kaltimkece.id Sebenarnya Presiden Soekarno tidak sungguh-sungguh hendak memindahkan ibu kota dari Jakarta. Setidaknya begitulah pandangan JJ Rizal, seorang sejarahwan muda dari Jakarta.
Pada 1960-an, Bung Karno memang pernah berencana memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Sayangnya, kata JJ Rizal, rencana tersebut tak seturut dengan kebijakan. Bung Karno justru membangun kompleks olahraga Senayan, Monumen Nasional, dan Masjid Istiqlal. Ketiga konstruksi itu makin mengokohkan Jakarta sebagai pusat negara.
Gagasan memindahkan ibu kota kemudian lenyap ditelan masa. Nyaris tak pernah disinggung pada orde selanjutnya di bawah Presiden Soeharto. Selama 32 tahun Orde Baru, pembangunan berpusat di Pulau Jawa belaka alih-alih memeratakan “keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia. Hasilnya adalah ketimpangan infrastruktur yang nyata.
Ketimpangan demikian itu yang akhirnya membawa wacana pemindahan ibu kota. Wacana ini baru berdenyut lagi pada periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Diskusi pemindahan ibu kota mengudara sebagai solusi melandaikan jurang ketimpangan pembangunan yang sudah sangat curam. Ketimpangan yang hadir karena kebijakan sentralistik Orde Baru tadi. Pada akhir pemerintahan SBY pada 2014, perencanaan pemindahan ibu kota pun dimulai. Kemudian dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo.
Perkembangan terbaru diperoleh selepas rapat terbatas di kantor presiden, Senin, 29 April 2019. Presiden Jokowi memastikan pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa. Kata kunci dari pemindahan ibu kota, kata Jokowi, adalah pemerataan pembangunan. Di samping itu, Pulau Jawa dianggap terlalu padat penduduk termasuk daya dukung lingkungan yang rendah serta potensi bencana alam.
Ada tiga yang sedang dipertimbangkan sebagai lokasi baru ibu kota negara. "Bisa di Sumatra tapi yang timur jauh, di Sulawesi agak di tengah, tapi barat kurang. Kalimantan di tengah-tengah. Ini ada tiga kandidat, tapi harus dicek," jelas Jokowi.
Presiden sendiri masih merahasiakan kota-kota yang dimaksud. Jokowi mengaku, masih menunggu kajian mendalam seperti daya dukung lingkungan hingga potensi kebencanaan.
Dari ketiga kandidat --Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi--, Kalimantan disebut yang paling cocok. Wilayah Kalimantan sangat luas, populasi kecil, dan potensi bencana alam sangat rendah. Sejalan pula dengan gagasan Bung Karno terdahulu.
Dalam perkembangannya, ada beberapa pilihan ibu kota negara untuk Kalimantan. Selain Palangkaraya, nama Kaltim dan Kalsel juga dipertimbangkan. Khusus Kaltim, lokasi itu adalah Teluk Balikpapan yang masuk wilayah Balikpapan dan Penajam Paser Utara (PPU).
Memilih Teluk Balikpapan
Ketika menjabat sebagai gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak telah berkali-kali menemui petinggi negara untuk mengajukan Teluk Balikpapan sebagai pengganti Jakarta. Pernyataan Faroek bahwa Kaltim lebih unggul dibanding Kalteng bukan tanpa alasan. Gubernur Faroek menyandarkan pernyataannya kepada hasil penelitian pakar tata kota dan teknologi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya.
Dalam kajian pakar arsitektur ITS, Prof Johan Silas, ibu kota baru setidaknya harus memiliki tiga karakter. Pertama, ibu kota negara adalah kota marina, yakni, kota yang membawa ciri negara kepulauan. Untuk karakter ini, Kaltim memang memiliki garis pantai lebih panjang dibanding Kalteng.
Karakter kedua, sesuai hasil penelitian ITS, lokasi ibu kota mesti di tengah-tengah wilayah Indonesia. Jika dua garis ditarik dari Sabang hingga Merauke, dan dari Miangas hingga Pulau Rote, titik temu keduanya adalah di antara Kaltim dan Sulawesi Tengah.
Karakter ketiga adalah ketersediaan infrastruktur transportasi seperti pelabuhan laut dan udara bertaraf internasional. Kedua jenis pintu masuk tersebut amat diperlukan dalam pemindahan ibu kota. Ada banyak manusia dan bahan material yang harus diterima “daerah khusus ibu kota” yang baru. Baik pelabuhan maupun bandara internasional, Balikpapan memilikinya.
Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi sejak tiga tahun silam telah mendukung wacana tersebut. Meskipun, katanya, Balikpapan tidak bisa sendirian karena keterbatasan lahan. Solusinya adalah bersama-sama PPU yang masih di wilayah Teluk Balikpapan dan memiliki lahan yang luas.
Keunggulan Keamanan
Teluk Balikpapan adalah sebuah laut kecil dengan kedalaman cukup yang bersetepi dengan Selat Makassar. Secara administrasi, teluk ini “dimiliki” tiga kabupaten/kota yakni Penajam Paser Utara (80 persen), Balikpapan (17 persen), dan Kutai Kartanegara (3 persen). Teluk ini terdiri dari 42 kelurahan dengan luas daerah aliran sungai 211.456 hektare dan perairan 16.000 hektare. Adapun populasinya, diperkirakan sekitar 250 ribu jiwa.
