kaltimkece.id Delapan perwakilan warga memenuhi undangan pemprov di Ruang Tuah Himba, lantai enam Kegubernuran Kaltim, Samarinda. Mereka adalah wakil masyarakat Kampung Ongko Asa, Kecamatan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat. Kepada lintas instansi Pemprov Kaltim, Senin, 20 Agustus 2018, warga menyampaikan permasalahan yang ditimbulkan perusahaan batu bara di tempat tinggal mereka.
Baru-baru ini, sebuah perusahaan tambang batu bara bernama PT Kencana Wilsa beroperasi. Kehadiran perusahaan ditentang warga yang khawatir tanah mereka rusak. Aktivitas pengerukan batu bara disebut mengancam dua sungai yang menjadi sumber air warga. Jika kali itu lenyap, 300 jiwa warga Kampung Ongko Asa akan kehilangan mata pencaharian. Dari kedua sungai itulah, ladang padi, tanaman buah, dan kebun karet, menggantungkan sumber airnya.
Warga Kampung Ongko Asa segera bermusyawarah. Mereka kemudian memutuskan tidak menerima aktivitas pertambangan. Warga meminta wilayah kampung dikeluarkan dari izin usaha pertambangan atau IUP. Keinginan itu juga selaras dengan Peraturan Daerah Kaltim 1/2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Menurut RTRW, kampung Ongko Asa ditetapkan sebagai wilayah pertanian.
Namun, sejak 2010, PT Kencana Wilsa memegang izin yang diterbitkan Pemkab Kutai Barat. Dari dokumen izin operasi yang terbit pada 21 Desember 2010 bernomor 545/K/1001/2010, luas konsesi perusahaan sebesar 5.010 hektare. Wilayah operasi perusahaan mencakup enam kampung; lima di Kecamatan Barong Tongkok termasuk Ongko Asa, satu kampung di Kecamatan Melak. Setelah delapan tahun memegang IUP, perusahaan baru mulai beroperasi tahun ini.
Dalam pertemuan di kantor gubernur, Dinas Lingkungan Hidup Kaltim mengungkapkan satu poin penting. Operasi perusahaan diduga tidak dilengkapi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal yang sah. Amdal perusahaan, terbit pada 2010, telah kedaluwarsa karena perusahaan baru beroperasi delapan tahun kemudian.
Pada saat dugaan itu mencuat, warga melaporkan bahwa perusahaan telah beroperasi. PT Kencana Wilsa sudah membangun jalan angkut batu bara atau hauling di Kampung Ongko Asa. Mengetahui hal itu, pemprov yang kini memegang kewenangan pertambangan setelah berlakunya Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, memutuskan memeriksa kondisi lapangan.
“Kami menunggu sikap Pemprov Kaltim. Keputusan warga sudah bulat, menolak tambang batu bara,” jelas Markus, wakil ketua Badan Perwakilan Kampung Ongko Asa, kepada kaltimkece.id, selepas pertemuan.
Baca juga: Musnahnya Dusun Sungai Nangka
Bagun, petinggi (sebutan kepala desa di Kubar) Kampung Ongko Asa, menyatakan bahwa pertambangan membawa dampak buruk bagi desa. Permukiman warga terancam longsor karena berada di bukit. Sedangkan lahan yang hendak ditambang berada di lereng. “Bahkan rumah warga, sesuai peta izin, juga masuk wilayah yang ditambang,” imbuhnya.
Temuan Pemprov Kaltim bahwa amdal perusahaan diduga kedaluwarsa, disebut sebagai pelanggaran berat. Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang, Jatam, Kaltim, Pradharma Rupang, meyakini hal itu. Tanpa dilengkapi amdal yang sah, jelasnya, PT Kencana Wilsa memenuhi unsur pidana lingkungan sesuai Undang-Undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Sesuai pasal 109 ayat 1, ancaman penjara minimal satu tahun dengan denda Rp 1 miliar, dan maksimal tiga tahun dengan denda Rp 3 miliar,” beber Rupang kepada kaltimkece.id.
Dikonfirmasi dugaan tersebut, Kepala Teknik Tambang PT Kencana Wilsa, Fery, memberikan penjelasan. Perusahaan disebut tengah memperbaiki dokumen lingkungan. “Kalau sudah selesai, bisa dicek di kantor. Semua ada dan lengkap,” jelas Fery yang dihubungi kaltimkece.id melalui sambungan telepon.
Namun, ketika disinggung mengapa perusahaan telah beroperasi sementara amdal masih diurus, Fery tak menjawab dengan tuntas. “Emmm, masalah itu, eh, akan saya laporkan ke atasan,” jawabnya dengan terbata-bata. Namun demikian, Fery meluruskan bahwa permasalahan di Kampung Ongko Asa telah disampaikan perusahaan kepada gubernur. Perusahaan disebut tetap mematuhi seluruh aturan.
Dampak Membaiknya Harga Batu Bara
Konflik dan dugaan pelanggaran di bidang lingkungan di Kampung Ongko Asa disebut hanya satu contoh. Pola sedemikian muncul kembali setelah harga batu bara bangkit pada pertengahan 2017.
Di pasar dunia, emas hitam sempat jatuh hingga USD 50 per ton pada periode 2013-2017. Setahun belakangan, harga batu bara terus menanjak. Per Juli 2018, harga batu bara acuan sudah di angka USD 104,65 per ton (rilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2018).
Membaiknya performa batu bara di pasar dunia membuat perusahaan tambang yang sempat tiarap bangkit kembali. Pengerukan batu bara mulai masif di berbagai wilayah Bumi Mulawarman. Tongkang-tongkang pengangkut batu bara memenuhi Sungai Mahakam.
Di balik kebangkitan itu, permasalahan seperti di Kampung Ongko Asa merebak di wilayah pertambangan Kaltim. Jatam Kaltim mencatat, telah menerima 30 laporan warga sejak 2017 hingga 2018. Sebagian besar laporan datang dari Kutai Kartanegara. “Beberapa yang lain kami terima dari Kutai Barat, Kutai Timur, Samarinda, Berau, dan Paser,” jelas Pradharma Rupang dari Jatam Kaltim.
Baca juga: Hoax Emas Kaltim yang Mendunia-1: Dari Makan Malam, Sejarah Gelap Busang Dimulai
Ditilik dari jenis kasus, sebagian besar laporan adalah pencemaran lingkungan, penyerobotan lahan, dan kriminalisasi. Jatam tengah mengadvokasi lima kasus kriminalisasi warga. Pola yang diderita warga serupa ketika berhadapan dengan perusahaan. Mereka yang berusaha mempertahankan tanah dituduh menguasai lahan perusahaan dan mengganggu operasi tambang. Seorang warga telah divonis satu tahun penjara, sementara empat yang lain masih menjalani proses hukum.
Dalam pandangan Jatam, kembali bergairahnya dunia pertambangan akan membawa masalah lama. “Jika kita tidak belajar, pengalaman pada era 2005 sampai 2013 akan terulang. Ada konflik agraria, kriminalisasi, kerusakan lingkungan, hingga lubang bekas tambang yang telah merenggut 29 nyawa,” jelasnya. Tanpa belajar kepada masa silam, Kaltim kembali harus berhadapan dengan kutukan sumber daya alam. (*)
(Dilengkapi oleh: Muhammad Yamin)