kaltimkece.id Unjuk rasa di Kantor Bupati Penajam Paser Utara, Rabu, 22 Mei 2023, menuntut kejelasan mengenai status lahan. Sebagian besar pengunjuk rasa membentangkan spanduk. Beberapa spanduk itu berbunyi, "Kami ingin hak milik, bukan hak pakai." Ada pula spanduk bertuliskan, "Wahai IKN, jangan jajah kami."
Para warga yang berdemonstrasi berasal dari Kelurahan Pemaluan, Kelurahan Maridan, dan Kelurahan Riko di Kecamatan Penajam, PPU. Mereka terhimpun dalam Solidaritas Masyarakat PPU. Ada lima tuntutan utama yang mereka bawa.
Pertama, pemerintah diminta mencabut status hak guna usaha (HGU) di lahan mereka. Kedua, menghapus sertifikat hak pakai lahan dan menggantinya menjadi sertifikat hak milik (SHM). Ketiga, menghapus Bank Tanah di PPU yang disebut sebagai penjajah. Keempat, transparansi administrasi. Kelima, menetapkan biaya administrasi pembuatan SHM di PPU dan menentukan waktu penyelesaian pembuatan SHM.
Setelah beberapa jam berorasi di halaman Kantor Bupati PPU, mereka pindah ke Kantor Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) PPU di Penajam. Tuntutan yang sama kembali diajukan di situ. Aksi sejak pukul 10 pagi itu berakhir pada pukul tiga sore.
Kepada media, Koordinator Solidaritas Masyarakat PPU, Yusuf Ibrahim, memberikan penjelasan. Ia menyebut bahwa pemerintah secara sepihak menentukan HGU untuk PT Triteknik Kalimantan Abadi (TKA). Padahal, dalam HGU tersebut, terdapat lahan milik sejumlah warga. Perusahaan juga disebut tidak mengganti-rugi lahan milik warga.
Akibat kesewenang-wenangan tersebut, warga hanya mendapatkan sertifikat hak pakai atas lahan mereka. Oleh sebab itu, mereka meminta hak pakai tersebut dicabut dan menggantinya menjadi sertifikat hak milik. Melalui SHM, warga dapat memanfaatkan lahan mereka tanpa kekhawatiran.
"Dampak dari sertifikat hak pakai, warga tidak dapat menjadikan tanah mereka sebagai agunan jika dibutuhkan," kata Ibrahim dikutip dari mediakaltim.com (jaringan kaltimkece.id). Dampak lainnya, tambah dia, sertifikat hak pakai bisa diserahkan kepada pihak lain secara sepihak.
Sebagai informasi, lahan HGU milik PT TKA seluas 4.346,05 hektare. Perusahaan mendapatkan izin HGU pada 1997 yang berlokasi di lima kelurahan di PPU. Kelima kelurahan itu yakni Riko, Pantai Lango, Jenebora, Gersik (Penajam), dan Maridan (Sepaku). Perusahaan memanfaatkan HGU tersebut untuk pertanian sawit.
Belakangan, PT TKA dilaporkan hanya memanfaatkan 1.276,23 hektare lahan di antaranya. Selebihnya tidak dimanfaatkan karena bersengketa dengan lahan milik warga. Pada 2019, izin HGU PT TKA habis dan tidak diperpanjang.
Bukannya selesai, sengketa ini makin runyam. Seturut rencana pembangunan Bandara VVIP dan tol IKN, lahan tersebut tidak menjadi milik warga. Bank Tanah, lembaga yang dibentuk pemerintah pusat untuk menghimpun lahan telantar, mengambil alih HGU tersebut. Tujuannya adalah pembangunan bandara dan tol tadi.
Sebenarnya, melalui program reforma agraria, pemerintah disebut akan mengganti kerugian yang diderita warga dari HGU tersebut. Akan tetapi, menurut Yusuf Ibrahim, kebijakan tersebut bukanlah solusi. Masalahnya yang diganti hanya tanam tubuh sementara ganti rugi lahan tak jelas kepastiannya.
Warga saat ini berupaya mendapatkan sertifikat hak milik dengan mendaftarkan lahan mereka di Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Ibrahim menyatakan, apabila tuntutan warga tidak dikabulkan, aksi serupa digelar kembali pada Selasa, 28 Mei 2024.
"Ada ribuan orang dan ribuan hektare yang terdampak. Kami akan datang lagi dengan massa yang lebih banyak," ucapnya.
Baca juga: Masalah Lahan di Balik Pembangunan Tol dan Bandara IKN
Aksi pada Rabu itu mendapat pengawalan ketat dari aparat gabungan. Kepala Bidang Penertiban Umum, Satuan Polisi Pamong Praja PPU, Rahmadi, menyebut bahwa 45 petugas Satpol PP dikerahkan dalam mengamankan aksi tersebut. Ia pun menyatakan aksi berjalan kondusif.
"Alhamdulillah, tidak ada keributan yang menyebabkan kontak fisik antara masyarakat dan petugas," kata Rahmadi.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Badan Pertanahan Nasional PPU sekaligus Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah KIPP IKN, Ade Chandra Wijaya, memberikan penjelasan. Ia membenarkan bahwa sebagian besar lahan milik warga yang melakukan unjuk rasa masuk wilayah HGU dan hanya mengantongi sertifikat hak pakai.
Atas dasar itu, kata Chandra, permintaan sertifikat hak milik tak bisa dikabulkan. Alasannya, lahan HGU adalah milik negara. Lagi pula, lahan yang diklaim warga tak sesuai aturan tata ruang. Warga memanfaatkan lahan tersebut untuk bertani kelapa sawit. Padahal, dalam aturan tata ruang, lahan tersebut diperuntukkan bukan perkebunan.
"Kalau memang tata ruangnya untuk perkebunan, ya, pasti sudah diberikan (sertifikat) hak milik," katanya kepada kaltimkece.id.
Chandra membenarkan bahwa Bank Tanah hanya mengambil lahan bekas HGU PT TKA. Pemerintah dipastikan mengganti lahan warga yang masuk HGU tersebut melalui program reforma agraria. Namun ada syaratnya. Ganti rugi diberikan, ucap Chandra, "Tentunya kepada masyarakat yang benar-benar menguasai, memanfaatkan, dan berada atau berdomisili di lima kelurahan itu." (*)