Dua pelabuhan telah berdiri di Teluk Balikpapan. Pelabuhan penumpang di Semayang dan pelabuhan barang berkelas internasional di Kariangau. Teluk Balikpapan juga memiliki objek vital nasional yakni fasilitas kilang minyak Pertamina. Kilang-kilang itu kelak berdampingan dengan dua kawasan industri yakni Kariangau (Balikpapan) dan Buluminung (PPU). Dua jembatan seyogianya akan berdiri melintasi teluk yakni Jembatan Pulau Balang dan Jembatan Tol Melawai-Nipahnipah.
Jika berbicara Palangkaraya dan Teluk Balikpapan sebagai kandidat ibu kota negara, terdapat perbedaan besar di antara keduanya. Secara geografis, Palangkaraya adalah sebuah daratan luas yang terhampar di tengah-tengah pulau. Sementara Teluk Balikpapan adalah hamparan air yang dikelilingi pulau.
Selanjutnya, jika berbicara ibu kota, berarti menyinggung sebuah kota dengan posisi yang aman dari segala ancaman. Baik pada masa tenang maupun perang. Dari sudut pandang itu, banyak negara besar sengaja memilih lokasi ibu kota yang dekat dengan perairan.
Washington District of Columbia, misalnya, berdiri di pantai timur Amerika Serikat. Tiongkok dan Rusia, dua negara beraliran “kiri” dengan daratan yang luas, juga sama. Beijing berlokasi di pantai timur Tiongkok. Sementara Moskow, ibu kota baru Rusia setelah Saint Petersburg, berdiri di tepi daratan.
Contoh yang lebih bertalian dengan pemilihan lokasi ibu kota adalah Australia. Persemakmuran Inggris itu meletakkan pusat pemerintahan federalnya di Canberra. Dulunya, sekitar seabad lalu, Sydney dan Melbourne yang bersaing ketat menjadi ibu kota negara. Kedua kota ini sama-sama majunya. Sama-sama padat penduduknya. Namun, Pemerintah Australia memilih lokasi baru yang masih sepi di tenggara benua. Canberra, kota dekat Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, yang menjadi ibu kota.
kaltimkece.id sempat mewawancarai Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan, Universitas Pertahanan, Laksamana Muda TNI Dr Amarulla Octavian. Ia menyampaikan pendapatnya mengapa pertimbangan pengendalian keamanan nasional diperlukan dalam menentukan lokasi ibu kota. Menurutnya, ibu kota negara dalam perspektif keamanan adalah markas komando militer. Markas ini bertugas memberikan reaksi ketika musuh memasuki wilayah terluar.
Dalam sudut pandang tersebut, posisi Balikpapan dan PPU dalam tinjauan militer menjadi sangat penting. Laksda Amarulla menyebut bahwa Teluk Balikpapan mendekati center of gravity republik, titik pusat republik. Ini membawa banyak keuntungan. Sebagai contoh, jalur komunikasi akan relatif lebih baik dan merata ke seluruh NKRI.
“Mulai radio low frequency hingga ultra high frequency dapat bekerja dengan baik. Kedua jalur itu yang mengendalikan alutsista di darat, laut, dan udara,” ulasnya.
Alam turut mendukung. Kontur Balikpapan yang tidak dikelilingi gunung tinggi membuat pancaran frekuensi berkekuatan tinggi lebih lancar. Posisi Balikpapan juga memudahkan pembangunan pangkalan militer modern. Pangkalan laut akan terintegrasi untuk ketiga matra tadi.
“Model pangkalan militer seperti ini diyakini lebih efektif dan efisien menghadapi peperangan modern pada masa depan,” ulas peraih doktor dari Universitas Indonesia tersebut.
Dari sisi strategi, lanjutnya, Indonesia sebagai negara kepulauan memerlukan taktik khusus. Salah satu contoh adalah strategi perang kepulauan atau archipelagic warfare. Strategi ini mensyaratkan pertahanan berlapis. Laut pun menjadi modal penting. Jika Teluk Balikpapan adalah ibu kota negara, kota itu harus menjadi status pertahanan terakhir sekaligus kantong utama gerilya laut. Posisi Teluk Balikpapan di tengah-tengah Nusantara membawa keuntungan menjalankan strategi tersebut.
Persiapan Matang
Pemindahan ibu kota niscaya membawa banyak dampak positif bagi daerah yang nantinya menyandang status DKI. Pemerataan infrastruktur tidak lagi berpusat di Pulau Jawa. Kesenjangan ekonomi antarwilayah juga terpangkas. Namun begitu, pemindahan ibu kota diyakini juga membawa dampak negatif.
Kepada kaltimkece.id, pakar perencanaan wilayah dan tata kota dari Institut Teknologi Kalimantan, Farid Nurrahman, menyampaikan pandangan. Pemindahan ibu kota berarti migrasi manusia secara besar-besaran. Bukan hanya pegawai negeri pemerintah pusat, ibu kota juga pasti menerima delegasi seluruh negara. Kaltim dengan pintu masuk pelabuhan dan bandara yang berkelas internasional memudahkan arus migrasi itu.
“Jika Kaltim menjadi ibu kota negara, artinya harus siap pula menerima arus urbanisasi,” terang peraih master dari University of Greenwich, London, tersebut. Dalam skenario migrasi besar-besaran, yang terjadi berikutnya adalah fenomena ledakan penduduk. Dalam pengembangan perkotaan, kasus seperti itu dapat menimbulkan masalah sosial jika tidak direncanakan dengan matang.
Sebagai contoh permukiman kumuh, kriminalitas, hingga kemacetan lalu lintas. Masalah sosial ini muncul karena ketidakseimbangan populasi dengan ketersediaan infrastruktur. Jika potensi ini tidak diredam dan diantisipasi sejak awal, kata Farid, ibu kota yang baru kelak menjadi Jakarta juga. Sebuah ibu kota negara dengan seribu problema. (*)