kaltimkece.id Anton Willem Nieuwenhuis terkejut setengah mati ketika perkemahannya di Busang tiba-tiba kedatangan sekelompok orang dari Suku Dayak Bungan. Usahanya menyapa rombongan nomaden itu sia-sia karena mereka hanya berbicara bahasa Busang. Nieuwenhuis akhirnya hanya bisa mengamati mereka dalam-dalam.
Menurut catatan Nieuwenhuis pada 1894, penduduk Busang yang ditemuinya berperawakan seperti makhluk aneh. Kaum pria berbadan jangkung, kurus, tapi berotot. Kaum perempuan bertubuh kecil dan ramping seperti kekurangan gizi. Pakaian, rajah, sumpit, dan mandau mereka menyerupai orang-orang dari hulu Sungai Mahakam. Rombongan itu hanya menanam sedikit padi dan menggantungkan hidup dari hasil buruan.
"Cara hidup demikian," tulis Nieuwenhuis dalam buku berjudul Di Pedalaman Borneo (1994), "memaksa orang Dayak Bungan sering berpindah tempat."
Nieuwenhuis adalah dokter militer Belanda yang pertama kali menulis artikel tentang Busang. Catatannya baru diterbitkan 100 tahun kemudian ketika Tim Ekspedisi Kapuas-Mahakam kembali ke Busang untuk memperingati seabad perjalanan Nieuwenhuis. Kedatangan tim ke desa kecil di pedalaman Kalimantan itu tepat ketika kabar emas Busang menyeruak ke penjuru dunia.
Baca Juga: Dari Makan Malam, Sejarah Gelap Busang Dimulai
Setelah seabad lewat, kesan mengenai orang Bungan berbeda. Kaum pria Dayak Bungan disebut masih kekar tetapi tidak bertampang aneh. Kaum perempuannya berpostur kecil tetapi banyak yang bertampang manis. Mereka juga fasih berbahasa Indonesia.
Busang dalam Banyak Makna
Busang memiliki banyak makna di pedalaman Kalimantan. Menurut Bernard Sellato, insinyur geologi dari Prancis yang menekuni antropologi di Kalimantan, Busang adalah nama etnis yang berdiam di Long Bagun dan Long Pahangai. Kedua tempat itu kini kecamatan di Mahakam Ulu.
Sellato yang menulis pendahuluan di buku Nieuwenhuis juga menambahkan, Busang adalah nama sungai di utara Kalimantan Tengah, anak Sungai Barito. Sungai Busang berbeda dari Sungai Musang, cabang anak Sungai Mahakam, meskipun keduanya berdekatan.
Dalam pendapat Koesoemadinata, guru besar Institut Teknologi Bandung, Busang juga nama sebuah kawasan yang memisahkan hulu Sungai Mahakam dan hulu Sungai Kapuas. Kedua sungai besar itu berhulu di Pegunungan Muller, perbatasan alamiah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sarawak di Malaysia Timur (Bre-X, Sebungkah Emas di Kaki Pelangi, 1997).
Pendulangan Emas
Tak ada yang menyebut emas sama sekali ketika Nieuwenhuis datang 128 tahun silam. Catatan tentang emas di Busang baru ditemukan saat Suku Dayak Kenyah tiba pada 1950-an. Hasil logam mulia di Busang masih sangat kecil. Dalam catatan pemerintahan setempat, antara 1958 hingga 1963, pendulang tradisional menghasilkan rata-rata 100-300 gram emas.
Bondan Winarno, wartawan senior Kompas yang menulis liputan investigasi skandal Busang, menduga bahwa emas yang dihasilkan saat itu jauh lebih besar. Penduduk menambang secara tradisional dengan mengayak pasir sungai. Seorang pendulang rata-rata menghasilkan tujuh gram emas.
Pencarian emas besar-besaran baru dimulai ketika 200-an warga Apo Kayan dari hulu Sungai Kayan tiba pada 1981. Hanya dalam beberapa tahun, 10 ribu orang sudah mendulang di Busang. Ribuan pendatang, termasuk dari Pulau Jawa, mencegat emas yang terbawa aliran sungai. Kaum migran itu pula yang mengenalkan mekanisasi pendulangan emas menggunakan mesin penyedot lumpur.
Rombongan pendulang membangun hunian baru di tepi Sungai Atan yang mengalir di Busang. Perkampungan nan ramai itu dikenal sebagai Dusun Mekar Baru yang berdiri 280 kilometer dari muara Sungai Atan. Kehadiran para pendulang membawa kelip-kelip lampu yang menyala dari pembangkit listrik pribadi milik warga. Nun jauh di pedalaman Kalimantan, kehidupan di Mekar Baru benar-benar mekar. Televisi menjadi barang yang wajib dimiliki. Lengkap dengan parabola, video, lemari es, dan perkakas karaoke.
Mekar Baru hanya berjaya selama beberapa tahun. Sama dengan situs pendulangan emas yang lain, masa keemasan di Busang mulai lenyap. Jumlah emas pelan-pelan berkurang. Pendulang sudah beruntung jika memperoleh satu-dua gram dalam sehari. Seringkali, mereka tidak menemukan apa-apa setelah seharian mendulang.
Kedatangan Bre-X
Sepuluh tahun setelah kejayaan di Mekar Baru, tim eksplorasi Bre-X Mineral Ltd di bawah kendali Mike De Guzman dan John Felderholf tiba pada 1993. Perusahaan tambang asal Kanada itu harus melewati perjalanan panjang. Untuk tiba di Busang, tim harus memangsa waktu 14 jam dari Samarinda. Delapan jam perjalanan darat, enam jam lewat sungai, seperti dilaporkan Majalah Pantau lewat artikel berjudul Dari Tambang Turun ke Ladang (2007).
Bre-X membangun kompleks perkantoran di Dusun Mekar Baru. Dalam potret yang terekam di kalender Bre-X untuk tahun 1997, kantor-kantor tertata rapi. Jalan yang sangat lebar dan bersih terbentang di Desa Mekar Baru, sekarang telah menjadi desa di Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur.
Tak sampai setahun, tim eksplorasi mendapati cadangan emas yang sangat besar di tiga lokasi. Temuan demi temuan dari lubang pengeboran dilaporkan secara berkala ke markas besar Bre-X di Calgary, Kanada.
Data potensi cebakan emas yang terus bertambah membawa nama Busang mendunia. Dusun Mekar Baru yang sempat layu kembali mekar karena disebut memiliki cadangan emas terbesar di muka bumi. Seiring berkibarnya nama Busang, saham Bre-X segera menembus langit ketujuh mulai Juli 1995. (*)
Baca artikel berikutnya: Hoax Emas Kaltim yang Mendunia-3: Cerutu Raksasa Penuh Emas