kaltimkece.id Pandangan Hermann van de Wall tidak bisa lepas dari perhiasan emas seberat 9 tail atau kira-kira 340 gram. Peneliti berkebangsaan Belanda itu terus menatap Kalung Uncal, demikian namanya, yang punya relief yang menggambarkan tokoh-tokoh dalam mitologi Hindu. Kalung ini selalu dikenakan Sultan Kutai Kertanegara di setiap acara kenegaraan. Dahulu sekali, artefak emas tersebut ditemukan di Muara Kaman.
Insting van de Wall segera membawanya ke lokasi penemuan perhiasan. Rabu, 21 April 1847, penulis kamus Melayu-Belanda itu tiba di Muara Kaman, wilayah yang kini masuk Kabupaten Kutai Kartanegara. Van de Wal menyusuri Sungai Mahakam sejauh kira-kira 40 kilometer ke arah hulu dari ibu kota kesultanan sebelum tiba di sana.
Muara Kaman waktu itu adalah permukiman mungil. Berdiri di pertemuan antara Sungai Kedang Rantau dan Sungai Mahakam, hanya beberapa kepala keluarga yang tinggal di 39 rumah rakit atau lanting. Kedatangan van de Wall pada 174 tahun silam menjadi yang pertama kalinya bagi Muara Kaman menerima seorang asing. Seseorang yang menduga ada peninggalan purbakala di kawasan tersebut (Kajian Arkeologi Sejarah Kerajaan Kutai Martapura, 2008, hlm 2).
Tiga puluh dua tahun kemudian, kantor Perhimpunan Epigrafi di Batavia menerima laporan kontroversial dari timur Kalimantan. Dalam suratnya pada 9 September 1879, Asisten Residen Afdeeling Ooost Borneo (Departemen Kalimantan Timur) melaporkan penemuan empat prasasti yupa di hulu Sungai Mahakam. Keempat tugu dari batu andesit itu ditemukan di gua Gunung Kombeng Muara Kaman. Lokasi penemuan ini sempat berubah dalam laporan berikutnya sebelum para ahli sepakat bahwa prasasti benar-benar ditemukan di Muara Kaman (hlm 3).
Keempat prasasti kemudian diangkut ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, kini Museum Nasional, Jakarta. Pencarian peninggalan yang lain terus berjalan di Muara Kaman. Setelah 61 tahun, tepatnya pada 1940, tiga prasasti yupa ditemukan lagi (Kerajaan Martapura Dalam Literasi Sejarah Kutai 400-1635, 2021, hlm 27).
Ketujuh prasasti bertulis aksara Pallawa tersebut menyingkap sejarah besar. Sebuah kerajaan di Muara Kaman diperkirakan telah berdiri sejak abad keempat. Prasasti ini pun ditetapkan sebagai yang tertua, setidaknya sampai ada penemuan baru. Prasasti yupa ini sangat berarti bagi bangsa Indonesia karena tak terkira nilainya. Yupa dari Muara Kaman menjadi akhir zaman prasejarah atau era tak mengenal aksara di Nusantara.
Hampir seluruh buku pelajaran sejak Orde Baru hingga masa kini lantas menuliskan narasi seragam. Kerajaan Hindu tertua di Nusantara adalah Kutai di Kalimantan Timur. Raja pertamanya bernama Kundungga, diteruskan Aswawarman, dan Mulawarman. Pada masa keemasan Maharaja Mulawarman, 20 ribu ekor sapi didermakan kepada para brahamana. Setelah itu, para brahmana dari India menuliskannya di atas yupa.
Kutai atau Martapura?
Sebagai sumber paling sahih, ketujuh prasasti yupa tidak pernah menyebutkan nama kerajaan yang dipimpin Mulawarman. Tidak pula tercantum kata Kutai, sebagaimana tertulis dalam buku-buku pelajaran sejarah di Indonesia.
“Sebenarnya, dalam catatan kaki di Buku Sejarah Nasional Indonesia, nama Kutai (dipakai) sebagai tempat ditemukannya yupa. Nama Kutai dipakai sebagai pendekatan. Akan tetapi, banyak buku pelajaran dan artikel yang begitu saja menulis kerajaan tertua di Indonesia adalah Kutai tanpa menyertakan catatan kaki tersebut,” demikian Muhammad Sarip. Ia berbicara dalam Webinar Sejarah Nasional Meninjau Kembali Sejarah (Kutai) Martapura, Monarki Pertama, Tertua, Terlama di Nusantara, Sabtu, 31 Juli 2021. Sarip adalah narasumber yang meluncurkan buku bertajuk Kerajaan Martapura Dalam Literasi Sejarah Kutai 400-1635.
