kaltimkece.id Sudah sepekan belakangan ini Ade Rahman melewati pagi dan siang di depan layar telepon genggamnya. Siswa kelas sepuluh di SMA 5 Samarinda ini membuka aplikasi bernama Classroom yang dipakai dalam proses belajar-mengajar daring. Aplikasi berukuran 14 megabyte itu mudah dioperasikan dan sudah dipakai di banyak sekolah.
Para guru cukup mengirimkan bahan ajar dalam format dokumen Microsoft Word, PDF, atau sesekali video, melalui aplikasi tersebut. Materi dan soal yang diunggah guru kemudian diunduh murid untuk dibaca dan dikerjakan. Hasilnya dikirim lagi menggunakan perangkat lunak yang sama. Proses belajar seperti ini Ade Rahman lewati mulai pukul 07.00 hingga 12.00 Wita sejak Senin hingga Jumat.
Yang Ade Rahman lewati belum tentu dirasakan siswa yang lain di Kaltim. Cara belajar jarak jauh selama pandemi Covid-19 tidaklah sama di setiap sekolah. Ada yang hanya menggunakan transfer berkas sehingga memakan sedikit kuota, ada pula yang memakai pertemuan maya yang boros paket data.
“Saya menghabiskan 500 megabyte data seminggu. Kalau sebulan, sekitar 2 gigabyte,” jelas Rahman kepada reporter kaltimkece.id. Pelajar yang tinggal di Kelurahan Sidodadi, Samarinda Ulu, tersebut, mendapat jatah bulanan membeli paket data dari orangtua sebesar Rp 55 ribu. Uang tersebut ia pakai untuk membeli paket data internet 6 GB Tri yang aktif selama 30 hari. Dari total kuota tersebut, Rahman hanya memakai 2 GB atau sekitar Rp 18 ribu untuk belajar sebulan. Rahman termasuk kelompok siswa yang belajar dengan paket hemat.
Ada lagi kelompok lain yang harus belajar jarak jauh dengan kuota besar. Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Rusman Yakub, meyakini hal tersebut. Anaknya sendiri yang mengalaminya. Rusman mengamati, anaknya yang sudah duduk di bangku SMA seringkali belajar jarak jauh melalui aplikasi Zoom Meeting. Dalam sehari, buah hatinya belajar antara pukul 07.00 hingga 12.00 Wita.
“Untuk Zoom, hanya gratis pertemuan 40 menit. Sementara untuk seluruh pertemuan, biasanya ada 10 menit untuk menunggu peserta hadir sehingga hanya 30 menit yang tersisa dari paket gratis tersebut. Tentu kurang efektif,” terang Rusman ketika dihubungi kaltimkece.id, Senin, 27 Juli 2020.
kaltimkece.id menghitung biaya yang harus dikeluarkan siswa ketika belajar-mengajar menggunakan aplikasi konferensi tatap muka. Telekonferensi menggunakan aplikasi Zoom dengan kualitas gambar standar menghabiskan 500 megabyte per jam sebagaimana dihitung The 1 Million Project Foundation. Jika setiap hari, dari Senin sampai Jumat, siswa perlu dua jam menggunakan aplikasi ini, paket data yang tersedot sudah 1 GB per hari atau 5 GB per pekan. Dalam sebulan, sebesar 20 GB paket data diperlukan untuk seorang siswa, baru untuk aplikasi Zoom. Belum termasuk kebutuhan untuk transfer berkas tugas sekolah sampai berselancar untuk mencari referensi.
Data sebesar 20 GB itu setara dengan Rp 183 ribu untuk paket data Tri (Always On Rp 55 ribu untuk 6 GB). Sementara jika menggunakan provider Telkomsel dengan kuota yang sama adalah Rp 267 ribu (paket 6 GB seharga Rp 89 ribu). Alternatif yang lebih murah, terutama orangtua yang memiliki anak lebih dari satu yang bersekolah, bisa berlangganan paket WiFi rumahan dengan tarif bulanan Rp 285.000.
Langkah Cepat Pemkot Samarinda
Sesuai dengan kewenangan, pendidikan di tingkat SD dan SMP berada di bawah kabupaten dan kota. Sementara untuk tingkat SMA, SMK, dan SLB, di bawah pemerintah provinsi. Di Kota Tepian, untuk SD dan SMP, Dinas Pendidikan Samarinda memetakan dan merumuskan masalah dan model alternatif pembelajaran daring. Ada empat lapisan kemampuan siswa dan orangtua peserta sekolah daring menurut Kepala Disdik Samarinda, Asli Nuryadin.
Lapisan pertama adalah golongan mampu yang memiliki fasilitas telepon pintar, komputer jinjing, tablet dan jaringan internet memadai. Kedua, kelompok yang memiliki gawai, namun terkendala masalah jaringan dan paket data internet. Ketiga, orangtua yang hanya memiliki gawai terbatas namun tidak cukup digunakan karena anaknya lebih dari satu.
“Lapisan keempat adalah kategori super darurat. Tidak punya gawai dan paket data sama sekali,” kata Asli. “Jumlah ini (kategori super darurat) paling hanya lima persen saja,”.
Disdik bersama sekolah kemudian merumuskan pola pembelajaran untuk membantu siswa khususnya lapisan kedua sampai keempat. Salah satu langkah adalah bekerja sama dengan penyedia jasa layanan telekomunikasi. Bentuk kerja sama tersebut berupa pembelian paket data jumbo. Asli mengklaim, beberapa SD dan SMP di Samarinda sudah menjalankan.
