kaltimkece.id Pagi merekah dengan indah di langit Balikpapan ketika 21 ribu prajurit dari Divisi Ketujuh Australia tiba. Para serdadu berdesakan di atas kapal angkut yang bersiaga sekitar 15 kilometer di lepas pantai Balikpapan. Membentuk formasi kipas, kapal milik Sekutu beraneka jenis itu mengelilingi Kota Minyak.
Pembuka Juni 1945, tembakan Sekutu menggelegar tepat pukul delapan pagi. Pesisir Balikpapan, kota yang sedang dalam penguasaan tentara Jepang, tertutup asap pekat. Setelah kabut sirna, giliran pesawat dari kapal induk Sekutu yang maju. Mereka mengebom pos pertahanan Jepang di lapangan terbang Sepinggan dan Parramatta Ridge, sekarang bernama Pasir Ridge (Balikpapan Tempo Doeloe, 2015, hlm 79).
Dua puluh hari lamanya, Sekutu membombardir tiada henti. Pesisir pantai di selatan dan timur Balikpapan gundul karena seluruh pepohonan terbakar. Kawasan Klandasan dan Jalan Minyak berubah menjadi puing-puing. Balikpapan berkobar hebat.
Pasukan Jepang yang mulai terdesak mengantisipasi dengan strategi bertahan. Mereka bersembunyi di dalam goa di kawasan Manggar yang lebih aman dari bom Sekutu. Setiap ada kesempatan, tentara Jepang memasang meriam di mulut goa. Mereka menembak tentara Sekutu yang mulai merangsek ke darat.
Meriam Jepang itu di luar jangkauan kapal Sekutu sehingga tidak bisa dilumpuhkan. Para perwira komando Sekutu akhirnya membuat rencana besar. Mereka menyiapkan puluhan pesawat pengebom B-29 Superfortress yang membawa bom napalm. Bom ini berbahan minyak bumi. Bobotnya 225 kilogram. Setiap pesawat membawa 18 bom sehingga berat total mencapai 4 ton. Seluruh bom dijatuhkan dengan jarak setiap 15 meter (hlm 82). Benda apapun, baik di atas maupun di bawah tanah, niscaya terbakar terkena bom napalm. Tiada terkecuali goa pertahanan Jepang.
Strategi itu menambah hebat kebakaran di Balikpapan. Hampir 90 persen wilayah kota hangus. Di antara reruntuhan bangunan dan tanah yang menghitam, 5.700 pasukan Jepang terbakar hidup-hidup. Ada pula tentara yang terkubur. Mereka tewas terkurung di terowongan, terapung di sungai, maupun parit perlindungan.
Baca juga: Zaman Jepang di Balikpapan, Neraka bagi Buruh Paksa
Dari atas dek kapal penjelajah USS Cleveland, Jenderal MacArthur selaku komandan pasukan Sekutu mengamati pembakaran manusia itu melalui kacamata hitamnya (MacArthur: The Supreme Commander at War in the Pacific, 2015, hlm 188). Sekutu akhirnya benar-benar menguasai Balikpapan pada 15 Juli 1945 atau 20 hari sejak serangan dimulai.
Setelah berhasil mengambil alih Balikpapan, pasukan Sekutu tak banyak menemukan tentara Jepang yang masih hidup. Mereka hanya menawan 10 serdadu. Beberapa prajurit yang terluka dan tertangkap memilih harakiri, bunuh diri ala ksatria Jepang kuno. Adapun sebagian besar prajurit Jepang yang masih hidup, telah melarikan diri. Mereka, diperkirakan berjumlah 4 ribu orang, kocar-kacir menuju utara. Nasib yang lebih menyedihkan menanti ribuan kombatan pelarian perang tersebut.
Tentara Jepang yang tersisa menuju Loa Janan di perbatasan Samarinda. Mereka berjalan kaki melewati hutan-hutan lebat dengan persediaan makanan yang menipis. Sebanyak 2 ribu orang di antara prajurit itu akhirnya tewas dalam pelarian. Mereka diserang kolera, malaria, dan demam berdarah.
Tentara yang selamat tiba di tepi Sungai Mahakam ketika Samarinda juga telah dihancurkan Sekutu. Hampir seluruh fasilitas Jepang telah diruntuhkan melalui serangan udara. Satu di antaranya adalah kantor percetakan surat kabar corong propaganda Jepang bernama Borneo Shimbun (Samarinda Tempo Doeloe, Sejarah Lokal 1200-1999, 2017, hlm 123). Kedatangan tentara Jepang yang dalam kondisi memprihatinkan mengundang iba warga Samarinda. Rakyat sipil akhirnya memberi pertolongan kepada tentara Negeri Matahari itu.
Posisi Penting Balikpapan
Pasukan Sekutu telah menguasai Balikpapan secara penuh setelah serangan tanpa henti selama tiga pekan. Balikpapan, bersama Tarakan, adalah daerah penting yang harus direbut dari Jepang. Kedua kota menyumbang posisi sentral bagi kekuatan Jepang dalam Perang Dunia II. Kota ini merupakan pertahanan Jepang untuk kawasan Brunei, Filipina, dan sekitarnya. Selain itu, Balikpapan dan Tarakan menghasilkan minyak yang berguna untuk bahan bakar armada udara mereka dalam Perang Dunia II.
Amerika Serikat ikut bergabung dengan pasukan Sekutu setelah Jepang menyerang pangkalan militer Pearl Harbor. Serangan Jepang itu seperti membangunkan macan tidur yang segera memimpin pertempuran di Front Pasifik. Sebelum mulai menyerang, Sekutu telah meneliti bahwa merebut Balikpapan sangat penting untuk menghentikan Jepang bersama kolega fasisnya di Eropa; Jerman. Suplai bahan bakar pesawat kedua negara itu bisa diputus. Di samping itu, merebut Balikpapan bisa menghentikan propaganda Kesemakmuran Asia Timur Raya yang mereka bawa ke sepenjuru Asia Tenggara.
Baca juga: Pipa Minyak Balikpapan, Korupsi hingga Penipuan Ribuan Petani
Strategi itu terbukti benar. Kekalahan Jepang di Balikpapan, salah satu pertempuran terbesar di pengujung Perang Dunia II, menjalar ke medan perang yang lain. Puncaknya ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Beberapa hari setelah peristiwa itu, pada 14 Agustus 1945 atau tepat 73 tahun lalu, Jepang menyerah tanpa syarat di atas kapal USS Missouri. Soekarno dan Mohammad Hatta lantas memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tiga hari kemudian.
Proklamasi itu disambut di sekujur wilayah Nusantara dengan peperangan hebat. Rakyat Indonesia mempertahankan proklamasi karena kembalinya Belanda setelah kepergian Jepang. Berbagai pertempuran heroik, termasuk di Kaltim, berkobar hebat demi mengusir penjajah Belanda berwujud NICA yang datang atas jasa boncengan Sekutu. (*)