kaltimkece.id Melorotnya perekonomian Kaltim dipotret dengan amat jelas oleh Badan Pusat Statistik. Pada triwulan II 2020, pertumbuhan ekonomi provinsi ini minus 5,46 persen dibanding triwulan II 2019 (year on year). Hampir 60 persen dari angka negatif tersebut merupakan andil sektor pertambangan dan penggalian. Kabupaten dan kota yang menggantungkan ekonominya kepada sektor ini pun dalam ancaman serius. Berau adalah satu di antaranya.
Sudah dua dasawarsa terakhir, roda perekonomian di kabupaten paling utara di Kaltim ini digerakkan sektor pertambangan batu bara. Bisa dikatakan, batu bara adalah “bahan bakar” utama perekonomian Berau. Bahan bakar dari industri pertambangan inilah yang menggerakkan mesin-mesin ekonomi yang lain seperti sektor perdagangan, makanan, perhotelan, hingga beragam jasa.
Kebergantungan Berau ini sangat nyata sebagaimana dicatat BPS Berau. Pada 2019, sumbangsih sektor tersebut kepada produk domestik regional bruto (PDRB) mencapai 60,93 persen (menurut harga berlaku). Struktur ekonomi seperti ini sudah berlaku di Berau bertahun-tahun lamanya. Pada 2018, misalnya, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB sebesar 61,56 persen, lalu 62,42 persen pada 2017, 60,13 persen pada 2016, dan 61,31 persen pada 2015 (PDRB Berau Berdasarkan Lapangan Usaha, 2020, hlm 159).
Tekanan besar kepada sektor pertambangan menempatkan Berau di bawah ancaman besar. Wakil Bupati Berau, Agus Tantomo, mengakui hal tersebut. Salah satu penyebab pertumbuhan ekonomi melorot, sebutnya, karena perusahaan pertambangan mulai menurunkan produksi.
“Kami memahami situasi ini. Perusahaan tentu berupaya untuk bertahan. Masalahnya, situasi sekarang memang sulit,” terang Agus Tamtomo kepada kaltimkece.id ketika ditemui di ruang kerjanya, awal pekan ini.
Tekanan kepada bisnis pertambangan batu bara disebabkan turunnya permintaan dari dua pasar ekspor utama yaitu Tiongkok dan India. Tiongkok adalah pasar dari 33 persen ekspor batu bara Kaltim pada 2019. Sementara India, pangsanya sebesar 26,79 persen sebagaimana Laporan Perekonomian Kaltim 2019 yang disiarkan Bank Indonesia. Sepinya permintaan disebabkan pembangkit listrik di India dan Tiongkok belum pulih karena pandemi. Kedua negara itu juga lebih memprioritaskan batu bara domestik ketimbang mengimpor. Pasokan batu bara di pasar dunia pun berlimpah. Harga komoditas ini tertekan, belum beranjak di atas USD 60 per ton di bursa ICE Newcastle.
Dampak kepada Tenaga Kerja
PT Berau Coal adalah perusahaan yang beroperasi di Berau dengan status salah satu pengekspor batu bara terbesar di Indonesia. Dalam situasi segenting ini, Berau Coal telah mengirimkan surat kepada Bupati Berau Muharram pada pekan ketiga Juli 2020. Korporasi menyampaikan empat langkah yang mungkin diambil sebagai antisipasi.
Pertama, perusahaan dan mitra kerja kemungkinan mengefisiensikan biaya operasi. Kedua, perusahaan dan mitra kerja mengoptimalkan operasi tambang yang memungkinkan secara biaya. Ketiga, kemungkinan menghentikan sementara dan menurunkan volume produksi hingga 50 persen di beberapa pit tambang. Terakhir, menunda dan meninjau ulang program corporate social responsibility (CSR) atau pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM).
