kaltimkece.id Museum Mulawarman dan Kedaton Kutai Kartanegara tampak ramai, Sabtu 15 Desember 2018. Sana-sini orang mengenakan baju taqwo, pakaian adat Kutai. Jumlahnya ratusan. Semua antusias menanti momen spesial masyarakat Kutai Kartanegara. Orang nomor satu di Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura segera dinobatkan.
Sultan Salehuddin II, sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke-XX wafat pada 5 Agustus 2018. Takhta diturunkan kepada putra mahkota Aji Pangeran Anum Surya Adiningrat melalui prosesi adat. Dia dinobatkan menjadi sultan pada usia 67 tahun.
Yang spesial dari penabalan sultan Kutai ke-XXI dengan gelar Aji Muhammad Arifin itu, untuk kesekian kalinya ketopong, mahkota Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, kembali ke kampung halaman.
Selama ini, mahkota dari emas dan permata itu disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Yang selama ini dipajang di Museum Mulawarman adalah tiruan.
Penulis yang sekaligus penjelajah, Carl Bock, dalam bukunya The Head Hunters of Borneo, menuliskan bahwa Sultan Aji Muhammad Sulaiman, sultan yang memerintah Kutai pada 1845-1899 memiliki enam sampai delapan pengukir emas. Mereka dipekerjakan khusus membuat barang-barang ukiran emas dan perak untuk sultan.
Menurut Menteri Kelestarian Nilai Adat Kesultanan Kutai, Aji Pangeran Haryo Kusumo Poeger menuturkan, ketopong tersebut turun-temurun diturunkan sejak Sultan Sulaiman, Sultan Alimuddin, Sultan Aji Muhammad Parikesit, Sultan Salehuddin II, dan sekarang dipakai Sultan Aji Muhammad Arifin. Prosesi penabalan mesti menggunakan ketopong asli. Untuk itu, proses pendatangan ketopong dilakukan sebulan sebelum penabalan.
Sebelum penabalan dan mahkota dikenakan, baik ketopong maupun calon sultan mesti menjalani prosesi. Dua prosesi dilakukan. Bertujuan pembersihan diri dan menangkal hal negatif. Termasuk untuk kelancaran prosesi.“Untuk ketopong dilakukan prosesi tepong tawar, sementara putra mahkota menjalani beluluh.”
Saksi Bisu Sejarah
Mahkota seberat hampir dua kilogram menjadi saksi masa keemasan hingga redupnya Kesultanan Kutai Kartanegara dalam konstelasi politik Republik Indonesia pada 1959 hingga 1965. Pada 1963, Presiden Soekarno mencetuskan gerakan Ganyang Malaysia sebagai langkah anti-neokolonialisme dan imperialisme, nekolim, akibat rencana Inggris membentuk Federasi Malaysia. Suasana politik memanas.
Apalagi, mengemuka rencana Dwi Komando Rakyat, Dwikora, untuk menyerang Malaysia di perbatasan utara Kaltim. Kala itu, Panglima Kodam IX Mulawarman sekaligus Penguasa Perang Daerah atau Paperda Suharjo Padmodiwirjo alias Haryo Kecik, menuding royal family Kutai Kartanegara bekerja sama dengan pemberontak.
Dalam buku Dari Jahitan Layar sampai Tepian Pandan, Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kartanegara yang ditulis Muhammad Sarip, selain tuduhan membantu pemberontak, Haryo Kecik menuding bangsawan Kutai ingin membangkitkan feodalisme Kutai. Para bangsawan Kutai pun ditangkap. Haryo juga memerintahkan massa membakar pakaian kebesaran sultan di halaman keraton Kutai Kartanegara yang sekarang Museum Mulawarman.
Tak hanya itu, patung, panji, beserta gambar-gambar sultan turut dibakar. Tak puas, Haryo juga berencana membakar keraton. Tak ketinggalan ketopong yang masih di dalamnya.
Namun, rencana itu urung setelah Abdoel Moeis Hassan, gubernur Kaltim periode 1962-1966 mengirim polisi berlatar etnis Banjar. Bangunan diamankan.
Moeis Hassan juga memerintahkan kepala Kejaksaan Negeri Samarinda menyegel keraton yang kala itu didiami Sultan Parikesit. Penyegelan dilakukan untuk meredam aksi massa (Dari Jahitan Layar sampai Tepian Pandan, Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kartanegara, 2018, hlm 178-179).
Penyegelan bangunan yang didirikan pada 1936 itu bermakna pengambilalihan istana Kutai kepada Pemerintah RI. Pemprov Kaltim mengganti rugi kepada Sultan Parikesit senilai Rp 64 juta, atau sekitar Rp 4,6 miliar pada 2018. Maka reduplah pemerintahan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Setelah penyerahan kepada negara, istana difungsikan menjadi museum. Ketopong yang dianggap penting pun disimpan di Museum Nasional atau biasa disebut Museum Gajah. Yang dipamerkan di Museum Mulawarman hanya replika.
Selain ketopong, benda pusaka lain disimpan di Museum Nasional adalah pedang emas milik sultan Kutai. Pedang tersebut digunakan dalam prosesi penabalan.
Editor: Bobby Lolowang