kaltimkece.id Raja Makota baru saja mengucapkan dua kalimat syahadat ketika Tuan Tunggang Parangan datang untuk meminta restu kepadanya. Raja Makota adalah pemimpin Kerajaan Kutai Kertanagara. Adapun Tunggang Parangan, tiada lain juru dakwah yang mengislamkan Raja Makota.
Kepada baginda raja, Tunggang Parangan meminta izin menyebarkan Islam ke sisi utara, barat, dan selatan istana raja di Kutai Lama. Raja merestui. Tunggang Parangan pun berangkat untuk menyebarkan agama. Dalam prosesnya, Islamisasi ini disertai penaklukan. Mengutip naskah Salasilah Kutai, Balikpapan menjadi satu dari sekian daerah taklukan tersebut. Sejarawan Constantinus Alting Mees mengalkulasi, penaklukan ini dimulai sedari Raja Makota memeluk Islam pada 1575.
Penggiat sejarah dari Samarinda, Muhammad Sarip, telah mempelajari kitab Salasilah Kutai beraksara Arab-Melayu. Ia memegang duplikat dari naskah asli yang disimpan di Perpustakaan Berlin di Jerman. Menurut Sarip, setelah ia perbandingkan, alih aksara yang dibuat CA Mees lebih jujur dan benar. “Walaupun ada satu-dua yang kurang tepat. Mees memuat transliterasi itu dalam disertasinya mengenai kronik Kutai," kata Sarip kepada kaltimkece.id.
Naskah Salasilah Kutai adalah sumber riwayat Kerajaan Kutai. Kerajaan ini didirikan Aji Batara Agung Dewa Sakti di Jaitan Layar pada 1300 (kerajaan yang berbeda dari Kutai Martapura atau Kutai Mulawarman di Muara Kaman). Salasilah Kutai inilah yang mengungkap proses pengislaman raja beserta rakyat Kutai Kertanegara pada masa Raja Makota tadi.
Melalui penaklukan Balikpapan tersebut, wilayah kuasa raja Kutai meliputi kawasan pantai timur Kalimantan. Dua kampung bernama Samboja dan Sepaku juga termasuk. Kekuasaan Kutai di Balikpapan lestari hingga Indonesia merdeka pada 1945. Pada 1953, Kutai menjadi daerah istimewa dan Balikpapan tetap menjadi bagiannya.
Baru pada 21 Januari 1960, Daerah Istimewa Kutai dihapuskan. Balikpapan pun berdiri secara administratif sejak setengah abad silam. Kota Minyak dibagi menjadi empat kecamatan yakni Balikpapan Utara, Balikpapan Barat, Balikpapan Timur, dan Balikpapan Seberang. Di Kecamatan Balikpapan Seberang inilah mengalir sebuah sungai bernama Sepaku. Di dekat sungai itu, berdiri kampung bernama Sepaku.
“Dulunya, Suku Balik yang merupakan etnis asli Balikpapan hidup di sana. Mereka adalah etnis minoritas,” jelas Muhammad Sarip. Suku Balik, ditulis Baliq. Khatib Muhammad Thahir sang penulis kitab Salasilah Kutai pada 1849 menulis kata "Balik" dengan aksara Arab-Melayu: ba-alif-lam-ya-qaf, yang dilatinkan menjadi "Baliq". Sejak 1945, eksistensi Suku Balik semakin langka. Bahkan sekarang, etnis ini sangat sulit ditemukan. Penyebab utamanya adalah perkawinan beda suku. “Terutama dengan Suku Paser dan Banjar,” jelas Sarip.
Wilayah administrasi Sepaku beralih dari Kotamadya Balikpapan ke Kabupaten Pasir pada 1988. Sejak itu pula, Kecamatan Balikpapan Seberang dihapuskan. Sepaku masuk Kecamatan Penajam. Setelah 15 tahun di bawah Pemda Tingkat II Kabupaten Pasir, pada 2002, Sepaku bersama Kecamatan Penajam masuk kabupaten pemekaran bernama Penajam Paser Utara. Kabupaten inilah yang ditetapkan Presiden Jokowi sebagai lokasi ibu kota negara bersama Kutai Kartanegara.
Samboja Melawan Jepang
Jika Sepaku masuk Daerah Istimewa Kutai selepas Indonesia merdeka, tidak halnya Samboja. Wilayah taklukkan Kerajaan Kutai Kertanegara ini secara administrasi justru di bawah Kotamadya Samarinda. Baru pada 1988, bersama-sama dengan masuknya Sepaku ke Kabupaten Pasir, Samboja bergabung ke Kabupaten Kutai. Pada masa pemekaran Kabupaten Kutai pada 1999, kecamatan yang mempunyai Taman Hutan Raya Bukit Soeharto ini tetap di kabupaten induk, Kutai Kartanegara.