Poin ketiga adalah yang paling dikhawatirkan Wabup Agus Tamtomo. Kemungkinan menghentikan sementara dan menurunkan volume kerja di beberapa pit tambang bisa menyebabkan kelebihan alat produksi dan tenaga kerja. Perusahaan atau kontraktor mitra bakal merumahkan sebagian karyawan bahkan PHK.
“Pemerintah mau tidak mau harus menyelamatkan perusahaan. Kalau (Berau Coal) sampai kolaps, banyak masyarakat dirugikan. Contohnya, karyawan PT Berau Coal sekitar 20 ribu orang, Kalau PHK setengah saja, berarti 10 ribu orang. Itu pun masih lebih baik daripada kolaps karena bisa 20 ribu orang yang di-PHK,” ucapnya.
Menurut catatan BPS Berau, jumlah pekerja di kabupaten tersebut pada 2019 sebesar 105.321 orang. Sebanyak 45.873 orang atau 42,8 persen di antaranya adalah buruh, karyawan, dan pegawai (sekitar 5 ribuan adalah aparatur sipil negara). Sisanya terdiri dari wiraswasta, pekerja bebas, dan pekerja keluarga yang tidak dibayar (Berau Dalam Angka, 2020, hlm 59).
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Berau, Junaidi, mengatakan bahwa sesuai disposisi kepala daerah, akan menyosialisasikan hal tersebut kepada masyarakat. Mengenai kebijakan efisiensi PT Berau Coal yang diperkirakan diikuti kontraktor dan subkontraktor, Disnakertrans menyarankan agar karyawan bekerja lebih baik. Sebagai contoh, meningkatkan produktivitas atau performa bekerja. Karyawan yang bekerja dengan baik bisa terhindar dari efisiensi tersebut.
“Kami juga menyarankan kepada perusahaan agar tenaga kerja lokal dengan kinerja yang bagus bisa dipertahankan,” terangnya selepas rapat di Kantor DPRD Berau, awal pekan kemarin.
Dampak Terhadap Sektor yang Lain
“Sederhananya begini, jika PHK besar-besaran terjadi, daya beli eks karyawan tambang berikut usaha ikutan seperti jasa transportasi dan boga yang melayani sektor pertambangan akan menurun,” demikian akademikus Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Unviversitas Mulawarman, Samarinda, Hairul Anwar. Menurunnya daya beli dari buruh dan karyawan pasti berdampak langsung kepada sektor swasta seperti usaha mikro, kecil, menengah. Swasta besar dan UMKM akan ikut menurunkan produksi.
“Itu berarti, sektor swasta di luar pertambangan juga terdampak karena harus mengurangi karyawan,” tuturnya.
Kepala Badan Pusat Statistik Berau, Bahramsyah, mengamini pernyataan tersebut. Menurutnya, penurunan kinerja di sektor pertambangan jelas membawa pengaruh besar. Banyak sekali sektor yang terhubung dengan sektor pertambangan. “Bisa dibilang, pertambangan adalah tulang punggung perekonomian Berau,” ucap Bahramsyah.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Berau, Fitrial Noor, juga satu suara. Kondisi perekonomian Berau, katanya, memang masih terjaga. Berau memiliki banyak UMKM sebagai benteng perekonomian. Perputaran uang masih terkendali. Namun demikian, ancaman dari melorotnya kinerja sektor pertambangan tidak boleh diabaikan. “Bila kelesuan sektor pertambangan menimbulkan PHK massal, sudah tentu UMKM mengalami penurunan omzet. Jika dikatakan terganggu, UMKM pasti tetap merasakan dampaknya,” kata Fitrial.
