kaltimkece.id Satu di antara skenario pemindahan ibu kota negara adalah migrasi 1,5 juta orang dari Jakarta. Jutaan migran ini dibagi menjadi tiga bagian menurut kalkulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Komponen pertama adalah abdi negara sebanyak 221.210 jiwa. Terdiri dari 195.550 aparatur sipil negara (ASN, dulu disebut PNS) dan 25.660 anggota TNI/Polri. Seluruh pegawai negeri tersebut diperkirakan membawa 884.840 anggota keluarga, yang masuk komponen kedua. Bappenas mengestimasi, setiap ASN memiliki empat anggota keluarga. Kalangan yang terakhir adalah migran yang beraktivitas di sektor ekonomi pendukung. Jumlahnya disebut 393.950 orang.
Kedatangan pegawai negeri dalam jumlah jumbo ini berdampak besar dari sisi perekonomian. Kaltim, sebagai pusat pemerintahan negara, segera memiliki denyut nadi ekonomi baru. Menggantikan denyut yang lama yakni kebergantungan ekonomi Kaltim kepada sumber daya alam tak terbarukan. Ukurannya jelas. Pendapatan para ASN dan anggota TNI/Polri bersumber dari APBN. Anggaran pusat inilah yang menjadi detak jantung perekonomian Kaltim pada masa mendatang.
Besar pendapatan ASN dan anggota TNI/Polri yang pindah ke Kaltim ini dapat dihitung. Sebagai dasar kalkulasi adalah alokasi gaji ke-13 dalam APBN 2019. Pemerintah menyiapkan Rp 11,1 triliun untuk gaji dan tunjangan 968.843 ASN instansi pusat. Dengan demikian, pendapatan rata-rata ASN pusat adalah Rp 11,4 juta per bulan per orang.
Berdasarkan perhitungan Bappenas, jumlah abdi negara yang bermigrasi ke Kaltim kelak 221.210 orang. Jika jumlah pegawai itu dikalikan dengan pendapatan rata-rata ASN pusat tadi, total pendapatan ASN yang bermigrasi ke ibu kota baru di Kaltim nanti Rp 2,53 triliun per bulan. Dengan 13 kali gaji setahun, potensi uang dari pendapatan ASN saja mencapai Rp 32,92 triliun setahun.
Meski demikian, tentu Rp 32,92 triliun ini tidak habis dikonsumsi di Kaltim. Logika sederhananya, suatu keluarga yang berkecukupan tidak menghabiskan pendapatan mereka pada bulan yang sama. Sebagian uang akan ditabung atau diinvestasikan. Persis dengan Hukum Engel seperti dikemukakan Ernst Engel (1857). Bila selera tidak berbeda, persentase pengeluaran untuk makanan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan.
Indikator untuk mengukur uang yang beredar di Kaltim adalah berdasarkan konsumsi ASN. Perkakas yang paling tepat adalah pengeluaran rata-rata per kapita. Pengeluaran rata-rata per kapita didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi seluruh anggota rumah tangga selama sebulan. Artinya, pengeluaran rata-rata suatu keluarga. Indikator ini dibagi dalam dua jenis, kelompok makanan dan bukan makanan.
Mengutip publikasi Badan Pusat Statistik atau BPS, pengeluaran rata-rata per kapita di DKI Jakarta adalah yang tertinggi di Indonesia. Besarnya Rp 2,1 juta per kapita. Bandingkan dengan Kaltim yang pengeluaran rata-rata per kapitanya hanya Rp 1,63 juta. Di Jakarta, pengeluaran ini sejalan dengan rata-rata upah atau gaji bersih buruh, karyawan, dan pegawai lapangan dari pekerjaan utama di 17 sektor. Pada 2018, besar rata-rata upah di Jakarta Rp 4,41 juta.
