kaltimkece.id Pro-kontra menyelimuti isu pemindahan ibu kota ke Kaltim. Disambut positif karena memicu pemerataan pembangunan. Tapi dampak negatif yang dikhawatirkan juga tak sedikit.
Menurut Chairil Anwar, akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman (Unmul), perkembangan ekonomi bakal semakin masif berkat status ibu kota yang disandang Kaltim. Pemicunya adalah kedatangan 1,5 juta penduduk ibu kota. Efek dominonya bakal signifikan.
Tapi di satu sisi, realita itu berpotensi jadi bumerang. Pemerintah daerah wajib mengantisipasi dengan tepat. Sebagaimana hukum ekonomi, terbukanya kawasan baru, berdampak permintaan barang dan jasa yang meningkat. Apalagi ketika kawasan baru tersebut adalah ibu kota negara. Nyatanya, selama ini kebutuhan harian Kaltim bergantung suplai Jawa dan Sulawesi. Maka, sektor perkebunan, peternakan, dan jasa, menjadi komponen yang wajib ditingkatkan.
Jika semua bisa diantisipasi, pemda bisa semakin memaksimalkan kedekatan pemerintah pusat. Segala sesuatunya makin efisien. Kebutuhan daerah yang kerap tak terjangkau, bisa menjadi keresahan pemerintah pusat secara langsung. Efeknya terasa hingga kota-kota penyangga.
Dua Sektor Potensial
Bicara pemenuhan kebutuhan, ketersediaan pangan di Kaltim memang mesti jadi perhatian. Ada dua sektor yang dianggap potensial. Yakni pertanian dan perikanan. Seperti diungkapkan Wakil Direktur III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda Husmul Beze.
Di Kaltim sendiri, daerah-daerah potensi pertanian ada di Kukar, Paser, dan Kutai Timur. Untuk memenuhi kebutuhan pangan tambahan 1,5 juta penduduk ibu kota, pasokan dari ketiga kabupaten tersebut bisa memenuhi jika dimaksimalkan. Tingkat permintaan yang masif pun bisa memicu Kaltim memaksimalkan potensi pangan. Mengganti ketergantungan pendapatan selama ini dari batu bara dan migas.
"Tapi dalam waktu yang cukup mepet mengejar swasembada pangan lewat beras memang cukup berat," ujarnya. Terakhir kali Bumi Etam memenuhi kebutuhan beras penduduknya adalah pada 1996. Saat itu, produksi gabah kering giling (GKG) Kaltim mencapai 408 ribu ton. Tapi sejak itu, kebutuhan banyak bergantung provinsi lain. Pada 2017 dengan penduduk berjumlah 3,57 jiwa produksi GKG Kaltim hanya 393,4 ribu ton atau setara 247,2 ton beras. Atau hanya memenuhi 60,62 persen kebutuhan warganya.
Kondisi itu mestinya mendorong Kaltim untuk bersiasat. Ada bahan pangan lain bisa dijadikan sumber baru. Di antaranya sorghum dan jelai. Tanaman mirip gandum tersebut dinilai layak menjadi sumber pangan baru. "Sudah mulai dikembangkan di Kukar dan Kutai Barat (Kubar), namun lagi-lagi kalah pamor dengan beras," ujarnya.
Menurunya, dua komponen tersebut memiliki potensinya tinggi. Sebagai contoh, di Kaltim 1 hektare sawah menghasilkan 6-7 ton beras. Sementara untuk sorgum, bisa menghasilkan 8 ton per 1 hektare. Kondisi geografis Kaltim memang sulit bila bergantung padi. Kontur tanah Bumi Etam berbeda dengan Sulawesi dan Jawa. "Di sana satu hektare sawah bisa menghasilkan beras hingga 12 ton," terangnya.
Dengan kondisi Kaltim yang dekat garis khatulistiwa, sorgum menjadi tanaman yang unggul dibanding padi. Apalagi dari sisi kesehatan dan potensi ekonomi juga lebih unggul. Selain tinggi serat, pangan tersebut juga non-gluten.
Industri lain bisa digenjot dan berpotensi ekonomi besar adalah perikanan. Perairan Kaltim memiliki luas lebih 10 kilometer persegi. Saat ini konsumsi ikan di Kaltim 46,41 kilogram per kapita per tahun. Lebih tinggi dari konsumsi ikan nasional (39 kilogram per kapita per tahun).
