kaltimkece.id Untuk kesekian kali, pesut ditemukan mati di perairan Sungai Mahakam. Pada Sabtu, 26 Mei 2018, warga mendapati bangkai mamalia air tawar itu di Desa Bakungan, Kecamatan Loa Janan, Kutai Kartanegara. Peneliti masih menyelidiki penyebab kematian satwa malang yang ditemukan dengan badan sudah kekuning-kuningan.
Pesut yang ditemukan mengapung itu berusia lebih dari 19 tahun. Para peneliti mengenalinya sebagai pesut yang pernah diidentifikasi pada 1999 di Desa Bukit Jering, Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Ia dinamai Pepe oleh Danielle Kreb, seorang perempuan Belanda yang selama 21 tahun mengabdikan diri meneliti pesut Mahakam.
Dalam survei April 2016 lalu, peneliti Yayasan Konservasi RASI, Rare Aquatic Species of Indonesia, kembali bertemu Pepe. Ia diberi kode SKR 35 saat didokumentasikan di Sungai Pela, anak Sungai Mahakam di Kecamatan Kota Bangun, Kukar. “Dari dokumentasi dan pencocokan bentuk sirip di database komunitas, individu yang mati adalah SKR 35,” tulis pengelola media sosial Save The Mahakam Dolphin yang mengidentifikasi bangkai pesut.
Pepe adalah pesut kedua yang mati sepanjang 2018. Pesut pertama ditemukan pada Senin, 5 Februari silam, di Kecamatan Anggana, Kukar.
Merosotnya Populasi
Habitat pesut semakin sempit dalam beberapa dekade ini. Sampai 2007, ruang hidup pesut di Sungai Mahakam telah berkurang 120 kilometer. Pesut hanya ditemukan di 180 kilometer dari muara sungai, yakni di Kukar, hingga 600 kilometer ke arah hulu (Status and Conservation of Irrawaddy Dolphins Orcaella Brevirostris in the Mahakam River of Indonesia, 2007).
Menyusutnya habitat seturut dengan melorotnya populasi. Pada 1980-an, jumlah mereka diperkirakan masih 200 hingga 300 ekor. Pesut dalam kelompok besar terkonsentrasi di Danau Melintang dan Danau Jempang (Dolphins and Porpoises: A Worldwide Guide, 1993).
Enam tahun lalu atau pada 2012, jumlah pesut tersisa 92 ekor. Angka itu terus melorot pada 2016 menjadi 77 ekor, dengan jumlah maksimal 84 ekor. Menurut Danielle Kreb selaku peneliti sebagaimana dilansir dari Antara, rata-rata tiga sampai empat ekor pesut mati setiap tahun di Sungai Mahakam. Angka kematian itu hanya sedikit lebih rendah dari angka kelahiran yakni lima ekor per tahun. Apabila angka kematian rata-rata mencapai 6 ekor per tahun, pesut akan punah dengan tingkat kepastian 60 persen.
Dari perbandingan itu, International Union for Conservation of Nature memasukkan pesut ke daftar merah spesies yang terancam punah. Status pesut dikategorikan kritis atau berstatus rawan punah. Adapun angka kematian pesut tertinggi adalah pada 2012. Sebanyak enam ekor mati, lima di antaranya disebabkan jaring nelayan, seperti dilaporkan dalam jurnal berjudul Kelimpahan dan Sebaran Populasi Pesut Mahakam di Sungai Mahakam Kalimantan Timur (2012).
Baca juga: Musnahnya Dusun Sungai Nangka
Kematian pesut dewasa jelas membawa dampak buruk bagi populasinya. Sebagai gambaran, seekor pesut harus mengandung selama 14 bulan untuk melahirkan anak. Pesut dewasa di Sungai Mahakam diperkirakan tersisa 40-an ekor. Jika asumsi jumlah jantan dan betina merata, hanya 25 persen pesut betina dewasa yang melahirkan setiap tahun. Kematian seekor pesut betina dewasa dapat menurunkan angka kelahiran dari 5 ekor menjadi 4,75 ekor per tahun.
Makin Terjepit
Pesut tersingkir dari muara Sungai Mahakam hingga perairan Samarinda karena semakin ramainya aktivitas pelayaran. Satwa itu sukar hidup berdampingan dengan bising kapal. Sebagai mamalia yang hidup di air, binatang itu memiliki penglihatan yang buruk. Mereka melihat keadaan sekitar dari pantulan suara, sebagaimana yang kelelewar lakukan (Whales of The World, 1988).