Jika diasumsikan seorang pegawai negeri membawa serta satu keluarga, ada 221.210 keluarga baru di Bumi Etam. Jika sebelumnya ASN pusat ini bekerja di Jakarta, konsumsi mereka menembusRp 464,5 miliar per bulan berdasarkan standar DKI Jakarta tadi. Setara dengan Rp 5,57 triliun setahun. Inilah uang yang dibelanjakan para ASN, yang berarti, beredar di Kaltim.
Sebagai catatan, angka konsumsi Rp 5,57 triliun setahun ini masih sangat relatif. Yang jelas, batas atas konsumsi ASN pusat yang pindah ke Kaltim mencapai Rp 32,92 triliun. Inilah yang disebut potensi uang yang beredar.
Angka minimal Rp 5,57 triliun dan maksimal Rp 32,92 triliun ini sejatinya amat besar. Untuk memudahkan gambarannya, tinggal dibandingkan dengan perputaran uang di Kaltim tahun ini. Peredaran uang dicatat oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kaltim. BI memakai pendekatan inflow dan outflow untuk mengukurnya. Inflow adalah intensitas penukaran uang tunai dari perbankan dan masyarakat ke BI. Adapun outflow, adalah permintaan uang tunai dari masyarakat dan perbankan.
Sepanjang 2018, outflow Kaltim sebesar Rp 10,98 triliun. Inflow pada tahun yang sama Rp 8,33 triliun. BI menyebutkan, perputaran uang yang paling besar ada di Samarinda, Balikpapan, dan Kutai Timur. Angka pengeluaran rata-rata Rp 5,57 triliun (minimal) dari 221.210 ASN pusat Kaltim tadi, sudah 50 persen dari peredaran uang selama ini di Kaltim. Artinya, angka inflow dan outflow Kaltim tadi, akan naik setengah kali --sangat mungkin lebih-- daripada 2018.
Peluang yang Tercipta: Pangan
Dari migrasi besar-besaran ASN berserta anggota keluarga, kebutuhan yang bersalin menjadi permintaan juga ikut meledak. Para ASN dan keluarganya saja, jumlahnya 1,1 juta orang, barang tentu perlu makan, papan, pakaian, liburan, dan hiburan.
Menurut pengeluaran rata-rata per kapita, satu keluarga di DKI Jakarta membelanjakan Rp 900 ribu sebulan untuk makanan. Baru dari urusan perut, uang yang berputar di ibu kota baru ini Rp 200 miliar sebulan atau Rp 2,4 triliun setahun.
Inilah peluang besar bagi para petani Kaltim. Yang pertama adalah petani yang menanam padi. Menurut BPS, kebutuhan beras per kapita per tahun di Indonesia adalah 111,58 kilogram. Itu berarti, permintaan beras bagi 1,1 juta jiwa --ASN berikut anggota keluarganya-- mencapai 122 ribu ton setahun. Setara 334 ton per hari.
Peluang ini sangat terbuka jika menengok Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Kedua kabupaten ini bukan hanya berstatus ibu kota negara. PPU dan Kukar sejatinya adalah lumbung beras Bumi Mulawarman selama ini. Masalah yang harus diselesaikan adalah Kaltim sebenarnya “belum mampu” memenuhi kebutuhan beras sendiri. Pada 2018, produksi beras provinsi adalah 347 ribu ton dari 58 ribu hektare sawah dan ladang (Derap Langkah Pembangunan Kaltim, 2008-2018, hlm 144). Masih kurang 160 ribu ton agar Kaltim berstatus swasembada beras.
Kepindahan ibu kota semestinya menjadi angin segar pertanian padi di Kaltim. Ketika “pasar besar” yakni 1,1 juta jiwa pindah ke Kaltim, daya saing produk lokal mestinya bertambah. Sederhananya, harga beras hasil panen Bumi Etam mesti lebih murah ketimbang kiriman dari Jawa atau Sulawesi. Patut diingat, ibu kota negara berdiri di kabupaten berstatus lumbung beras Kaltim. Biaya distribusinya tentu lebih kecil.
