banjir dan erosi hingga 45 ton/hektare/tahun --ambang batas yang diperbolehkan yaitu 15 ton/hektare/tahun. Sedimentasi dari erosi itu menurunkan kualitas dan kuantitas air sungai hingga Sungai Mahakam dan Teluk Balikpapan. Padahal, kedua DAS tersebut adalah sumber bahan baku air bersih PDAM bagi Samarinda, pesisir Kukar, dan Balikpapan (hlm 53).
Kerusakan DAS turut mengakibatkan banjir di musim hujan karena tak ada hutan penyerap air. Sedangkan pada musim kemarau, kekeringan yang datang. Itulah yang dialami Desa Loa Duri Ulu, Dusun Messaping, Kukar. Banjir menerjang dusun ini sejak 2005 karena meluapnya Sungai Loa Haur.
Jika usulan Gubernur Isran diterima, kemungkinan besar seluruh wilayah Bukit Soeharto berubah menjadi perkantoran, permukiman, pusat perbelanjaan, dan fasilitas pendukung lain. Berdasarkan kajian yang dibuat Bappenas, luas wilayah yang diperlukan untuk ibu kota baru berkisar antara 40 ribu hingga 60 ribu hektare. Luas tersebut nyaris setara dengan wilayah Tahura Bukit Soeharto. Yang berarti, Bukit Soeharto mesti terganggu dalam skala besar.
Kritik untuk Isran
Usulan Gubernur Isran Noor menjadikan Tahura Bukit Soeharto sebagai lokasi ibu kota negara menuai kritik. Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, tidak kaget dengan usulan tersebut.
“Hal yang wajar karena memang visi gubernur adalah merusak hutan, bukan melestarikan atau memulihkan hutan,” sindirnya.
Menurut catatan Jatam Kaltim, Isran memiliki rekam jejak yang tak sejalan dengan semangat pelestarian lingkungan hidup. Ketika menjadi Bupati Kutim, Jatam menyebut bahwa Isran telah menerbitkan 161 izin usaha pertambangan dan 143 izin lokasi perkebunan kepala sawit.
“Dan sekarang, Isran dengan bangga melanjutkan perizinan pertambangan batu gamping untuk pabrik semen di wilayah karst Kutim,” jelas Rupang.
Dari rekam jejak tersebut, Jatam menilai usulan Bukit Soeharto oleh Isran menjadi bukti tiadanya visi keberlanjutan lingkungan hidup. Rupang menyarankan agar Isran tidak asbun alias asal bunyi sehingga pernyataannya tidak absurd. Bukan hal sukar, kata dia, mengkaji fungsi Bukit Soeharto sebagai penyimpan sumber air bersih bagi tiga kota di Kaltim.
“Dari status (Bukit Soeharto) sebagai kawasan konservasi saja, Gubernur semestinya sudah tahu betapa penting hutan itu bagi wilayah sekitarnya,” tutup Rupang. (*)