Suara gaduh kapal penarik tongkang yang melintasi habitat pesut akan mengganggu sistem sonar. Ketika “penglihatan” utama terganggu, mereka menderita kebutaan. Satu-satunya cara untuk keluar dari kebutaan itu adalah menuju sinar di atas permukaan Sungai Mahakam. Pesut pun bergerak naik ke permukaan air.
Celakanya, gerakan alami itu kemungkinan besar membuat mereka segera ditabrak kapal beserta tongkang. Itulah pembunuh nomor dua pesut setelah jaring nelayan menurut penelitian Yayasan Konservasi RASI.
Pesut akhirnya menyingkir ke anak-anak Sungai Mahakam yang sepi dari lalu lintas tongkang. Habitat mereka kini di Sungai Kedang Rantau, Sungai Kedang Kepala, Sungai Belayan, Sungai Pela, dan Batubumbun.
Pergi jauh ke cabang Mahakam bukan berarti hidup pesut menjadi tenang. Mereka justru kehilangan sumber makanan. Sejumlah rawa-rawa yang menopang kehidupan sungai dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Padahal, di situlah tempat berkembang biak ikan kecil yang merupakan makanan utama pesut.
Binatang Purba
Sebagai mamalia yang hidup di dalam air, pesut adalah keluarga dekat lumba-lumba dan paus. Ketiganya istimewa karena hidup di habitat yang tak semestinya bagi kelompok mamalia. Mereka menjadi “ikan” yang bernapas dengan paru-paru, hamil, melahirkan, dan menyusui di dalam air. Mamalia ini memang bukan ikan. Paus, lumba-lumba, dan pesut, meluncur di dalam air dengan gerakan tubuh naik turun. Berbeda dengan cara ikan berenang yakni mengibaskan tubuh ke kiri dan kanan.
Pesut dan lumba-lumba, sebagaimana nenek mereka yakni paus, adalah binatang purba. Para ahli biologi menduga bahwa kelompok mamalia yang hidup di air adalah hasil evolusi. Kesimpulan itu semakin kuat setelah penemuan fosil pada 2000 dan 2004 di Pakistan. Belulang itu adalah hewan darat berbobot sangat besar yang diperkirakan sebagai cikal-bakal paus (Great Transformation in Vertebrate Evolution, 2015).
Paus adalah hasil evolusi pada 50 juta tahun yang lalu. Sebelumnya, paus merupakan binatang darat yang hidup bersama-sama kaum dinosaurus. Perpindahan mereka ke laut diduga untuk menghindari kompetisi dengan para dinosaurus. Makanan di laut berlimpah dan pesaing di sana sedikit. Selama 20 juta tahun berjalan, evolusi mencapai bentuk sempurnanya pada spesies paus sperma. Delapan juta tahun kemudian, evolusi paus sperma melahirkan lumba-lumba dan pesut (Whales, 2003).
Baca juga: Ironi di Balik Posisi Lima Kaltim, Provinsi dengan Bandara Terbanyak
Setelah 12 juta tahun menghuni bumi, pesut pertama kali dideskripsikan profesor biologi berkebangsaan Inggris bernama Sir Richard Owen. Dia meneliti pesut yang dikirim dari India. Salah satu keunikan hewan itu adalah selalu tersenyum. Hal itu, menurut Owen, karena mulut pesut dikelilingi bibir yang melengkung ke arah mata (Orcaella Brevirostris, 1866).
Pesut dewasa jantan dapat memiliki panjang 2 sampai 2,5 meter dengan berat 90 sampai 100 kilogram. Mereka adalah perenang santai yang bergerak lamban. Kemampuan menyelam pesut juga lumayan karena mampu menahan napas antara 70 sampai 150 detik. Mereka menghirup udara dengan mengeluarkan kepala lebih dulu diikuti oleh ekor yang menepuk-nepuk permukaan air.
Sebagai mamalia yang istimewa dan langka, pesut mendapat tempat yang istimewa pula. Bukan hanya maskot kota, namanya menjadi julukan bagi klub sepak bola di Samarinda. Sayang, keistimewaan bagi pesut itu hanya di darat, tidak berlaku di Sungai Mahakam. Habitat pesut terus berkurang, begitu pula ketersediaan makanan.
Lima puluh juta tahun lalu, nenek moyang pesut pergi dari darat ke air. "Keputusan" itu ditempuh karena kalah bersaing dalam perebutan makanan dengan dinosaurus yang juga memangsa mereka. Hari ini, pesut yang sudah hidup di Sungai Mahakam justru kekurangan makanan dan terus terbunuh. Bukan dinosaurus, manusia yang melakukannya. (*)