Melayang ke 77 warsa yang lalu, kawasan Samboja ikut berkecamuk dalam Perang Pasifik yang melibatkan Jepang dan Sekutu. Ketika Jepang berkuasa di nusantara, pada 1942–1945, Samboja merupakan wilayah penting. Posisinya berdiri di antara dua ladang minyak yakni Balikpapan dan Sangasanga. Bersama dengan Tarakan, kota-kota penghasil minyak ini dijadikan sumber penyuplai bahan bakar mesin tempur pesawat Jepang. Baik Jepang maupun Sekutu, memperebutkannya.
Tiga tahun Jepang menduduki Kaltim, tentara dari Negeri Matahari Terbit kewalahan. Pasukan Sekutu telah siap merebut Balikpapan dari jalur laut maupun darat. Sebuah regu intelijen dikirim ke lokasi antara Balikpapan dan Samarinda. Tempat itu bernama Samboja.
April 1945, Sekutu mengirimkan 14 orang dari pasukan komando intelijen militer ke Samboja. Mereka adalah tentara gabungan yang bernama SAD Force atau Z Force. Para intelijen masuk melalui Pantai Tanjung Pamedas, sekitar 40 kilometer utara Balikpapan. Di sana, tentara pengintai Australia ini bertemu dua nelayan. Kedua nelayan adalah pribumi yang tak suka Jepang.
Memang, rakyat nusantara merasakan betul penderitaan pada masa pendudukan Jepang. Ini tak sesuai dengan ucapan Jepang pada awal kedatangannya yang menjanjikan kebahagiaan. Rakyat berharap Sekutu menyingkirkan Jepang dari tanah air. Regu intel pun diarahkan ke Pantai Sigagu. Pertimbangannya, Sigagu jauh dari pos penjagaan Jepang di Samboja Kuala.
Singkat kisah, kepala penjawat Samboja membantu dan memfasilitasi misi rahasia Sekutu ini. Kepala penjawat merupakan istilah bagi kepala pemerintahan setingkat camat. Aji Raden Ariomidjojo, seorang bangsawan Kesultanan Kutai Kertanegara, yang menjadi kepala penjawat Samboja waktu itu.
Namun, situasi selanjutnya tidak berpihak. Dimulai dari seorang lelaki Samboja yang berjalan kaki ke Samboja Kuala. Ia menuju Sungai Seluang, masih di wilayah Samboja. Warga tersebut menumpang mobil menuju markas Kempeitai di Balikpapan. Segala peristiwa yang dilihatnya dilaporkan kepada Polisi Militer Jepang. Lelaki yang kemudian diketahui bernama Durahman ini rupanya mata-mata Jepang. “Kehadiran Durahman ini benar-benar tak disadari warga,” kisah Sarip.
Menerima informasi dari mata-mata, Jepang bertindak. Mereka mengirim pasukan ke Samboja. Seluruh daerah Samboja, Handil, sampai Muara Jawa, disisir habis oleh tentara Jepang. Pasukan Z Force dicari. Penyusuran membuahkan hasil. Dua tentara Australia yang merusak sarana komunikasi di Sungai Tiram tertangkap. Namun, 12 tentara yang lain tak ditemukan dalam patroli selama beberapa hari. Jepang hanya mendapati bekas perbekalan Sekutu yang tercecer.
Sebenarnya, sempat terjadi tembak-menembak. Namun, pasukan Z Force diuntungkan karena halangan medan jurang. Lewat bantuan warga, Sekutu berhasil meloloskan diri ke laut pada 20 April 1945. Tiga hari berselang, sebuah pesawat Catalina milik Sekutu mendarat di permukaan laut. Catalina ini yang mengangkut para tentara pengintai kembali ke markas Sekutu di Pulau Morotai (kini wilayah Provinsi Maluku Utara).
Jepang benar-benar kesal. Mereka melampiaskan kemarahan pada 10 April 1945. Kepala penjawat Samboja, Mantri Polisi H Amir, Kepala Kampung H Arif, serta beberapa staf kantor penjawat ditangkap. Seluruhnya dieksekusi mati. Jenazah mereka tidak pernah ditemukan hingga kini. (*)
Editor: Fel GM