kaltimkece.id Ada fakta penting dari lokasi ibu kota negara yang ditetapkan Presiden Joko Widodo. Kawasan sebagian Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kartanegara (kemungkinan besar di lahan PT ITCI Kartika Utama) ternyata dikelilingi izin pertambangan batu bara. Sebagian perusahaan pemegang izin telah beroperasi. Sebagaimana Samarinda sebagai ibu kota provinsi, lokasi ibu kota negara ini kemungkinan dikepung lubang bekas galian tambang.
kaltimkece.id menyigi perizinan tersebut sesuai koordinat yang diterima dari sumber terpercaya di Pemprov Kaltim. Berdasarkan citra yang diolah melalui perangkat lunak pemetaan ArcGIS, hampir 90 persen wilayah ibu kota adalah izin tambang. Bahkan di dalam konsesi kehutanan PT ITCI seluas 173.395 hektare, juga ditindih izin usaha pertambangan atau IUP.
Menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, telah terbit 625 IUP --dikeluarkan bupati-- di wilayah Kukar dengan total luas 876 ribu hektare. Belum ditambah 11 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) --dikeluarkan pemerintah pusat--, luas konsesi membengkak menjadi 1,27 juta hektare. Adapun Kabupaten PPU dengan luas wilayah 333.306 hektare, memiliki 151 IUP dengan total luas 218.927 hektare.
Dari angka tersebut, Jatam melokalisasi IUP di dua kecamatan yang menjadi lokasi ibu kota negara. Di Kecamatan Samboja, Kukar, telah dikaveling 49 IUP. Sementara di Kecamatan Sepaku, PPU, ditemukan 62 IUP.
Pradharma Rupang, dinamisator Jatam Kaltim, menjelaskan bahwa sebagian besar izin dikeluarkan pada masa otonomi daerah. Ketika itu, para bupati dan wali kota memegang kewenangan pertambangan. Sejak 2014, kewenangan tersebut beralih ke pemerintah provinsi sesuai Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintah Daerah.
Situasi Samboja dan Sepaku yang dikepung tambang menimbulkan kekhawatiran. Lubang bekas tambang di sekitar permukiman padat penduduk amat berbahaya. Ini berkaca dari tragedi lubang tambang di Kaltim. Sejak 2011 hingga sekarang, sudah 36 nyawa anak-anak yang melayang di bekas galian batu bara. Jatam lantas menilai rencana pemindahan ibu kota terkesan buru-buru.
“Secara teknis, lokasi yang ditetapkan dinilai belum memungkinkan. Harusnya tunggu izin (pertambangan) habis,” kata Rupang.
Andaikata tak ingin kehilangan wibawa dengan menarik keputusan pemindahan ibu kota, Jatam mendesak pemerintah tegas terhadap perusahaan. Dari urusan menutup lubang tambang hingga kewajiban yang lain. Jangan sampai ada lagi korban jiwa meninggal di lubang tambang.
“(Pemindahan ibu kota) jangan malah jadi tiket perusahaan keluar untuk lari dari tanggung jawab,” ingatnya.
Langkah Pemprov
Gubernur Isran Noor memastikan, perpanjangan IUP di lokasi ibu kota negara tak akan diterima. Kawasan yang dimaksud akan dikunci dan menjadi wilayah non-komersial lewat peraturan gubernur. Luas lahan yang digembok adalah 200.000 hektare. Draf pergub telah disiapkan, tinggal disahkan.
“Masih menunggu penentuan titik koordinat lokasi ibu kota negara yang baru. Sudah diplot. Kalau ada izin, tidak diperpanjang,” kata Isran Noor, Rabu, 28 Agustus 2019. Gubernur mengingatkan, perusahaan harus menjalankan tanggung jawab. Baik reklamasi lahan hingga penutupan lubang tambang. Kalau ada lahan overlap dengan izin konsesi tambang batu bara atau perkebunan, pemprov menunggu sampai selesai lalu tidak diperpanjang.
Gubernur juga berkomunikasi dengan bupati dan wali kota. Dari PPU, Kukar, Balikpapan, hingga Samarinda. Setiap daerah yang terdampak ibu kota akan merevisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) untuk disesuaikan dengan kawasan khusus ibu kota negara.
Pemprov Kaltim memang masih menunggu detail pemerintah pusat mengenai titik koordinat lokasi ibu kota negara. Kepastian ini untuk menyinkronkan RTRW provinsi dan pusat pemerintahan baru.
“Ini belum apa-apa. Baru kesah saja (rencana pindah ibu kota). Bicara dengan DPR saja belum,” terang Wakil Gubernur Kaltim, Hadi Mulyadi, Ahad, 1 September 2019. Wagub berbicara kepada reporter kaltimkece.id yang menanyakan perihal lokasi ibu kota baru yang dikepung tambang batu bara.
Jika mengacu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 23/2015, pemprov berwenang mengevaluasi dan mencabut IUP. Klausul itu tertuang dalam pasal 13 yang menyebut direktorat jendral dan gubernur bisa menciutkan wilayah IUP (WIUP) yang masuk wilayah pencadangan negara atau WPN apabila tumpang tindih.
