kaltimkece.id Sebuah gubuk kayu berlapis cat hijau dan merah muda membisu di tepi ladang. Rumah itu tak berpenghuni. Lantai di berandanya begitu berdebu. Sehamparan kebun lada yang tak jauh dari rumah itu telah mengering. Rambatan dedaunan di jejeran batang kayu ulin pun menguning. Sebagian besar sahang --sebutan untuk tumbuhan lada-- itu sebenarnya telah mati.
Nasib yang nyaris serupa diderita kebanyakan kebun sahang di Dusun Surya Bhakti, Desa Batuah, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara. Desa ini berdiri di sebuah bukit. Di bawah bukit itu, seluruh lahan telah dikupas. Digali untuk diambil batu baranya.
Di satu sisi punggung bukit, sebuah ekskavator asyik menggaruk tanah dan batu bara. Ketika kaltimkece.id datang ke dusun ini, dua pekan silam, alat berat itu sedang memindahkan material ke dalam truk. Saban tiga menit sekali, truk dengan enam roda silih berganti datang. Kendaraan-kendaraan itu melintasi ladang merica, sawit, dan rambutan. Angin September yang kering menerbangkan debu ke mana-mana.
Dusun Surya Bhakti terdiri dari dua rukun tetangga yakni RT 21 dan RT 22. Sebuah jalan cor beton sepanjang 2 kilometer yang penuh lubang di kiri dan kanan membelah dusun. Di bahu jalan itu, turus-turus dari kayu ulin bekas rambatan tanaman lada teronggok di atas tanah kering. Batang-batang yang dulu menjadi sumber rupiah warga setempat telah dipenuhi lumut hijau.
Belasan rumah kayu dan beton yang mengapit ujung jalan sudah setengah roboh, lebih tepatnya dirobohkan. Masih ada tiang-tiang bulat berukir garis lurus, ada pula dari batu alam. Enam orang, laki-laki dan perempuan, sibuk menyusun kayu di bekas puing-puing rumah. Permukiman ini memunggungi bekas galian batu bara. Menurut beberapa warga yang kaltimkece.id temui, bangunan dan tanah di situ sudah diganti rugi perusahaan. Permukiman itu segera ditambang.
Lada Unggulan
Surya Bhakti di Kecamatan Loa Janan yang dikepung aktivitas tambang batu bara bukan dusun sembarangan. Kawasan ini dikenal sebagai sentra perkebunan dan pembibitan lada malonan di Kaltim. Malonan adalah akronim dari Muara Badak dan Loa Janan. Lada malonan digolongkan sebagai varietas lokal unggul bersertifikat Kementerian Pertanian seperti tertulis dalam SK 448/Kpts/KB.120/7/2015.
Sepanjang tahun ke tahun, lada menjadi komoditas unggulan Kukar dan Kaltim. Pada 2018, Kecamatan Loa Janan masih menjadi sentra komoditi merica dengan luas tanam 3.379 hektare atau 75 persen dari luas kebun lada di Kukar. Produksi lada di kecamatan ini menembus 3.263 ton atau 90 persen dari total produksi lada kabupaten. Tercatat 1.500 petani sahang yang bergabung dalam 60 kelompok tani berbagai komoditas di Loa Janan. Selain Loa Janan, lada dikembangkan di Kecamatan Muara Badak dan Samboja (dokumen Dinas Perkebunan Kaltim, 2018).
Basri Baharuddin, 50 tahun, adalah petani sekaligus pembudidaya lada malonan di Dusun Surya Bhakti. Menurutnya, rempah-rempah berbentuk biji kecil dengan rasa pedas ini sudah ditanam turun-temurun. Tepatnya, sejak orangtua Basri masih bermukim di Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara, pada 1960-1970-an.
“Orangtua saya pindah dari Muara Badak ke sini (Loa Janan). Di sana (Muara Badak), tanahnya sudah tidak cocok setelah perusahaan migas beroperasi,” katanya seraya menancap bibit lada di polybag. Basri masih menggarap lahan seluas 2,5 hektare di RT 20, Dusun Surya Bhakti.
Pria kelahiran Soppeng, Sulawesi Selatan, ini, menuturkan bahwa merica malonan ditanam intensif oleh pendatang dari Sulawesi Selatan. Belum jelas dari mana asal usul lada itu. Saat ini, varietas lada malonan I dibudidayakan petani di Loa Janan utamanya di Desa Batuah. Mulai dari Kilometer 17 sampai Kilometer 33 (jika dihitung dari Samarinda).