Pada akhirnya, publik terlanjur mengenal Kutai sebagai nama kerajaan di Muara Kaman. Sarip menyajikan pandangan yang berbeda. Menurutnya, kerajaan yang dipimpin Mulawarman bernama Martapura.
Pandangan alumnus Sertifikasi Kompetensi Penulis Sejarah Kemdikbud 2020 itu berlandaskan dua naskah yang merupakan sumber primer. Naskah pertama adalah prasasti yupa yang berjumlah tujuh buah. Kronik yang kedua adalah kitab Salasilah Kutai beraksara Arab Melayu yang selesai ditulis pada 1849. Kitab ini berasal dari era Kesultanan Kutai Kertanegara, kerajaan berbeda yang berdiri pada abad ke-13 di Kutai Lama, hilir Sungai Mahakam. Kelak, kerajaan inilah yang menaklukkan imperium Dinasti Mulawarman pada 1635.
Prasasti yupa, sumber primer yang pertama, tidak menyebutkan sama sekali nama kerajaan yang dipimpin keturunan Kundungga. Nama Kutai, tulis Sarip yang mengutip sejarawan Contantinus Alting Mees dan Solco Walle Tromp, baru dikenal sejak Aji Batara Agung Dewa Sakti mendirikan kerajaan Kutai Kertanegara. Kutai adalah paduan kata dari petai, tupai, pantai, dan kumpai. Benda-benda itu ditemukan Aji Batara Agung Dewa Sakti kala berburu di Jaitan Layar atau Kutai Lama. Keterangan ini selaras dengan narasi teks Arab Melayu di kitab Salasilah Kutai, sumber primer yang kedua dalam penyusunan buku ini (hlm 76-77).
“Sementara itu, ada kutipan bahwa pada abad keempat, terdapat berita India yang tegas menyebutkan nama quetaire sebagai Kutai. Quetaire ini diartikan hutan belantara sebagaimana dimuat di buku Kemendikbud. Akan tetapi, sumber berita India ini tidak jelas. Di buku kemendikbud juga dimuat tapi tanpa catatan kaki. Dengan demikian, sulit diverifikasi sumber primernya,” terang Sarip.
Adapun nama kerajaan yang dipimpin Mulawarman, disebut Martapura. Menurut Sarip, kata “ing Martapura” ditemukan di belakang nama Pangeran Sinum Panji Mandapa. Raja Kutai Kertanegara itu menambahkan gelar ing Martapura setelah menaklukkan Muara Kaman sebagaimana tercantum dalam Salasilah Kutai. Urutan abjad dalam teks Arab Melayu-nya adalah alif, ng, mim, ra, ta, fa, waw, dan ra sehingga dibaca ing Mar-ta-pu-ra. Tidak ada infiks -di- di antara ta dan fa sehingga bukan ing Mar-ta-di-pu-ra sebagaimana yang dikenal luas.
Sarip menuturkan, nama Martadipura baru muncul pada era 1980-an. Bupati Kutai periode 1965-1979, Ahmad Dahlan, mengungkapkan ide yang berasal dari Drs Anwar Soetoen, pejabat Pemda Tingkat II Kutai. Soetoen berpikiran bahwa antara marta dan pura perlu disisipkan -di-. Menurutnya, sisipan -di- adalah pengganti kata Jawa Kawi ing yang bermakna di (hlm 80-81).
“Pendapat ini, seperti ditulis Dwi Cahyono dan Gunadi, dua arkeolog yang mengkaji arkeologi di Muara Kaman, tidak tepat,” tulis Muhammad Sarip. Menurut kedua arkeolog, penyisipan -di- dalam Kutai Kertanegara ing Martadipura adalah pengulangan di atau reddened (hlm 81).
Nama Kerajaan Martapura
Sarip melemparkan sejumlah argumen lagi mengenai nama Martapura. Pertama, sebuah bukit di kawasan purbakala Muara Kaman sampai hari ini disebut Gunung Martapura. Selanjutnya, stempel Sultan Kutai yang terpublikasi pada 1999 tetap menggunakan Martapura, bukan Martadipura. Nama Martapura juga telah dipakai banyak ilmuwan dan sejarawan sebelum 1980-an.
