kaltimkece.id Dari gelapnya kurungan hijau yang dikelilingi jeruji besi, empat orangutan mengintip-intip ke luar. Keramaian di sekitar kandang membuat mereka penasaran. Sebuah seremoni, sumber kemeriahan tadi, rupanya tengah berlangsung untuk merayakan pelepasan orangutan ke alam liar.
Senin, 27 Agustus 2018, empat orangutan tersebut dibawa Borneo Orangutan Survival atau BOS Foundation ke kantor BKSDA, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur, di Samarinda. Momen pelepasan dihadiri Muhammad Ridwan Hafiedz atawa Ridho, gitaris grup band Slank. Model cantik Davina Veronika selaku CEO Garda Satwa Indonesia, sekaligus juru kampanye BOS Foundation, turut dalam acara.
Keempat orangutan jantan itu bernama Mads, 8 tahun; Riva, 7 tahun; Biber, 7 tahun; dan Restu, 6 tahun. Bersama mereka telah menanti dua orangutan betina di tepi hutan yang bernama Menur dan Josta, sama-sama 11 tahun. Keenam orangutan itu dilepaskan di Hutan Kehje Sewen, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Senin sore, 27 Agustus 2018.
Spesies dengan 97 persen DNA menyerupai manusia ini harus memiliki “ijazah” untuk bisa pulang ke alam liar. Mereka mestilah lulus dari sekolah orangutan. Sekolah itu diampu BOS Foundation, berdiri di Hutan Samboja Lestari, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara. Di sana, orangutan menempuh pendidikan berbasis kurikulum sifat. Mereka menerima pelajaran yang bertujuan menemukan kembali sifat alami sebagai hewan.
Sifat itu telah hilang sejak orangutan ditemukan BKSDA dan diserahkan kepada BOS Foundation. Sebagian besar orangutan didapati ketika masih bayi, biasanya adalah korban perburuan liar. Kondisi mereka beragam ketika diselamatkan. Mulai penuh luka, kehilangan induk, hingga hanya trauma.
“Bayi-bayi orangutan ini akhirnya harus tumbuh di luar habitat. Mereka akan kesulitan hidup di hutan. Itu sebabnya, kami menyediakan sekolah ini,” jelas Manajer Program Yayasan BOS Foundation, dokter hewan Agus Irwanto, kepada kaltimkece.id.
Sebagai lembaga yang konsen terhadap orangutan sejak 1991, BOS Foundation bekerja sungguh-sungguh. Di sekolah, tak lain pusat fasilitas rehabilitasi orangutan, BOS menyediakan 420 tenaga manusia. Mereka terdiri dari ahli primata, pakar keanekaragaman hayati, ekologi, rehabilitasi hutan, agroforestri, pemberdayaan masyarakat, komunikasi, edukasi, dan kesehatan orangutan. Merekalah yang mendidik bayi orangutan agar memiliki kemampuan memanjat pohon, mengenal buah dan makanan, serta membuat dan memperbaiki sarang. Orangutan juga menerima pendidikan mengenali bahaya dan kompetitor di alam liar.
“Kemampuan orangutan yang paling utama adalah selalu hidup di pohon. Kemampuan itu, sejatinya, hanya bisa didapat selagi bersama sang induk,” kata Agus.
Satwa endemik Kalimantan dan Sumatra yang terancam punah itu bersekolah selama lima sampai tujuh tahun. Waktu tempuh pendidikan ditentukan dari kemampuan dan kemauan individu menerima pelajaran. Kemampuan dan kemauan itu berbeda-beda seturut tingkat inteligensi orangutan. Seperti manusia, ada orangutan yang pintar dan ada pula yang kurang pintar.
“Dan sama seperti manusia, ada orangutan yang malas dan semaunya sendiri, bahkan ada yang suka bolos sekolah,” tutur Agus menceritakan pengalamannya mendidik para orangutan.
Pada akhirnya, biaya sekolah orangutan ini sangat mahal. Untuk mendidik seekor orangutan saja, BOS Foundation mengeluarkan Rp 3 juta per bulan atau Rp 18 juta per semester. Uang sekolah para orangutan ini bahkan melebihi biaya kuliah per semester di Fakultas Kedokteran, Universitas Mulawarman, Samarinda. Sampai mereka lulus demi menatap kehidupan di hutan liar, total biaya pendidikan seekor orangutan bisa mencapai Rp 135 juta. Dana itu sudah termasuk ongkos makan dan pemeriksaan kesehatan. Keseluruhan biaya ditutupi lewat bantuan donatur, perusahaan swasta, dan pemerintah.
Setelah Kelulusan
Keenam orangutan yang dilepaskan BOS Foundation bersama BKSDA Kaltim tadi dianggap telah lulus sekolah. Mereka sudah memiliki keterampilan dan perilaku yang memenuhi syarat untuk hidup mandiri di hutan. Namun demikian, orangutan tidak dibiarkan begitu saja. Selama dua bulan pertama menjalani hidup barunya di belantara, orangutan masih dipantau melalui chip yang dipasang di tubuh.
