kaltimkece.id Tema mengenai estetika kota belum berhenti setelah Warung Tenda Iga Bakar Sunaryo dibongkar Pemkot Samarinda. Penertiban warung di perempatan Jalan A Yani, Sungai Pinang, pada Selasa, 6 September 2022, tersebut memantik Komite September Hitam mengadakan diskusi. Sejumlah narasumber hadir dalam temu wicara di Taman Universitas Mulawarman.
Rabu sore, 7 September 2022, diskusi bertema Estetika Kota Pusat Peradaban, Menyambut Hari Pamong Praja, diadakan di depan Dekanat Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Unmul, di Gunung Kelua, Samarinda. Anggota Komite September Hitam yang menginisiasi acara ini adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unmul, Aksi Kamisan Kaltim, dan Kelompok Belajar Anak Muda.
Kepala Seksi Penyelidikan dan Penyidikan, Satpol PP Samarinda, Surono, adalah narasumber pertama. Ia mengatakan, berbicara estetika tidak bisa hanya satu kalimat. Estetika memiliki pandangan luas baik keindahan maupun ketertiban terhadap suatu aturan.
Surono membantah bila Pemkot Samarinda disebut pilih kasih dalam menertibkan pedagang yang mengganggu estetika. “Menertibkan dalam arti menjadikan lebih tertib. Tempat usaha yang dianggap melanggar peraturan daerah kami ingatkan dengan tahapan-tahapan. Jadi, tidak serta-merta kami tertibkan untuk dibongkar," jelasnya.
Ia melanjutkan, Satpol PP memiliki standar operasional prosedur dalam menangani sebuah pelanggaran. SOP tersebut seperti diadakan pemantauan dahulu dilanjutkan dengan pendekatan emosional. Pendekatan ini biasanya efektif sehingga penertiban tidak harus dalam konteks pembongkaran tempat berjualan.
Narasumber berikutnya adalah Kepala Bidang Penataan Ruang, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Samarinda, Nufida Pujiastuti. Sehubungan Warung Tenda Iga Bakar Sunaryo, katanya, Pemkot Samarinda berprinsip bukan membongkar warung. Yang dibongkar adalah bangunan liar. Bangunan seperti itu tidak berizin atau melanggar ketentuan peraturan pemanfaatan ruang. Ketentuan yang bisa dilanggar di antaranya garis sempadan bangunan, keharusan menyiapkan lahan parkir, sampai menutup akses fasilitas umum yaitu trotoar.
“Kalau teman-teman semua mencermati, Pemkot Samarinda bukan pertama kali membongkar bangunan liar. Kami membongkar bangunan liar dekat kantor kami (Dinas PUPR Samarinda). Ada 26 kepala keluarga. Mereka tinggal di sana puluhan tahun. Posisinya sudah jual-beli tanah. Kami tidak mau tahu. Kami tetap bongkar," tutur Nufida Pujiastuti.
Penertiban seperti ini selalu melalui tahapan. Dimulai dari surat peringatan kemudian surat perintah bongkar pertama, kedua, dan ketiga. Setelah itu, dilaporkan kepada Wali Kota Samarinda baru ditertibkan.
“Untuk masalah Warung Tenda Iga Bakar Sunaryo, kami apresiasi. Artinya, tidak ada pergolakan sosial masyarakat yang memang kami hindari. Kami ini bukan tidak pro-UMKM, tapi ada posisi yang memang itu tidak boleh (dijadikan tempat usaha). Kalau kami membiarkan, kami salah. Begitu kami biarkan satu, yang lain akan ikut-ikutan,” ingatnya.
Nufida menyebutkan dua perda yang menguatkan tindakan pemkot. Pertama, Perda Samarinda 2/2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda 2013-2034. Kedua, Perda Samarinda 34/2004 tentang Bangunan Dalam Kota Samarinda yang mengatur garis sempadan bangunan.
Suara Mereka yang Ditertibkan
Seorang dari antara Pemilik Warung Tenda Iga Bakar Sunaryo, Suryani Thamrin, memberi keterangan dalam diskusi. Suryani menyesalkan karena mereka tidak bisa bertemu Wali Kota Samarinda untuk audiensi.
"Kami memperdebatkan hal ini, bukan berarti kami ngeyel dengan pemerintah. Kenapa kami susah sekali bertemu Wali Kota? Kenapa tidak ada ruang bagi kami, UMKM atau PKL, atau apapun namanya? Pada dasarnya, kota itu bukan hanya milik pemkot-nya tapi milik warganya juga,” sesalnya.
