kaltimkece.id Segelas minuman manis dari nira bunga pohon aren langsung mengusir dahaga Jenderal Abdul Haris Nasution di tengah perbincangannya bersama lelaki bernama Sastro. Kepada kepala Desa Karang Joang di Balikpapan itu, sang kepala Staf Angkatan Darat segera mohon pamit. Suara mesin helikopter sudah menderu-deru, pertanda ia harus meneruskan perjalanan.
Delapan belas kilometer dari pusat kota Balikpapan, Nasution sedang meninjau program transmigrasi di Kaltim pada musim kemarau 1964. Helikopter milik perusahaan Uni Soviet, perusahaan yang membangun jalan Balikpapan-Samarinda, siap mengantar ke kampung transmigran yang lain bernama Petung. Di Petung, kini kelurahan di Kabupaten Penajam Paser Utara, Nasution hendak melihat kehidupan kelompok transmigran dari Jawa Tengah.
Sepanjang kunjungannya, Panglima Komando Daerah Militer IX Mulawarman Brigadir Jenderal Suhario Padmodiwirjo setia mendampingi. Selain bertetanga di Jakarta, Suhario dan Nasution adalah petinggi militer dari angkatan 45.
Dari langit Balikpapan, keduanya menikmati panorama padang rumput ilalang yang sangat luas dalam perjalanan menuju Petung. Mereka bergabung bersama para transmigran setengah jam kemudian.
Tak perlu waktu panjang bagi Jenderal Nasution menemukan masalah dalam program yang dijalankan Jawatan Transmigrasi, Kementerian Sosial. Menurut penjelasan penduduk dan Pangdam Suhario, para transmigran telah direlokasi dari tempat semula. Para petani dari Pulau Jawa itu, tulis Suhario dalam bukunya berjudul Pemikiran Militer II: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2009), sebelumnya diberi tanah gersang di Petung oleh Jawatan Transmigrasi.
Baca juga: Hoax Emas Kaltim yang Mendunia-1: Dari Makan Malam, Sejarah Gelap Busang Dimulai
Pangdam Suhario menuding Panglima Hartoyo sebagai pendahulunya di Kodam memanipulasi pengiriman transmigran. "Lebih tegasnya ada korupsi," tulis Suhario yang dikenal dengan nama pena Hario Kecik.
Dasar tuduhan itu ialah kebutuhan tenaga kerja dalam jumlah sangat besar dari Shell dan Bataafsche Petroleum Maatschappij, BPM. Shell dan BPM adalah operator penyulingan minyak di Balikpapan sebelum Pertamina. Mereka memerlukan tenaga kerja untuk menunjang proyek pemasangan pipa minyak dari Tanjung, Kalimantan Selatan, hingga Balikpapan.
Jaringan pipa itu kurang lebih 300 kilometer panjangnya. Dibangun untuk menyalurkan minyak tanah kental dengan kadar parafin yang sangat tinggi. Minyak dikirim dari sumur pengeboran di Tanjung menuju pabrik pengolahan di Balikpapan. Selain pemasangan pipa, Shell dan BPM harus membangun beberapa booster-stations agar minyak dapat mengalir ke tujuan.
Jalan paling murah menyelesaikan proyek tersebut, tulis Suhario, adalah menyalahgunakan Jawatan Transmigrasi. Lewat pejabat-pejabat yang korup, para petani dari Jawa Tengah disuguhi janji mendapat tanah di Petung asalkan mau mengikuti program transmigrasi. Calon transmigran juga ditunjukkan peta lengkap dengan pembagian petak tanah yang nampaknya bagus-bagus saja.
Hampir seribu transmigran kemudian dikirim ke Kaltim. Di Petung, mereka dikumpulkan di sebuah barak yang tak ubahnya kamp tawanan perang. Para transmigran ditelantarkan para petugas jawatan supaya mau menggali tanah untuk pemasangan pipa. Setelah pekerjaan itu selesai, ribuan orang dibiarkan begitu saja di kamp Petung. Banyak dari mereka membanjiri kota Balikpapan untuk mengemis sehingga disebut sebagai “Pengemis Petung.”
Pangdam Suhario yang jengkel bahkan sampai mengumpat, "Inilah bentuk kekurangajaran Jawatan Transmigrasi menutupi kejahatannya." Dugaan transmigrasi palsu di Petung semakin kuat karena tanah yang disediakan sama sekali tidak layak untuk pertanian.
Jenderal Nasution yang menerima informasi itu tidak mengajukan sanggahan. Menurut Suhario, Nasution sudah mengetahui duduk perkaranya.
Selepas melihat kampung relokasi transmigran, keduanya masuk ke ruangan kepala Jawatan Transmigrasi setempat. Udara kering pada kemarau panjang membuat Nasution sangat haus. Dia segera menghabiskan air dari veldfles, botol minum tentara, yang disodorkan oleh Suhario.
Baca juga: Mahakam Ulu, Jalan Panjang Wilayah yang Terpinggirkan
Tulisan Suhario yang memojokkan Shell dan BPM, dua perusahaan asing di Balikpapan, sangat dipengaruhi situasi saat itu. Sentimen anti-Inggris dan Amerika sedang mengemuka, tak lama setelah Malaysia terbentuk pada 16 September 1963. Kedatangan Jenderal Nasution ke Kaltim bertepatan dengan gerakan Ganjang Malaysia yang dikobarkan Presiden Soekarno.
Pada penghabisan masa pemerintahannya, Soekarno menuding pembentukan Malaysia merupakan boneka neokolim Barat, dalam hal ini Amerika dan Inggris, untuk melawan Indonesia. Sebagai bentuk protes, Indonesia keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1963 (Dari Soekarno sampai SBY, 2009).
Patut dicatat pula, Suhario adalah seseorang yang bersahabat rapat dengan pemimpin Partai Komunis Indonesia di Kaltim. Dia termasuk pendukung setia Presiden Soekarno. Suhario juga beberapa kali disebut-sebut terlibat dalam serangkaian serangan terhadap kesultanan di Kaltim dan Kaltara.
Proyek Selesai
Simpanan minyak bumi di Tanjung, Kalimantan Selatan, telah ditemukan sejak 1939. Namun, pipa penyalur baru dibangun pada akhir 1950-an. Pendudukan Jepang sepanjang Perang Dunia II pada 1942 sampai 1945 membuat pembangunan pipa yang direncanakan sejak lama oleh BPM terganggu.
Jaringan pipa minyak bumi rampung pada akhir 1961. Sumur bor di Tanjung terhubung dengan Balikpapan setelah BPM dan Shell kembali mengambil alih pengelolaan, seperti ditulis Antara dalam artikelnya berjudul Pipa Migas, Riwayatmu Nanti (2012).
Baca juga: Musnahnya Dusun Sungai Nangka
Pertamina akhirnya menguasai penuh fasilitas minyak di Balikpapan pada 1965. Pipa minyak Tanjung-Balikpapan kemudian beberapa kali direhabilitasi. Pada 1998, Pertamina membenamkan pipa berukuran sama, 20 inchi, di Teluk Balikpapan.
Dua puluh tahun kemudian, pipa itu terseret 120 meter dari posisi semula diduga karena tertarik jangkar kapal. Putusnya pipa membuat minyak mentah tumpah dan menghadirkan ancaman bencana ekologi yang teramat besar. (*)