kaltimkece.id Keasyikan Gebril dan empat saudaranya yang sedang bermain tiba-tiba terhenti ketika melihat guru sekolah mereka datang. Anak-anak berpakaian lusuh itu buru-buru berlari mendaki gang sempit menuju rumah mereka. Dari dalam rumah, ibu kelima anak tersebut yang bernama Maria Magdalena segera membukakan pintu. Lena, panggilannya, agak kaget mengetahui ada tamu yang berkunjung. Perempuan 34 tahun itu pun bergegas membersihkan satu-satunya ruangan di rumah.
Setelah semua masuk, kelima anak Lena mencium tangan Tutik Juniati, wali kelas tiga di SD 009 Samarinda Ulu. Kedatangan Tutik pada Senin, 27 Juli 2020 sore, adalah untuk memeriksa proses belajar daring Gebril yang merupakan salah seorang muridnya. Gebril adalah anak ketiga Maria Magdalena yang duduk di kelas tiga.
Selama masa pandemi Covid-19, sebagian guru dan orangtua murid di SD 009 Samarinda Ulu sepakat menggunakan aplikasi percakapan WhatsApp. Aplikasi tersebut menjadi media distribusi belajar-mengajar. Para guru akan membuat catatan dan bahan ajar dari buku pelajaran yang ditulis dalam dokumen Microsoft Word. Berkas itu kemudian dikirimkan kepada orangtua murid. Di rumah, orangtua diminta membantu anak mengerjakan soal yang diberikan saban Senin sampai Kamis. Jawaban setiap mata pelajaran lalu dikirimkan via WhatsApp kepada guru untuk dinilai.
Masalahnya adalah keluarga Lena sama sekali tidak memiliki telepon pintar. Padahal, empat dari enam anaknya bersekolah (satu anak Lena tinggal bersama mertua). Yang paling tua, Mutiara, duduk di kelas enam SD. Gebril di kelas tiga. Kedua adiknya di kelas satu dan kelas dua.
“Kedatangan saya untuk mengetahui kesulitan murid selama belajar di rumah. Murid yang bernama Gebril ini tidak punya smartphone,” tutur Tutik kepada reporter kaltimkece.id yang mengikutinya berkunjung ke kediaman Maria Magdalena.
Lena bersama suami dan lima anaknya tinggal di sebuah gubuk. Rumah yang amat kecil itu berdiri di tepi kebun singkong di dalam gang tak bernama di Jalan Wiraguna, Kelurahan Sidodadi, Samarinda Ulu. Dinding rumahnya yang dicat hitam hanya terbuat dari sisa kayu lapis yang tak terpakai.
Ruang tamu rumah itu menyatu dengan kamar tidur. Ukurannya hanya 3 meter x 3 meter, udaranya pengap, dan apek seperti berbau keringat yang sudah lama mengering. Selembar karpet tipis adalah tempat duduk keluarga. Kasur busa tanpa seprai yang sudah terkoyak di sana-sini terhampar di pojok kamar. Di ujung kasur, sebuah televisi tabung usang berukuran 21 inchi menjadi satu-satunya hiburan keluarga. Televisi itu hanya menyala sekali-sekali manakala Lena bisa membayar tagihan dari sambungan listrik tetangga.
Lena adalah seorang perempuan yang putus sekolah ketika masih kelas tiga SD karena menderita penyakit saraf. Dulunya ia bekerja serabutan sebagai penyapu sekolah. Saat pandemi dan sekolah-sekolah ditutup, ia pun menganggur. Suaminya yang biasanya menjadi buruh bangunan atau tukang parkir juga bernasib sama. Pada masa pandemi, sang suami akhirnya memulung sampah. Penghasilan keluarga ini tak pernah tentu. Jika hari sedang baik, mereka bisa memperoleh Rp 100 ribu per hari. Jika cuaca tidak bagus, mendapat Rp 50 ribu saja sudah disyukuri.
“Jangankan membeli handpone, mau makan saja susah. Ngutang dan minta sana-sini,” aku Lena seraya menghela napas panjang.
Awalnya, hidup tanpa gawai pintar bukan masalah bagi Lena. Memasuki masa pandemi, barang elektronik tersebut menjadi sangat penting bagi anak-anak Lena yang belajar jarak jauh. Bukan sekali dua kali, anak-anak Lena merengek meminta handphone agar bisa belajar seperti teman-teman mereka yang lain.
“Saya menangis kalau mengingat anak-anak saya tidak punya handphone buat belajar. Jangankan handphone, buat makan saja susah,” ucap Lena dengan suara bergetar.
Lena mengikuti saran guru di sekolah. Ia mencari tetangga yang memiliki anak yang sekelas dengan anak-anaknya. Lena pun memohon agar anak-anaknya dibolehkan belajar bersama. Perempuan ini beruntung karena hidup di antara tetangga yang dermawan. Semua anaknya akhirnya memiliki tempat untuk belajar jarak jauh meskipun harus bergantian telepon pintar.
“Semua biaya internet juga ditanggung tetangga. Saya sangat berterima kasih kepada mereka,” lanjutnya.
Kategori Super Darurat
Empat anak Lena hanya satu dari sekian banyak murid yang tidak memiliki telepon genggam untuk belajar. Murid-murid seperti ini, kata Kepala Dinas Pendidikan Samarinda, Asli Nuryadin, masuk kategori terbawah dari empat lapisan peserta sekolah daring yang telah dipetakan. Lapisan pertama adalah golongan mampu yang memiliki fasilitas telepon pintar, komputer jinjing, tablet, serta jaringan internet yang memadai. Lapisan kedua terdiri dari kelompok yang memiliki gawai namun terkendala jaringan dan paket data internet. Ketiga adalah lapisan dengan orangtua hanya memiliki gawai terbatas namun tidak cukup digunakan karena anaknya lebih dari satu.
“Kategori keempat yaitu super darurat. Tidak punya gawai dan paket data sama sekali,” kata Asli kepada kaltimkece.id, Selasa 28 Juli 2020. “Jumlah (kategori super darurat) ini hanya lima persen dari seluruh murid di Samarinda.”
Untuk lapisan super darurat, Disdik menawarkan sejumlah jalan keluar. Murid bisa menumpang kepada rekan atau tetangga yang memiliki gawai. Jatah pulsa harian bisa dikoordinasikan ke sekolah. Atau, jika tak memungkinkan, sekolah bisa menugaskan guru kelas mendatangi atau berkumpul di suatu tempat untuk belajar. Dengan catatan, maksimal lima siswa dan patuh terhadap protokol Covid-19.
Situasi seperti ini juga dicermati Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Rusman Yakub. Menurutnya, meskipun kewenangan SD dan SMP ada di kabupaten/kota, Pemprov Kaltim harus terlibat merumuskan pola alokasi subsidi untuk meringankan beban peserta didik. Namun demikian, politikus Partai Persatuan Pembangunan ini melihat kondisi perekonomian yang lesu ditambah realokasi anggaran penanganan Covid-19. Subsidi seperti itu termasuk berat dan memiliki banyak tantangan di tingkat pelaksanaan. (*)
Editor: Fel GM