Basri melanjutkan penjelasannya. Lada malonan I disebut punya nilai jual yang tinggi. Kadar minyak atsirinya lebih besar ketimbang varietas yang lain. Rasanya lebih pedas. Aromanya juga lebih harum jika diolah menjadi lada putih. Keunggulan berikutnya, varietas ini bisa dipanen setiap 15 hari sekali. Itu di luar panen raya dua kali setahun yakni antara Februari-Maret dan Agustus-September. Berbeda dari varietas yang lain. Paling banter, kata dia, non-lada malonan hanya panen setahun sekali dan tak tahan kering.
Basri memanen 100 kilogram buah lada segar dari 2 hektare lahan setiap dua pekan. Untuk 1 hektare kebun, jelas dia, ditanam 2.500 batang tumbuhan menjalar itu. Jika buah lada sudah dikeringkan, Basri mendapat kira-kira 10 kilogram per hektare. Dalam sebulan, artinya dia mampu memanen 20 kilogram lada kering.
Petani paruh baya ini melanjutkan perhitungannya. Dalam setahun, dikurangi empat bulan masa panen raya, petani lada malonan bisa 16 kali memetik buah. Jika setiap panen terkumpul 10 kilogram lada kering, Basri bisa menghasilkan 160 kilogram lada kering dalam setahun. Adapun harga lada kering saat ini, paling rendah di tingkat tengkulak adalah Rp 40 ribu per kilogram --jauh merosot dari Rp 200 ribu per kilogram pada 2000-an. Dari harga tersebut, Basri bisa merengkuh Rp 6,4 juta per tahun, baru dari panen reguler.
Saat panen raya pada Februari-Maret dan Agustus-September, penghasilan Basri lebih besar lagi. Setiap tanaman berumur tiga tahun bisa menghasilkan 6 ons lada segar per pokok. Jika lahan 2 hektare miliknya ditanami 5.000 pokok lada malonan, Basri mengumpulkan 6.000 ton lada segar dalam dua kali panen raya. Setelah diolah, diperoleh 600 kilogram lada kering. Dengan harga paling rendah saja, Rp 40 ribu per kilogram, ia bisa mendapat Rp 24 juta dari dua kali panen raya.
Dari panen reguler dan panen raya, Basri bisa mengantongi Rp 30,4 juta setahun. Dengan demikian, pendapatan rata-rata setiap bulannya adalah Rp 2,5 juta. Penghasilan itu belum ditambah jual-beli bibit malonan yang Basri kembangkan di atas lahan 1 hektare. Ada 600 ribu bibit siap jual ke Dinas Perkebunan. Setiap bibit dalam polybag dijual Rp 7.500. Jika laku semua, tidak main-main, Basri bisa mengantongi pendapatan kotor Rp 4,5 miliar.
Perputaran uang dari budi daya lada malonan terbilang besar. Setidaknya, bisa dihitung dari total produksi 3.263 ton merica di Kecamatan Loa Janan pada 2017 yang dicatat Dinas Perkebunan Kaltim. Perputaran uang bisnis lada di tingkat petani lokal di kecamatan ini mencapai Rp 130,5 miliar per tahun.
Sayang seribu sayang, kisah manis lada malonan kini terancam. Alih fungsi lahan seiring masifnya aktivitas pertambangan batu bara menggerus ladang-ladang sahang. Dusun Surya Bhakti, contohnya, kini diapit aktivitas PT Karya Putra Borneo. Menurut pengecekan kaltimkece.id dari dokumen Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kaltim, perusahaan memegang izin usaha pertambangan (IUP) berdasarkan Surat Keputusan 540/136/IUP-OP/MB-PBAT/VIII/2011. Jika dilihat dari tanggal penerbitan yaitu 12 Agustus 2011, SK ini mestinya ditandatangani Bupati Kukar saat itu, Rita Widyasari. Luas konsesi yang diterima PT Karya Putra Borneo 914 hektare. IUP-nya berstatus clean and clear (CNC) dan habis pada 12 Agustus 2023.
Dikelilingi Tambang Batu Bara
Basri menjadi saksi hidup perjalanan Dusun Surya Bhakti selepas perusahaan beroperasi. Sungai kecil yang biasa digunakan untuk menyiram bibit dua kali sehari disebut semakin surut. Air sungai kini bercampur lumpur yang terbawa dari aktivitas bukaan lahan. Basri mengaku, terpaksa memakai air yang tersisa dari sungai kecil tak jauh dari ladang pembibitan di RT 20. Itupun, debit airnya semakin kecil. Basri kini membuat kolam penampungan air hujan. Ia khawatir, 600 ribu bibit merica yang telah disemai mati kekeringan.
“Saat hujan, air keruh bercampur lumpur. Saat kemarau, air susah,” katanya.