Di samping beras, komoditas pertanian yang lain berpotensi berkembang pesat. Contohnya adalah lada. Produksi lada Kaltim mencapai 6.057 ton pada 2017. Begitu pula kelapa, petani Kaltim menghasilkan 13.647 ton pada tahun yang sama (hlm 158). Belum lagi buah naga yang tumbuh subur di Kaltim. Pasokan yang selama ini berlimpah kelak diserap pasar baru.
Kaum nelayan juga mendapat angin segar. Kaltim selama ini dikenal sebagai salah satu penghasil ikan. Produksi perikanan laut dan sungai pada 2017 saja 159.345 ton. Masih pada tahun yang sama, Kaltim telah mengekspor 2.340 ton produk perikanan dengan nilai Rp 416 miliar (hlm 168).
Masih banyak kebutuhan perut warga DKI nantinya yang harus dipenuhi. Amsal paling sederhana adalah air minum isi ulang. Apabila setiap orang minum 2 liter per hari, kebutuhan air minum ASN beserta keluarga dengan total 1,1 juta jiwa mencapai 2,2 juta liter saban hari. Kebutuhan besar air minum ini jelas membuka ladang bisnis berupa depo air minum isi ulang.
Air minum isi ulang biasanya memakai wadah dengan daya tampung 19 liter. Umumnya disebut galon (istilah ini sebenarnya kurang tepat karena 1 galon hanya 3,7 liter). Adapun kebutuhan 2,2 juta liter air minum tadi, membuka peluang karena setara dengan 115 ribu galon (wadah 19 liter) setiap hari. Jika suatu usaha isi ulang air minum mampu melayani 100 galon saja (omzet Rp 500 ribu) per hari, ibu kota baru memerlukan perlu 1.150 depo air minum isi ulang.
Baru dari air minum. Belum kopi, teh, gula, dan kebutuhan perut seterusnya, seterusnya, dan seterusnya.
Peluang yang Tercipta: Sandang-Papan
Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman, Aji Sofyan Effendy, memperkirakan bahwa uang yang masuk ke Kaltim dimulai sejak pra-konstruksi ibu kota. Digadang-gadang, kata dia, memerlukan Rp 40 triliun sepanjang 5-10 tahun mendatang. Terlepas konstruksi dikerjakan BUMN atau pihak tertentu yang bekerja sama dengan pemerintah pusat, warga Kaltim juga kebagian efek berantai.
“Khusus untuk konstruksi, syaratnya, material lokal dioptimalkan. Jangan sekedar batu dan pasir didatangkan dari luar Kaltim. Efek perputaran uang akan terasa di daerah,” jelas Aji Sofyan Effendi dari Unmul.
Peluang yang paling nampak adalah distributor bahan bangunan, kontraktor alat berat, hingga alat-alat kelistrikan. Mulai yang paling kecil seperti paku, hingga pembuatan batu bata dan genting.
Sektor perumahan juga ketiban peluang. Memang, tempat tinggal para ASN menurut rencana disiapkan pemerintah. Kabar terbaru, bentuknya berupa rumah susun. Namun, di luar ASN dan keluarga, masih ada 393.950 jiwa yang lain. Mereka adalah para migran pendukung perekonomian. Memakai asumsi Bappenas bahwa satu keluarga terdiri dari empat orang, kelompok pendukung perekonomian ini setara 98.487 kepala keluarga. Sebanyak itu pula rumah yang diperlukan.
Jika diasumsikan kebutuhan berupa rumah tipe 36 dengan harga Rp 150 juta per unit, uang yang beredar dari sektor ini menembus Rp 14 triliun. Biasanya, kredit perumahan berdurasi 15 tahun. Itu berarti, Rp 14 triliun itu setara transaksi kredit Rp 984 miliar setahun. Bukan hanya real estate, sektor perbankan hingga asuransi turut hanyut dalam alirannya.
Demikian halnya kebutuhan sandang. Asumsi paling kecil dipakai untuk menghitung permintaan ini. Bahwasanya, setiap satu keluarga ASN memesan jahitan dua potong pakaian saja dalam setahun (bukan membeli pakaian jadi di toko atau butik). Kebutuhan jasa menjahit untuk 1,1 juta penduduk ini menembus 2,2 juta potong pakaian per tahun.