Dari hasil patroli rutin, 90 persen orangutan berhasil beradaptasi di rumah baru mereka. Orangutan yang baru dilepas segera belajar kepada orangutan liar. Jika ada yang dianggap tidak mampu, misalnya ditemukan sakit, patroli mengembalikannya ke sekolah. Ada pula orangutan yang mati setelah dilepaskan. Agus mengisahkan, bangkai orangutan pernah ditemukan. Kematiannya diduga karena terjatuh dari pohon.
“Sampai saat ini, terdata lima orangutan yang mati. Selain terjatuh dari pohon, ada yang sakit atau terluka karena berkelahi. Itulah sebabnya, kurikulum pelajaran orangutan sangat penting,” sambung Agus.
Aldriyanto Priyajati adalah direktur konservasi PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia atau RHOI. Perseroan ini dibentuk Yayasan BOS Foundation untuk mengelola Hutan Kehje Sewen di Kutai Timur. Di situlah orangutan dilepaskan. Sekolah orangutan milik BOS Foundation tercatat telah 17 kali “meluluskan” orangutan dan melepaskan mereka di Hutan Kehje Sewen sejak 2012. Secara keseluruhan, 97 orangutan telah dilepaskan di hutan restorasi ekosistem tersebut.
Hutan Makin Berkurang
Habitat dari spesies bernama latin Pongo pygmaeus ini semakin berkurang dari waktu ke waktu. Berdasarkan survei BOS Foundation pada 2010, tercatat 54 ribu orangutan liar di Kalimantan. Populasi tersebut telah berkurang dua pertiga dibanding 2004 yakni 160 ribu ekor. Kantong orangutan di Kaltim tinggallah di hutan Kutai Timur dan di Kecamatan Muara Muntai, Kutai Kartanegara.
Masalah utama cekaknya habitat orangutan adalah tangan manusia. Orangutan tidak bisa hidup di wilayah yang telah dijamah manusia. Dalam satu dekade terakhir saja, 1,2 juta hektare kawasan hutan di Indonesia telah beralih fungsi setiap tahunnya. Pembalakan liar, pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan, serta perburuan dan perdagangan orangutan, adalah penyebab utama alih fungsi tersebut. Keadaan itu diperparah kebakaran hutan yang disebabkan fenomena iklim seperti badai El Nino dan musim kering berkepanjangan. Luas hutan yang terus tergerus menyebabkan peningkatan konflik antara orangutan dan manusia.
Hutan Kehje Sewen, tempat BOS Foundation melepas orangutan, adalah satu dari sedikit rimba yang masih perawan. Namun, daya tampung hutan seluas 86.450 hektare itu hanya cukup buat 150 ekor orangutan. Dengan demikian, “kaplingan” yang tersisa cuma untuk 53 orangutan lagi. Padahal, masih ada 144 orangutan yang sudah masuk daftar tunggu untuk dilepaskan BOS Foundation. Kondisi itu mendorong BOS Foundation berusaha keras mencari kawasan hutan alternatif. Aldriyanto dari PT RHOI mengatakan, kendala tersebut segera disampaikan kepada pemerintah setempat. PT RHOI berupaya menambah area 60 ribu hektare dengan perkiraan daya tampung 200 orangutan.
Di Ambang Kepunahan
Orangutan Kalimantan adalah bagian dari keluarga besar kera yang merupakan mamalia arboreal terbesar. Satwa itu kemudian disebut kera raksasa. Ia memiliki rambut panjang yang kusut dengan warna merah gelap. Wajah orangutan Kalimantan berwarna merah muda, merah, hingga hitam. Berat jantan dewasa mencapai 90 kilogram dengan tinggi hingga 1,5 meter. Sementara betina dewasa seberat 50 kilogram dengan tinggi 1 meter.
Di Kalimantan, orangutan diidentifikasi ke dalam tiga spesies. Ketiganya adalah Pongo pygmaeus pygmaeus di barat laut pulau, Pongo pygmaeus wurmbii di Kalimantan bagian tengah, dan Pongo pygmaeus morio di timur laut Kalimantan. Wurmbii adalah spesies bertubuh paling besar, sementara Morio makhluk paling mungil di antara ketiganya.
Orangutan Kalimantan lebih banyak ditemukan di hutan dataran rendah, sekitar 500 meter di atas permukaan laut. Daerah jelajah mereka adalah hutan dan lahan gambut yang lebih banyak menghasilkan tanaman berbuah besar.
Orangutan telah ditetapkan sebagai satwa langka karena hanya ditemukan di Kalimantan dan Sumatra. Spesies ini diklasifikasikan oleh CITES, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, ke dalam kategori Appendix I. Spesies itu dilarang untuk perdagangan komersial internasional karena sangat rentan terhadap kepunahan. Adapun CITES, merupakan perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota World Conservation Union pada 1963.
Pada 2004, menurut catatan PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia, ilmuwan memperkirakan spesies Pygmaeus terancam punah dengan estimasi 3 ribu individu. Tanpa penyelamatan yang terpadu, mereka terancam musnah dari muka bumi. Ironisnya, kepunahan orangutan justru disebabkan kehadiran manusia, spesies yang, katanya, paling mirip dengan mereka. (*)
Editor: Fel GM