Menurut Prof Helminuddin, mantan pembantu rektor III Universitas Mulawarman, sektor perikanan Kaltim memang tak bisa dipandang sebelah mata. Dengan 1,5 juta jiwa tambahan penduduk ibu kota, para nelayan tangkap, budidaya, dan pengolah bakal dapat sama besar manfaatnya. "Kalau enggak siap, kemudian tak mampu menyediakan kebutuhan, ujung-ujungnya mengirim lagi dari luar pulau. Akhirnya nelayan Kaltim cuma jadi penonton," terangnya.
Menyiapkan industri jadi langkah penting agar para pelaku usaha tak terkejut. Dua langkah bisa disiapkan adalah ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi adalah dengan memperluas sebaran budidaya ikan, sementara intensifikasi, meningkatkan jumlah produksi. "Jadi luas kerambanya sama. Hanya dengan teknologi membuat produksi bertambah. Misal dengan pakan dan pemberantasan hama yang menyebabkan produksi menurun," jelasnya.
Permasalahan Lingkungan yang Kompleks
Tak ada gading yang tak retak. Tak ada kebijakan yang tak dikritik. Seperti banyak program yang sudah-sudah, memindahkan ibu kota turut menuai kontra. Memindahkan ibu kota di Kaltim menjadi kekhawatiran mengusik kondisi Bumi Etam yang memiliki banyak hutan. Belum lagi persoalan lingkungan daerah ini juga kompleks.
Dalam catatan Jaringan Advokasi Tabang (Jatam) Kaltim sepanjang 2011 hingga 2019, ada 35 anak meninggal di lubang bekas galian tambang batu bara. Menurut pengamat lingkungan Bernaulus Saragih, semakin dekat kekuasaan dengan Kaltim, bakal membawa berpengaruh mesti tidak secara langsung. Namun, Pemprov tetap memerlukan keberanian memperbaiki dan mendukung upaya pemulihan lingkungan.
"Permasalahan lubang tambang ini tak akan ada selesainya. Karena bagaimana menutup lubang-lubang besar itu? Dari mana tanahnya? Jadi, lubang-lubang itu sebagian besar tak akan bisa dilakukan penutupan," ujar Bernaulus Saragih.
Hafidz Prasetiyo, kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Kaltim, menyebut perlunya transparansi mengenai pembangunan ibu kota. Terlebih soal lingkungan. "Bila salah, malah bisa jadi petaka," terangnya.
Selain studi kebutuhan air bersih yang belum spesifik, gembar-gembor luasan ruang terbuka hijau (RTH) masih jadi pertanyaan. Belum ada penjelasan spesifik. Jangan-jangan, taman biasa pun dianggap RTH. "Walhi sendiri, mendefinisikan RTH adalah ekosistem hutan. Bukan sekadar belukar rimbun," terangnya.
Hafidz mengingatkan tinjauan akademis yang lebih mendalam. Terlebih menghindari petaka bagi warga asli. Sepaku dan Samboja sebagai kawasan potensial, terletak di hulu Teluk Balikpapan. Terdapat banyak kampung nelayan tradisional di kawasan tersebut. Ibu kota diharapkan tak menggusur kelangsungannya.
Limbah akibat yang jadi kekhwatiran. Demikian juga limbah yang ditimbulkan bila kawasan hulu Teluk Balikpapan dijadikan kawasan perkotaan. Nelayan tradisional, kata dia, bukan tipe nelayan yang melaut jauh dari bibir pantai. "Jika terganggu, tentu akan menggangu para nelayan untuk mencari ikan," jelasnya.
Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan atau Kiara (2019) mencatat, setidaknya lebih 10 ribu nelayan setiap hari mengakses dan menangkap ikan di Teluk Balikpapan. Jumlah itu terdiri dari 6.426 nelayan Kukar , 2.984 nelayan PPU, dan 1.253 nelayan Balikpapan. "Ancaman sekarang ini selain telah menjadi jalur lalu lintas
kapal-kapal tongkang batu bara, Teluk Balikpapan akan dijadikan satu-satunya jalur logistik untuk kebutuhan pembangunan ibu kota baru," sebut Susan Herawati, sekretaris jenderal Kiara. (*)
Editor: Bobby Lolowang