Kadin Berau berharap, pemerintah membantu sektor swasta melalui kebijakan relaksasi maupun penambahan modal kepada UMKM. Menurutnya, ketika sektor pertambangan ambruk, UMKM masih bisa diharapkan sebagai benteng perekonomian. Sektor ini bahkan mampu bertahan selama pandemi Covid-19 walaupun omzet menurun. “UMKM sangat memerlukan tambahan modal untuk pemulihan,” sarannya.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Berau, Wendy Lie Jaya, mengingatkan betul-betul efek domino dari sektor pertambangan. Sebelum perusahaan mengambil langkah antisipasi, Wendy menyarankan, perlu dilihat target penurunan produksi hingga 50 persen di beberapa pit Berau Coal. Jangan sampai, produksi turun padahal sebenarnya masih ada permintaan pasar dunia.
“Kami harap berimbang karena dampaknya sangat besar. Efek domino (dari langkah Berau Coal) juga besar,” jelasnya kepada kaltimkece.id, pertengahan pekan ini.
Ketua DPRD Berau, Madri Pani, mengingatkan hal yang sama. Perusahaan harus memiliki alasan yang jelas dan tepat supaya bisa dipahami masyarakat. Jangan sampai, katanya, kebijakan perusahaan tidak berlandaskan alasan yang kuat. “Kecuali penyetopan tambang secara keseluruhan. Menurut saya, perlu dievaluasi dan harus dipresentasikan alasan tersebut agar tak menimbulkan gejolak,” pintanya.
Bak Candu
Kebergantungan Berau, termasuk sejumlah daerah di Kaltim, terhadap batu bara sudah sangat tinggi bahkan bak candu. Menurut Hairul Anwar dari Universitas Mulawarman, Kaltim sangat terpukul karena fondasi ekonomi bergantung hanya kepada satu komoditas. Pandemi Covid-19 hanya pemicu negatifnya pertumbuhan ekonomi, bukan penyebab utama.
“Kita terlalu nyaman dengan menggali dan menjual (batu bara) saja. Kaltim belum memiliki industri hilir dari sumber daya alam tersebut hingga sekarang. Padahal, kita sudah membicarakan transformasi ekonomi ini lebih dari 10 tahun lalu,” kritiknya. Hairul mengingatkan, bisnis batu bara sangat rentan terguncang karena terhubung langsung dengan pasar global.
Kebergantungan yang tinggi itu diakui Wakil Bupati Agus Tamtomo. Sejak awal, terangnya, Berau seharusnya mendorong sektor yang lain. Jika kondisi seperti sekarang tiba, pemerintah bisa mengandalkan sektor yang lain sebagai penopang ekonomi. Belum lagi, kata Agus Tamtomo, sekitar 60 persen pendapatan daerah di dalam APBD Berau berasal dari royalty batu bara. Penurunan kinerja industri pertambangan diprediksi berdampak kepada besaran APBD Berau karena sektor lain belum mampu menopang ekonomi daerah.
“Pemerintah akhirnya harus membantu meringankan beban perusahaan dengan memberi pengertian kepada masyarakat. Bahwasanya, perusahaan akan mengetatkan keuangan,” jelasnya. Sebagai contoh, memberikan pemahaman ketika dana CSR Berau Coal kepada sejumlah kampung harus ditinjau ulang. Langkah itu sudah disebut Berau Coal dalam surat kepada bupati.
Burhanuddin Mide, ketua Pengurus Perkumpulan Aparatur Perangkat Desa Seluruh Indonesia (P-Apdesi) Berau, mengaku paham dengan situasi ini. Ia membenarkan bahwa kebijakan yang akan diambil PT Berau Coal yakni menunda CSR sudah disosialisasikan oleh kecamatan. Walau tak diundang dalam sosialisasi tersebut, Burhanuddin memahami situasi tersebut.
“Saya pribadi berharap, kondisi bisa segera normal dan CSR tersebut bisa terealisasikan. Kami akan lihat kebijakan selanjutnya,” jelasnya melalui sambungan telepon. Burhanuddin menyarankan, CSR dari PT Berau Coal bisa merata bagi seluruh kampung di Berau. Menurutnya, kampung yang menerima dana CSR kebanyakan masih berlokasi di ring atau lingkar tambang. (*)
Editor: Fel GM