Ada kesamaan nama Martapura di Muara Kaman dengan Kecamatan Martapura di Kabupaten Banjar, Kalsel. Akan tetapi, belum bisa dipastikan hubungan kedua tempat tersebut karena sumber yang masih terbatas. Yang jelas, kata Sarip mengutip Prof Sambas Wirakusumah dkk (Sambas adalah rektor pertama Universitas Mulawarman), seorang bernama Nanang Baya menyingkir ke Banjarmasin setelah Muara Kaman jatuh dalam kekuasaan Kutai Kertanegara. Salasilah Kutai juga menulis figur yang sama yakni Ki Narangbaya. Akan tetapi, tokoh itu disebut dalam salasilah hanya pergi ke Kota Bangun, kira-kira 20 kilometer dari Muara Kaman.
“Sementara itu dalam Hikayat Banjar, ada penyebutan tokoh bernama Kiai Narangbaja, […]. Pada 1641, enam tahun setelah runtuhnya Kerajaan Martapura, Narangbaja termasuk di antara rombongan yang diutus Sultan Banjar ke Kesultanan Mataram,” tulis Sarip (hlm 91).
Sejarah Bergerak dan Berubah
Pandangan bahwa Kutai bukan nama kerajaan di Muara Kaman disebut sebagai bagian dari dinamisnya disiplin ilmu sejarah. Penulisan sejarah selalu bergerak dan berubah manakala ada temuan maupun hasil telaah yang baru. Bahwa nama kerajaan di Muara Kaman sekarang adalah Martapura, adalah biasa sebagaimana nama Ken Arok yang baru-baru ini direvisi menjadi Ken Angrok.
“Kita bisa sepakat bahwa (nama) Kutai tidak ada tertulis di prasasti yupa. Sementara itu, Martapura lebih dapat diterima,” demikian sejarawan dari Universitas Indonesia, Ita Syamtasiyah Ahyat, masih dalam webinar.
Ita mengatakan, karya Kerajaan Martapura dari Sarip ini bisa dikategorikan sebagai buku sejarah lokal. Penyusunannya berlandaskan literasi seperti prasasti, kronik, dan naskah kuno.
Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Sumardiansyah Perdana Kusuma, turut menyampaikan pandangan. Ia setuju bahwa ada kekeliruan penyebutan Kutai sebagai kerajaan di Muara Kaman. Yang benar, yupa ditemukan di wilayah Kesultanan Kutai. Sumardiansyah berharap, lebih banyak telaah sejarah lokal seperti ini sehingga sejarah nasional tidak lagi berpusat di Pulau Jawa.
Sejumlah masukan terhadap buku Kerajaan Martapura disampaikan dalam webinar yang dipandu dengan apik oleh Nabila Nandini selaku moderator. Nabila merupakan perempuan pertama dari Kaltim dan satu-satunya wakil Kalimantan yang lolos seleksi nasional sebagai peserta Bimbingan Teknis Penulis Sejarah Kemdikbud 2021.
Chai Siswandi, pegiat literasi sejarah Kutai, satu di antara yang menyampaikan masukan atas buku ini. Ia mengatakan bahwa dalam teks Arab Melayu, Martapura merupakan gelar raja setelah berhasil mengalahkan Muara Kaman. Nama kerajaan Dinasti Mulawarman tidak disebutkan dengan eksplisit. Salasilah Kutai hanya menyebutnya Muara Kaman.
“Sejumlah sejarawan seperti Mees dan Tromp juga berhati-hati menyebut nama kerajaan ini. Bahkan, Michael Coomans, seorang Katolik yang menjadi uskup di Kaltim, memilih nama Kerajaan Mulawarman,” tutur Chai Siswandi.
Webinar yang berlangsung hampir tiga jam diisi oleh diskusi menarik. Pesertanya mencapai 700 orang, sebagian dari luar Kaltim. Saking serunya, belasan pertanyaan dalam seminar daring yang diprakarsai AGSI Kaltim bekerja sama dengan Gerakan Literasi Kutai ini tak sempat terjawab karena keterbatasan masa.
Buku Kerajaan Martapura terdiri dari tujuh bab dengan tebal 147 halaman. Pustaka ini dijual Rp 59.000 per buah. Pemesanan untuk umum dapat menghubungi WhatsApp 0853-4745-6753. Sementara untuk wilayah Tenggarong dan sekitarnya, WhatsApp 0811-5504-300. (*)