Lapangan usaha konfeksi seperti garmen (dengan banyak penjahit) mutlak diperlukan. Menurut skripsi dari Universitas Katolik Soegijapranata berjudul Analisis Pengembangan Usaha pada Danricy Konveksi Semarang (2013), sebuah garmen mampu memproduksi 400 potong pakaian per hari. Jumlah pekerja yang diperlukan 14 orang (hlm 25). Artinya, garmen sebesar itu mampu memproduksi 146 ribu potong setahun, dengan catatan hanya pakaian polos. Bukan kemeja apalagi jas. Jika permintaan mencapai 2,2 juta potong pakaian setahun, setidaknya perlu 15 usaha garmen sejenis itu.
Adapun pakaian yang banyak dipesan kepada penjahit adalah kebaya. Kebutuhan yang satu ini membuka lebar industri rumahan. Perhitungannya sederhana. Jika 221.210 ASN pusat pindah ke Kaltim, diasumsikan bahwa istri ASN maupun ASN perempuan akan memesan setidaknya satu kebaya setiap tahun. Ini berarti, ada permintaan 221.210 potong kebaya.
Menurut Jurnal Ilmiah Populer Widyabakti berjudul PKM Kelompok Penjahit Kebaya Desa Meliling Tabanan (2018), seorang penjahit bisa menyelesaikan pesanan kebaya 5 sampai 6 potong sehari. Kemampuan itu setara 1.825 potong per penjahit per tahun. Dari memenuhi kebutuhan kebaya para migran saja, perlu 121 penjahit dengan keahlian khusus.
Itu baru dari pakaian dan kebaya. Belum permintaan jasa rias, pangkas rambut, dan kebutuhan sandang seterusnya, seterusnya, dan seterusnya.
Pengganti Sumber Daya Alam
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Tutuk SH Cahyono, memberikan analisisnya mengenai perpindahan ibu kota. Ditemui kaltimkece.id di kantornya, Kamis, 12 September 2019, Tutuk menyarankan Kaltim harus mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru dengan nilai tambah tinggi. Contohnya, hilirisasi minyak sawit mentah termasuk mengembangkan sektor pariwisata berwawasan lingkungan.
Faktanya, ekonomi Kaltim saat ini melambat. Efek dari turunnya harga jual dan permintaan komoditas batu bara. Pada 2019, peredaran uang di Kaltim dilihat dari outflow dan inflow tadi, turun dibanding 2018.
Tutuk menilai, rencana pemindahan ibu kota segera merangsang pertumbuhan infrastruktur. Orang berdatangan membawa uang. Ekonomi lebih dinamis dan cenderung meningkat. Kehadiran ibu kota turut mendorong konektivitas antardaerah di Kaltim termasuk antarprovinsi. Segendang sepenarian dengan peningkatan volume perdagangan antardaerah. Pemerataan infrastruktur memberikan peluang yang sama kepada masyarakat ekonomi lemah untuk berproduksi.
“Uang akan mengikuti ekonomi. Money follow trade (uang mengikuti perdagangan),” katanya.
Aji Sofyan Effendi, akademikus dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, juga satu kata. Pemindahan pusat administrasi negara ke Kaltim otomatis membuka beragam peluang. Sudah seharusnya, warga Kaltim menangkap peluang dari potensi yang besar ini. Contoh paling sederhana, kata dia, puluhan kantor kementerian dan duta besar memerlukan tenaga keamanan. Memerlukan petugas kebersihan. Memerlukan tenaga administrasi. Memerlukan jasa katering.
Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.
“Jadi, tidak usah dulu berpikir orang Kaltim menjadi direktur jenderal apalagi menteri. Yang riil saja dulu dan tidak lebay,” pesannya. (*)
Dilengkapi oleh Bobby Lolowang dan Nelandro Priambodo