Ia melanjutkan, ada sisi-sisi lain yang perlu diperhatikan pemerintah sebelum penertiban. Contohnya adalah nasib para pekerja warung yang kehilangan pekerjaan. “Ada masalah pembinaan (UMKM) yang hilang. Dinas Lingkungan Hidup Samarinda juga baru turun ketika masalah itu viral. Lantas, mulai tiga tahun lalu kami berdiri, (DLH) ke mana? Kok tidak menegur? Enggak bisa ujuk-ujuk semua dinas turun, tutup, bongkar, tanpa pembinaan seperti ini," jelas Suryani.
Narasumber berikutnya adalah Marjiati. Ia tinggal di Jalan Danau Semayang, Kelurahan Sungai Pinang Luar. Marjiati diminta mengosongkan rumahnya karena diklaim lahan pemkot. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda yang mendampingi Marjiati memberikan penjelasan.
Fathul Huda Wiyashadi dari LBH Samarinda mengatakan, Marijati menerima surat peringatan yang diragukan secara administrasi. SP-1 dan SP-2 diterima dengan kop surat Kecamatan Samarinda Kota tanpa nama. Sementara itu, SP-3 menggunakan kop Sekretariat Daerah Samarinda dengan nama ditulis tangan. Bahkan, lanjut Fathul, SP-2 dan SP-3 disampaikan dalam waktu bersamaan.
“Berdasarkan cerita Ibu Marjiati, orang dari pemkot menemuinya sambil marah-marah," klaim Fathul.
Marjiati disebut telah mengajukan kepemilikan tanah berdasarkan Perda Samarinda yang mengatur Izin Membuka Tanah Negara kepada kecamatan. Akan tetapi, Marjiati bukannya disambut dengan selayaknya malah dibentak. LBH Samarinda mengambil langkah administrasi dengan mengajukan keberatan kepada sekretaris daerah dan wali kota Samarinda.
Pandangan Akademikus
Pengamat tata kota, Farid Nurrahman, menyampaikan pendapatnya. Pertama, ada perangkat yang mengatur perencanaan perkotaan. Namanya adalah rencana tata ruang yang berbentuk perda. Rencana tata ruang ini memiliki produk turunan yang disebut perencanaan detail.
“Samarinda sedang menyusun rencana detail yang banyak sekali. Nah, rencana detail itu bisa perwali atau perkada (peraturan kepala daerah). Prosesnya panjang. Di bawahnya lagi, ada produk yang namanya rencana tata bangunan lingkungan atau RTBL. Aturan-aturan itulah yang dijadikan dasar untuk menentukan estetika,” urai Farid.
Ia menegaskan bahwa estetika kota adalah subjektif. Ketika A bilang estetik, belum tentu B beranggapan seragam. Maka dari itu, diperlukan aturan dan batasan. Dalam kasus warung tenda, Farid menilai, kedua pihak ada salahnya dan ada benarnya. Dari sudut pandang pemerintah, Warung Tenda Iga Bakar Sunaryo sudah berdiri beberapa tahun tapi tidak pindah dan lain sebagainya.
“Kalau saya lihat, memang karena masalah estetika. Padahal, jika saat itu pasalnya langsung dikenakan kesesuaian ruang seperti yang Bu Nufida katakan, dan terkena peraturan IMB, pasti kena. Mungkin karena viral, ruang-ruang diskusi yang tadinya terbuka jadi tertutup. Itu juga sangat disayangkan. Tetapi harus dipahami juga, ketika mau berusaha, kita harus ikuti aturan," tutur Farid.
Farid menyarankan, Pemkot Samarinda menguraikan detail-detail tata ruang kota. Dengan demikian, masyarakat minimal bisa memahami mana yang diperbolehkan, mana yang tidak diperbolehkan, dan mana yang diperbolehkan dengan syarat.
Sementara itu, akademikus Fakultas Hukum, Unmul, Warkhatun Najidah, percaya bahwa semua aturan ada kuncinya. Kuncinya adalah partisipasi masyarakat. "Konflik bukan hanya dunianya orang hukum. Bukan hanya dunianya orang yang bertugas melaksanakan aturan. Ada juga bagian masyarakat. Apapun bentuknya, konflik hukum, konflik lahan, dan lain sebagainya, pasti ada jalan keluar,” terangnya.
Baca juga:
Ia menekankan bahwa dalam hukum, tidak bisa hanya dengan ‘katanya’. Ada dua hal yang harus dipegang untuk mengambil kebijakan hukum yakni substansi dan hukumnya. PKL yang mencari nafkah, contohnya, akan memberikan dampak ekonomi terhadap daerah. Namun demikian, mereka bukan sekumpulan orang yang paham hukum. Sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat menjadi penting.
“Adapun pemegang kewenangan, penting menjalankan tugas sesuai porsinya. Tidak berlebihan. Kuncinya ada di partisipasi masyarakat. Mohon maaf, itu (partisipasi masyarakat) yang selama ini buntu. Sebenarnya, tidak ada salahnya dibicarakan karena ada solusinya,” pesan Najidah. (*)