Darurat air di kebun sahang punya konsekuensi besar. Untuk menghasilkan lada putih berkualitas, petani wajib merendam biji lada di air yang mengalir selama 10-15 hari. Tujuannya memudahkan pelepasan kulit luar. “Kami terpaksa merendam di kolam saja. Padahal, kalau air mengalir, lada jadi semakin putih dan harga makin tinggi,” kata Basri seraya menunjuk kolam lumpur berair cokelat.
Masalah air juga dikeluhkan warga sekitar. Di sekeliling Dusun Surya Bhakti, bak penampungan air berlogo perusahaan dengan mudah ditemui. Bak itu tersambung dengan pipa dan mesin pompa air.
Burhanuddin, warga RT 20 yang tinggal di Surya Bhakti sejak 2000, buka suara. Orangtua Burhanuddin awalnya bermukim di sini pada 1960-an. Saat itu, sumber air gratis tersedia. Ada dua sumur dan mata air dekat permukiman. Sejak perusahaan batu bara beroperasi tujuh tahun silam, kata dia, sumber mata air mengering dan hilang.
Sebagai ganti, Burhanuddin dan para tetangga harus membeli air minum di depo pengisian air. Sebanyak 40 liter dalam dua jeriken ditebus Rp 10 ribu saban pekan. Untuk keperluan mandi dan cuci pakaian, warga memanfaatkan air tampungan. Sepengetahuan Burhanuddin, air itu disedot dari lubang bekas tambang di depan rumahnya. Air dari kolam tampungan buatan perusahaan dengan kode SP-07 itu berwarna cokelat kehijauan. Rasanya sedikit asam. Di pintu air, tiga mesin pompa milik warga menempel.
“Enggak ada pilihan lagi,” keluh Burhanuddin ketika ditemui di tepi kolam buatan itu.
Dusun Surya Bhakti tak sendiri. Di dusun sebelah, Tani Jaya --masih di Desa Batuah, hamparan hijau daun lada telah berubah cokelat bercampur debu. Mulai debu jalanan maupun debu aktivitas penambangan.
Lanussu, 63 tahun, adalah petani lada yang mendiami Dusun Tani Jaya sejak 1990-an. Dia mengeluhkan kondisi itu. “Seluruh penjuru mata angin kampung dikepung tambang. Debu semua. Mana bisa tanaman sehat,” katanya.
Persoalan lain adalah dampak peledakan dari aktivitas pertambangan batu bara di seberang dusun. Lanussu memperkirakan, jaraknya 1 kilometer. Blasting berlangsung sekali setiap hari pada pukul 13.00 Wita. Getaran peledakan merembet ke rumah. Warga sekitar yang menemani kaltimkece.id menunjukkan sejumlah bangunan yang retak-retak. Sebagian kerusakan itu telah ditambal semen.
“Buah lada, durian, dan lai --yang masih muda, rontok karena getaran. Bisa gagal panen,” keluh Lanussu lagi.
Belum ada cerita ganti rugi akibat blasting. Padahal, warga sempat menyampaikan masalah ini kepada perusahaan. Yang mereka terima hanya kompensasi dari dampak debu. Kompensasi itu berupa mi instan, sabun mandi, susu kental manis, dan sembako. Perusahaan menyalurkan sebulan sekali.
Iming-iming Jual Lahan
Pria berambut putih duduk di kursi plastik di depan rumahnya di RT 21, Dusun Surya Bhakti. Embusan angin bercampur debu plus suhu 34 derajat Celcius seperti tak mengganggunya. Selama 7 menit pada Sabtu siang, 15 September 2019, pria tua itu hanya menatap bekas galian tambang batu bara di depan rumah. Hanya jalan tanah selebar minibus yang memisahkan rumah panggung dua lantai miliknya dengan cekungan galian. Kedalaman galian itu hampir tiga kali tinggi rumahnya.
Sebelum perusahaan beroperasi, Dusun Surya Bhakti dihuni 50-an kepala keluarga. Pak tua tadi, yang enggan namanya ditulis, mengatakan bahwa hanya punya dua pilihan. Pertama, menjual tanah kepada perusahaan. Kedua, pilihan untuk bertahan. Pilihan kedua berarti setiap hari memandang lubang menganga setiap kali membuka pintu belakang. Hanya 15 kepala keluarga yang mengambil pilihan kedua itu. Yang lain, memutuskan menjual rumah dan kebun sahang mereka.
“Saya belum cocok dengan harga yang ditawarkan perusahaan. Saya minta Rp 350 juta, perusahaan hanya menawar Rp 250 juta,” kata pria tua tadi dengan bibir yang terlipat.