Modelnya, sekolah melalui dana bantuan operasional sekolah nasional (BOS-Nas) membeli paket data sebesar 1.250 gigabyte dengan harga Rp 5 juta setiap bulan. Penyedia jasa telekomunikasi telah menyiapkan aplikasi khusus yang dipakai sekolah untuk membagi paket data harian kepada guru dan siswa. Jika ada sekolah yang tak mampu atau kelebihan paket data, disarankan menggandeng sekolah lain.
“Bantuan diberikan proporsional yakni diutamakan kepada orang tidak mampu. Kalau anak pejabat, tidak usah,” jelas Asli. Ia menilai, mekanisme seperti ini lebih mudah dan tidak ribet dari sisi pertanggungjawaban dan administrasi.
Adapun siswa atau orangtua yang hanya memiliki gawai terbatas dan harus dipakai bersamaan, ditawarkan berbagai alternatif. Paling mudah, guru bisa memberi penjelasan, tugas, dan pengiriman hasil, lewat WhatsApp atau aplikasi yang direkomendasikan sekolah. Jika membutuhkan saran pembelajaran daring yang lebih utuh, guru dan siswa direkomendasikan menggunakan aplikasi bernama Bakso Ujo atau Bank Soal dan Ujian Online. Lewat aplikasi yang dikembangkan sejumlah guru ini, siswa dapat mengunduh sejumlah soal kapan pun.
“Sekolah tidak boleh menjustifikasi mereka (siswa yang tak punya gawai). Kalau ada, laporkan saja,” tegasnya.
Bagi siswa dari lapisan super darurat, Asli mengatakan, bisa menumpang dengan rekan atau tetangga yang memiliki gawai. Jatah pulsa harian dari sekolah untuk murid tersebut harus dikoordinasikan. Jika cara itu juga tak memungkinkan, sekolah bisa menugaskan guru kelas mendatangi atau berkumpul di suatu tempat untuk belajar. Catatannya, hanya boleh maksimal lima siswa dan patuh terhadap protokol Covid-19.
Mantan kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Samarinda ini tak merekomendasikan penggunaan aplikasi pertemuan dan belajar virtual berbasis video jarak jauh. Pertimbangannya adalah psikologis anak dan biaya yang mahal untuk membeli paket data. Kalaupun terpaksa kontak belajar virtual, ia menekankan cukup 30 menit setiap mata pelajaran. Perinciannya adalah 10-20 menit untuk penjelasan bahan ajar, 10 menit tanya jawab. Dia khawatir, jika siswa terlalu lama menatap layar gawai, efek radiasi merusak kesehatan mata dan membuat anak jenuh.
“Anak-anak juga jangan diberi tugas berat. Suasana darurat seperti ini, kurikulumnya juga darurat,” ujarnya, seraya menambahkan, “Guru-guru dan orangtua harus bijak.”
Tingkat SMA dan SMK Belum Jelas
Menurut catatan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim yang menaungi SMA, SMK, dan SLB, ada 154.896 siswa di seluruh provinsi dari tingkatan tersebut. Jika pemerintah memukul rata dengan memberikan bantuan 2 GB per bulan --kelompok hemat data seperti Rahman yang diceritakan dalam permulaan artikel ini-- perlu sekitar Rp 2,78 miliar sebulan. Jika sampai akhir tahun atau Desember 2020, provinsi hanya cukup mengucurkan Rp 13,94 miliar. Jumlah ini terbilang kecil dibanding APBD Kaltim yang direalokasi untuk Covid-19 sebesar Rp 536 miliar.
Disinggung kemungkinan itu, Pelaksana Harian Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim, Healthyana Marta Mou, mengaku belum bisa berbuat banyak. Masalahnya, kata dia, dana Disdkibud Kaltim pada 2020 telah dirasionalisasi 50 persen sehubungan penanganan Covid-19.
“Sementara ini belum bisa,” jelas Marta ketika diwawancarai kaltimkece.id pada Senin, 28 Juli 2020, di kantornya.
Kalaupun ada bantuan fasilitas penguatan jaringan internet, ia menjelaskan, sebatas di wilayah sekolah, bukan per siswa. Dananya bersumber dari bantuan operasional sekolah. Perempuan yang menjabat kepala Bidang Pendidikan Khusus dan Sekolah Luar Biasa ini mengatakan, persoalan penyelesaian masalah keluhan paket data dan gawai diserahkan kepada sekolah masing-masing.
“Kami belum tahu kebijakan dari kepala dinas,” ucapnya ketika ditanya kemungkinan menggandeng operator telekomunikasi untuk membantu subsidi paket internet.
Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Rusman Yaqub, menjelaskan bahwa Pemprov Kaltim harus merumuskan pola alokasi subsidi yang tepat untuk meringankan beban peserta didik. Ia menilai, kondisi perekonomian yang lesu dan realokasi anggaran penanganan Covid-19 membuat subsidi semacam ini sukar diwujudkan. Selain menambah berat anggaran, pelaksanaannya memiliki banyak tantangan. Namun demikian, Rusman setuju jika siswa SMA sederajat yang menjadi tanggung jawab Pemprov Kaltim diberi bantuan tersebut.
“Asalkan penyalurannya hati-hati karena rawan bermasalah di kemudian hari,” tutupnya. (*)
Editor: Fel GM