kaltimkece.id Dangke menghabiskan sore dengan bersila di teras rumah yang lega milik putri kandungnya. Perempuan berusia 50 tahun itu masih mengenakan kaus putih dan sarung yang biasa dipakai buat tidur. Di atas rumah kayu dengan kolong yang tinggi itu, ia memerhatikan kedua cucunya. Sepasang anak laki-laki dan perempuan itu tengah bermain dengan kotak tempat ikan yang terbuat dari styrofoam.
Jumat, 12 Februari 2021, Dangke belum beranjak dari rumah di Gang Makassar, RT 52, Rawa Makmur, Kecamatan Palaran, Samarinda. Untuk sampai di situ harus melalui Gang Mesjid, tepat di samping Jembatan Kuning Kembar Palaran. Dangke tidak tinggal di rumah putri kandungnya tersebut. Ia memilih hidup di sebuah pondok tua di belakang rumah tadi.
Gubuk yang Dangke diami berukuran 2 × 3 meter. Dari luar, bangunan itu terlihat ringkih dimakan usia. Tingginya tak sampai 1 meter sehingga harus menunduk jika masuk. Atapnya daun. Lantainya beralas kayu yang tak rapat dilapisi karpet plastik yang usang. Sebuah bantal lapuk teronggok di sudut gubuk yang tak dialiri listrik itu.
Dangke memiliki dapur kecil di sebelah gubuknya. Dapur itu punya tungku kayu bakar yang berdampingan dengan beberapa kuali. Gelas dan piring hanya ditaruh di dalam baskom berukuran sedang. Masih tak jauh dari kompor, jeriken kecil yang kosong berjejer membisu. Jeriken tersebut adalah wadah air untuk keperluan memasak dan sebagainya.
"Hari-hari, mamak masak di situ juga. Kalau lagi enggak mau masak, baru naik ke sini (ke rumah),” terang Kamariah, 29 tahun, putri sulung Dangke, kepada kaltimkece.id. Menurutnya, Dangke tidak bisa berbahasa Indonesia. Perempuan tua itu hanya berbicara dalam bahasa Makassar.
"Mamak tidak mau tinggal dengan kami. Mamak maunya tinggal di pondok belakang," kata Kamariah ketika ditanya alasan ibunya tak tinggal bersama.
Merantau ke Samarinda
Alkisah 14 tahun silam, Kamariah yang sudah berkeluarga merantau dari Sulawesi Selatan menuju Kalimantan Timur buat memperbaiki nasib. Suami Kamariah lantas mendapat pekerjaan menjadi buruh di sebuah perusahaan bubuk kayu di Palaran. Tiga bulan kemudian, keluarganya yang terdiri dari ibu (Dangke), ayah, dan adik (Jumriah), menyusul ke Samarinda.
Dua kepala keluarga itu tinggal di sebuah rumah sewa kira-kira 500 meter dari Jembatan Kuning Kembar Palaran. Namun demikian, gaji suami Kamariah tidak cukup menanggung sewa rumah. Seseorang kemudian menawarkan solusi untuk membangun sebuah pondok di tepi sungai kecil. Sungai itu tak jauh dari rumah yang mereka sewa.
Mereka menuruti anjuran tadi dan tinggal di pondok seluas 6 meter persegi. Setelah beberapa tahun, Kamariah dan suami mampu membangun sebuah rumah berukuran 4 x 7 meter di depan pondok. Walaupun rumah sudah berdiri, Dangke dan suaminya memilih tetap di gubuk. Adapun anak bungsunya, Jumriah, telah menikah dan tinggal di seberang sungai yang masih di kawasan tersebut. Pada 2019, suami Dangke meninggal. Dangke pun hidup sendiri di gubuk meski sekali-sekali ia berkunjung ke rumah Kamariah.
Baca juga:
Dangke sejak muda tidak bekerja. Menurut Kamariah, kepala kiri ibunya pernah bolong karena terkena tembakan saat masih kecil. Luka itu menyebabkan bagian kiri tubuh Dangke tak berfungsi. Potret hidup Dangke itu diunggah di laman media sosial Facebook oleh Ogi Meman Mulyadi, pegiat sosial di Samarinda. Ogi mengajak masyarakat membantu perbaikan tempat tinggal Dangke.
Setelah unggahan tersebut, Kamariah mengaku, beberapa orang sudah menengok ibunya. Mereka memberikan bantuan berupa bahan pokok, makanan, hingga uang. “Kalau dari pemerintah, setahu saya tidak ada,” tutupnya. (*)
Editor: Fel GM