Burhanuddin, 38 tahun, adalah petani lada yang lain di RT 20. Dia sama sekali enggan menjual tanah peninggalan orangtuanya kepada perusahaan. Tanah warisan itu 900 meter persegi luasnya. Burhanuddin menanam sawit dan merica. Kalaupun harus dilepas, ia menaruh harga yang sangat tinggi, Rp 1,5 miliar.
Sikap itu disebut membawa konsekuensi. Burhanuddin mengaku, menerima perkataan yang mengandung ucapan menakut-nakuti. Jika tak menjual tanah, katanya, perusahaan tak akan berbuat banyak ketika terjadi apa-apa di kemudian hari. Konsekuensi lain adalah polusi udara dan suara seperti yang ia dapati dua tahun terakhir. Siang malam, sejak 2017, Burhanuddin beserta keempat anggota keluarga mendengar suara bising alat berat tepat di depan rumah. Jika angin sedang kencang, debu berwarna cokelat bercampur serpihan hitam batu bara menempel di perabot dan halaman rumah.
“Saya sempat menegur bulan lalu. Berisik dan debu. Saya malah didatangi orang suruhan perusahaan. Mereka bilang, itu hak perusahaan,” jelasnya.
Konsekuensi yang paling berat bagi Burhanuddin adalah ancaman longsor. Jarak rumah dan cekungan tinggal hitungan meter. Persoalan ini sudah dia sampaikan kepada perusahaan dan instansi berwenang di Kukar. Namun, hingga sekarang, belum ada tanggapan. “Kalau rumah longsor, atau saya kenapa-kenapa, kami pasrah dengan Yang Di Atas. Kami tak bisa berbuat apa-apa lagi,” tuturnya.
Para petani lada yang memilih bertahan punya pertimbangan sederhana. Tanah turun-temurun disebut investasi jangka panjang dan sumber utama mata pencaharian. kaltimkece.id kembali menemui Basri Baharuddin, petani setempat, untuk mendapatkan informasi. Dalam banyak contoh yang Basri lihat, petani menjual tanah karena lahan mereka terkena longsor akibat pertambangan. Ada pula yang menjual lahan di bagian dalam dusun.
Mereka lalu membeli lahan di pintu masuk dusun, membangun rumah yang lebih mewah, dan kembali bercocok tanam. Tapi, banyak juga cerita pilu. Uang pembebasan lahan habis. Petani tak punya pekerjaan. Mereka terpaksa pulang ke Sulawesi. Sepengetahuan dia, tanah dan bangunan paling mahal dijual Rp 500 juta per hektare.
kaltimkece.id berupaya mengkonfirmasi persoalan ini kepada PT Karya Putra Borneo. Pada Rabu, 18 September 2019, media ini mendatangi lokasi operasi perusahaan di Desa Batuah. Dua petugas keamanan di pos jaga yang berbeda hanya meminta media ini mendatangi kantor perusahaan. Alamat kantor disebut di Perumahan Pesona Mahakam, Kelurahan Harapan Baru, Loa Janan Ilir, Samarinda.
Di kantor berlantai dua yang bercat putih itu, hanya ada petugas keamanan di pintu masuk. Petugas tersebut menjelaskan, tak satu pun dari pihak perusahaan yang dapat dimintai keterangan. Begitu pula kepala teknik tambang yang sedang rapat di kantor itu.
“Tidak ada yang bisa berbicara. Kalau mau, ke kantor pusat di PT Indo Perkasa,” jelas petugas keamanan yang tidak mau menyebutkan namanya itu.
PT Indo Perkasa, menurut keterangan, beralamat di Jalan Gerbang Dayaku, Bakungan, Kecamatan Loa Janan, Kutai Kartanegara. Sebuah konveyor yang mencurahkan emas hitam ke dalam ponton berdiri di sebelah kantor. Kami diterima seseorang bernama Heri, kepala keamanan PT Indo Perkasa. Heri meminta kaltimkece.id mengirimkan surat permohonan wawancara.
Surat tersebut dikirimkan keesokan harinya, Kamis, 19 September 2019. Permohonan ditujukan kepada kedua perusahaan, PT Karya Putra Borneo dan PT Indo Perkasa. Sampai berita ini naik tayang, Ahad, 6 Oktober 2019, atau setelah lewat dua pekan, perusahaan belum merespons upaya konfirmasi tersebut. (*)
Editor: Fel GM
Ralat: kami memperbaiki nama dusun, dari sebelumnya tertulis Karya Bhakti. Yang benar adalah Surya Bhakti. Lewat ralat ini, kesalahan telah diperbaiki -Redaksi-