Menanggapi itu, Hadi Mulyadi mengatakan, tak bisa sembarangan mencabut IUP di lahan ibu kota negara. “Ada kontraknya. Bertahap,” ucap Hadi yang pernah duduk sebagai anggota DPR RI di komisi yang membawahi bidang pertambangan. Sembari menunggu habisnya masa IUP di lokasi ibu kota, Hadi menyarankan, eksploitasi emas hitam dikurangi. Hal ini untuk menjawab kekhawatiran jatuhnya korban di pusat pemerintahan negara.
“Mungkin dikurangi 50 persen sehingga risiko itu bisa berkurang,” ucapnya.
Kepala Bidang Mineral dan Batu Bara, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim, Baihaqi Hazami, satu suara. Menurutnya, pemerintah pusat sudah punya kajian membangun ibu kota baru di lahan pemerintah. Bukan di areal konsesi batu bara. Dia yakin, proses pembangunan kota bertahap hingga 2045 dan bisa diperluas di bekas konsesi. Proses ini sembari menunggu IUP mati.
Keberadaan konsesi batu bara juga dinilai membawa keuntungan bagi pembangunan ibu kota. Pemerintah tak perlu mengeluarkan biaya besar mematangkan lahan. Bisa langsung dibangun di atas areal bekas tambang asalkan bukan di konsesi baru. Termasuk, memastikan kepatuhan perusahaan membayar dana jaminan reklamasi meminimalisasi lahan rusak dan korban jiwa.
“Rencana pasca-tambang akan disesuaikan untuk pembangunan kota dan perumahan. Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) tinggal disesuaikan,” jelasnya.
Contoh Pemindahan Ibu Kota Negara Lain
Pembangunan ibu kota baru mengusung konsep green city. Mulai kawasan pemerintah hingga permukiman. Proses pembangunan dimulai 2021 dan diperkirakan rampung 2045. Mengutip Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bappenas, terdapat empat zonasi pembangunan. Pertama, kawasan inti pusat pemerintahan yang dibangun pada 2021-2045. Di kawasan seluas 2.000 hektare itu, dibangun istana dan kantor lembaga negara, taman budaya, dan kebun raya.
Zona kedua, kawasan ibu kota negara seluas 40 ribu hektare. Dibangun mulai 2025-2029. Zona ini terdiri dari perumahan dinas, kompleks diplomatik, fasilitas kesehatan, hiburan. Tak ketinggalan bangunan strategis TNI/Polri.
Adapun kawasan ketiga dan keempat masuk perluasan ibu kota negara. Periode pembangunan antara 2030-2045. Tiap-tiap kawasan seluas 200 ribu hektare lebih. Di kawasan perluasan pertama direncanakan taman nasional, konservasi orangutan, dan perumahan non-dinas. Sementara zona keempat diperuntukkan wilayah pembangunan untuk provinsi sekitar.
Pakar perencanaan wilayah dan kota dari Institut Teknologi Kalimantan, Balikpapan, Farid Nurrahman, punya pendapat. Menurutnya, ibu kota dikepung tambang tidak selamanya negatif. Ada sisi baiknya. “Kalau dipetakan, sebenarnya bisa diambil azas manfaatnya,” terang Farid kepada kaltimkece.id.
Sisi baiknya adalah pemanfaatan batu bara untuk pembangkit listrik ibu kota. Selama ini, emas hitam yang dikeruk dari perut bumi Kaltim banyak diekspor. Jumlahnya sangat besar. Menurut Badan Pusat Statistik Kaltim, total produksi batu bara Kaltim sepanjang 2004-2017 sebesar 2,68 miliar ton.
Kaltim disarankan berkaca dari pengalaman pembangunan ibu kota di negara lain yang juga di lahan bekas tambang. Putrajaya di Malaysia dan Canberra di Australia adalah amsal yang paling tepat. Di Malaysia, bekas lubang tambang bisa dipercantik menjadi landscape danau sebagai tempat wisata. Di Kaltim, lubang-lubang bekas galian tambang malah merenggut nyawa.
Farid mengingatkan ketegasan pemerintah mewajibkan perusahaan mereklamasi lubang agar tak jatuh korban di ibu kota negara yang baru. Jangan sampai, uang rakyat dipakai untuk menutup lubang tambang. “Perusahaan harus mematuhi dan jangan coba-coba ambil keuntungan,” katanya.
Upaya ini harus simultan dengan penataan ulang RTRW dari pusat, provinsi, hingga kabupaten dan kota terdampak ibu kota. Seperti PPU, Kukar, Samarinda, dan Balikpapan. Pembangunan ibu kota negara bakal bertahap seiring habisnya masa konsesi perusahaan. Yang tak kalah penting, dari sisi tata ruang. Samarinda dan Balikpapan sebagai daerah penopang harus mengantisipasi masalah migrasi, akses perumahan yang semakin mahal, dan masalah urban lainnya. (*)
Editor: Fel GM